Mensyiarkan Ramadhan

Sembari mencicipi kurma dan syai (teh) hangat ketika berbuka, salah seorang tamu yang baru saja datang dari Indonesia nanya ke saya, "Mas, apakah anda melihat ada perbedaan syiar Ramadhan di Indonesia dengan Mesir?". "Jelas dong Pak. Ini tahun ke-8 saya berpuasa di Negeri Seribu Menara. Kesan yang terasa dalam rentang waktu itu; saya lebih menikmati syiar Puasa Ramadhan di Mesir daripada Indonesia", timpal saya.

"Wah ini menarik untuk didiskusikan", tambahnya


Cuplikan dialog itu terjadi kemarin (28/9) ketika saya menghadiri jamuan buka bersama di Al-Rehab, salah satu kompleks perumahan mewah di bilangan New Cairo. Dialog tersebut begitu asyik dan familiar. Beliau banyak bercerita suasana Ramadhan di Jakarta akhir-akhir ini. Saya melihat tidak banyak yang berubah dengan suasana ketika saya kecil. Bunyi petasan, mainan kembang api sampai dengan 'klotek' (kentongan berseni di malam hari) untuk membangunkan sahur, masih dilestarikan masyarakat.

Namun, ada satu hal yang menjadi renungan saya bahwa syiar Ramadhan yang diekspresikan masyarakat kita (Indonesia), terkesan overacting dan sering menerjang sisi-sisi humanisme (sosial). Tadarrus sampai larut malam adalah aktifitas yang sangat terpuji untuk memanfaatkan momen emas di bulan ini. Harapannya, kita bisa menambah poin dan koin di hadapan Ilahi Rabbi. Kepentingan politis yang bersifat transenden-vertikal, memang bisa terpenuhi. Tapi, pernahkah kita berfikir bahwa sebagai muslim yang baik, harus ada keterpanggilan untuk memenuhi kesalehan sosial.Kalau tadarrus dengan loudspeaker itu di lakukan di desa-desa, mungkin masih mending karena mayoritas beragama Islam. Lain halnya dengan masayarakat perkotaan. Sangat mungkin di sana banyak anggota masyarakat non-muslim, yang butuh ketenangan istirahat di malam hari. Ini juga kewajiban yang harus kita tunaikan sebagai sesama anggota masyarakat. Bukankah tetangga kita –yang non muslim- juga punya hak menikmati mimpi malamnya yang begitu romantis. Jangan sampai tadarrus kita malah membuat malam pertama sepasang pengantin menjadi hambar.

Yang harus menjadi pemikiran bersama, bagaimana kita mensyiarkan Ramadhan dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme. Sehingga, masyarakat non muslim menjadi semakin simpati dengan kehadiran Islam.

Di Mesir, toleransi keberagamaan pun sangat tinggi. Suasananya syahdu dan tenang, tapi tidak mengurangi khidmat malam Ramadhan. Masjid-masjid tetap ramai, tapi masih dalam ‘jam kerja’ malam. Toko-toko dengan penerangan lampu yang sangat terang dengan dibalut kain khas dan menyediakan beraneka ragam menu, membuat nuansa malam menjadi hingar-bingar. Tapi, jalanan macet yang disebabkan oleh parkir mobil para jamaah yang melakukan solat tarawih, nampaknya harus dicarikan alternatif lain sebagai solusi. Sehingga tidak mengganggu pengguna jalan yang tidak sempat sholat taraweh karena harus mengadu nasib untuk mencari sesuap nasi buat anak dan istri.

Anyway...Semoga bulan puasa ini menjadi momen tepat buat kita untuk terus berdinamika mengibarkan Islam yang ramah dan rahmat. Sapalah saudara-saudara kita dengan penuh kearifan dan kedamaian. Mereka punya hak untuk kita dekap. Mereka merindukan kasih sayang kita. Mereka ingin kita tahu apa yang mereka impikan. Ya...masyarakat yang aman, damai dalam kasih sayang Tuhan.

More Pious Less Tolerant

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (QS:2:183)

Penggalan terjemahan ayat di atas, tentunya sudah sangat akrab di telinga kita. Ayat “andalan” yang sering dide¬ngungkan pada bulan Rama-dhan ter¬sebut, menyimpan sejuta makna yang bisa bahkan harus kita ungkap secara komprehensif. Secara lahiriah, ayat tersebut jelas mengandung pesan suci dalam arti yang luas tentang hakikat diperintahkan-nya puasa seba¬gai rangkaian kewajiban manusia sela¬ku hamba Allah Swt. Apa hakikat makna puasa?


Dalam ayat tersebut Allah Swt. mensifatkan keimanan pada awal ayat sebagai asas kebaikan dan keutamaan (alladzina amanu). Dan di akhir ayat, Allah menyebut kata taqwa (la’allakum tattaqun) sebagai ruh keimanan dan rahasia kemenangan. Secara umum, titik tekan yang diungkapkan dalam perintah pelaksanaan puasa tersebut adalah ketakwaan yang harus selalu dilandasi faktor keimanan. Sedangkan, tujuan akhir dari pelaksanaan ibadah puasa terletak pada aspek ketakwaan. Dimensi ketakwaan inilah yang harus kita terjemahkan secara luas, seperti: disiplin, rendah hati, toleran, empatik dan sebagainya.

Dari sini bisa kita ambil konklusi bahwa kandungan puasa mempunyai dua unsur penting, yaitu pertama, hubungan manusia dengan Allah SWT (vertikal), berupa aktifitas formal seperti menahan lapar dan amarah, kedua, hubungan manusia dengan sesamanya (horizontal), berupa kesadaran ma¬nusia dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan (kesalihan sosial). Dua hal ini harus bisa terpenuhi secara imbang dalam pencapaian cita-cita puasa sebagaimana digariskan oleh ayat tersebut di atas. Kongkretnya, aktifitas ritual berupa pelaksanaan puasa dengan segala syarat, rukun dan sunnahnya tetap dipatuhi. Di lain sisi empati dan sensitivitas terhadap pro¬ble¬matika sosial harus dilatih. Kepe¬kaan sosial orang yang berpuasa dengan sendirinya terlatih melalui pe¬ngembaraan spiritual selama bulan Ramadhan. Usaha menahan haus dan lapar menuntut diaplikasikan dalam wujud memahami perasaan kaum fakir, miskin dan orang-orang tertindas lain¬nya. Sehingga ia ikut merasakan kepe¬dihan yang mendalam seperti golongan kelas bawah yang selalu mendapatkan kesulitan-kesulitan penghidupan. Inilah target yang harus dibidik bagi mereka yang menginginkan tercapainya tujuan yang hakiki akan makna ritual puasa.

Namun pada kenyataannya, bentuk hubungan horizontal, seringkali kurang diperhatikan. Padahal ia mem¬punyai posisi yang tidak kalah penting de¬ngan hubungan vertikal. Ini salah satu hal yang perlu kita cermati dalam kehi¬dup¬an keseharian. Tidak sedikit mayoritas umat Islam yang aktif melaksanakan ritual-ritual keislaman termasuk puasa justru me¬nam¬¬pakkan sikap cuek-bebek atas problematika sosial yang terjadi. Karena mungkin target utama yang dicapai adalah bagaimana me¬ram¬pungkan puasa seba¬nyak 29/30 hari selama bulan Ramdhan. Sehingga hampir bisa dikatakan, di sini ada ‘permata’ yang hilang. Ironisnya itu tidak pernah kita sadari.

Maka tidak mengherankan begitu Ramadhan ber¬lalu, tidak ada perubahan berarti yang bisa dirasakan. Selama itu ia hanya lulus dalam ujian untuk menahan makan dan minum mulai dari sebelum terbitnya matahari sampai dengan ter¬benamnya matahari. Bahkan aktifitas-aktifitas kurikuler tambahan seperti menghatamkan al Qur’an dan i’tikaf di masjid hanya menjadi “bonus” yang dinikmati sendiri. Kita jarang me¬ma¬hami bahwa akti-fitas menahan lapar dan haus bukanlah tujuan puasa yang hakiki, melainkan hanya sekedar ben¬tuk luarnya. Bentuk lahiriah memang dituntunkan untuk menciptakan dalam diri kita rasa takut dan cinta, memperkuat tekad dan karakter kepribadian. Namun jangan dijadikan sebagai simbol yang dianggap telah merepresentasikan hakikat puasa

Lebih jauh lagi, kalau kita telusuri referensi teologisnya, ibadah puasa justru amat lekat dengan nilai-nilai humanisme. Sumber-sumber hukum yang ada dalam Islam, di manapun akan selalu menyerukan betapa pentingnya huma¬nisme. Dengan begitu maka kita akan disadarkan bahwa hakikat manusia adalah makhluk sosial yang mempunyai ketergantungan satu sama lain.

Dalam hubungan ini, Al Quran mem¬be¬rikan petunjuk untuk selalu memelihara kebersamaan sebagai makhluk sosial dan menempatkan nilai-nilainya ke dalam pola hubungan kemanusiaan dengan tetap saling menghormati, menjaga, melindungi, mengasihi dan menyantuni seba-gaimana diatur dalam sistem ajarannya. Puasa seba-gai salah satu ajaran yang mempunyai dimensi teologis dengan kekuatan pesan moralnya yang humanis, harus bisa kita posisikan pada proporsinya yang bisa memberikan imbangan antara hu¬bungan vertikal dan horisontal. Meskipun landasan teologi itu merupakan konsep teosentrik, namun ia bersifat humanistik, dalam arti memiliki keterarahan dan arus balik ke-pada manusia. Pandangan seperti inilah yang kemu-dian dijadikan pijakan oleh Nabi Muhammad dalam mendorong perubahan sosial.

Dalam ranah kontemporer seka¬rang ini terjadi krisis kesalehan sosial. Apakah masyarakat kita kurang saleh? Tentu saja jawabannya tidak. Entah apa metode yang dipakai, yang jelas observasi yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) menun¬jukkan bahwa masyarakat yang melaksa-nakan sholat lima waktu se¬banyak 80%, sedang yang menjalankan puasa hampir 95%, yang ingin menerapkan syariat Islam sebanyak 61%. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat kita sudah cukup “nyantri”.

Permasalahannya kemudian adalah bagaimanakah “santri” yang definitif yang bisa mengaplikasikan ajaran santrinya dalam sendi-sendi kehidupan. Sehingga kita tidak terjebak kepada simbol belaka. Namun yang terjadi adalah more pious, less tolerant (semakin saleh seseorang, semakin kurang toleransinya). Dalam kehidupan keberagamaan harus bisa menyentuh sisi kemanusiaan yang seringkali termarginalkan. Sehingga truth claim seba-gai imbas fanatisme keberagamaan sebisa mungkin kita eliminir. Sebaliknya empati dan sensitivitas keberagamaan harus dijadikan sebagai mainstream dalam mengaplikasikan ajaran Islam apapun bentuknya dalam kehidupan keseharian.

Fenomena tersebut mengingatkan kita akan model syari’ah Islam pramodern, yaitu model teologi yang berkaitan dengan transendensi ketuhanan, misalnya persoalan kekuasaan Tuhan dan kepercayaan terhadap alam-alam gaib. Intinya aktifitas keberagamaan -apapun bentuknya- harus bisa berhadapan dengan problematika sosial kontemporer, seperti keadilan, kesetaraan jender dan sebagainya. Sehingga di sana tidak ada kesan begitu jauhnya agama dari pemeluknya.

Dan akhirnya, pesan moral puasa tetap secara utuh bisa ditangkap, yang tidak saja berhenti pada aspek formalnya, namun sekaligus dijadikan sebagai wahana introspeksi kesadaran yang menyimpan nilai-nilai luhur yang mengajarkan pada aspek-aspek universal yang inklusif.

Mencari Smoking Area

Catatan perjalanan menghadiri ICIS II di Jakarta (Bagian II)

Sekitar pukul 18.00 WK, kami segera memasuki pesawat Emirates dengan nomor flight EK 924. Pukul 19.15 WK, pesawat take off menuju Dubai. Dalam perjalanan yang memakan waktu lebih kurang 3,5 jam itu, saya nikmati dengan menonton siaran live pertandingan World Cup di touch screen dan musik-musik easy listening.

Pukul 23.50 Waktu Dubai, pesawat sampai di Dubai International Air Port untuk transit lebih kurang 3 jam sebelum bertolak ke Jakarta. Setelah meyelesaikan semua urusan imigrasi, kami beristirahat di salah satu ruangan VVIP yang sudah disiapkan pihak travel. Saya manfaatkan waktu itu untuk berjalan-jalan di Duty Free Shop. Yang menarik, selama di bandara saya tidak merasa kesulitan mendapatkan akses berita dan tontonan live World Cup. Sebagai salah satu sponshor pesta sepak bola sejagad itu, maklum saja kalau hampir di semua ruangan, bandara memasang layar televisi dengan ukuran raksasa. Juga fasilitas internet gratis.


Hanya saja saya sempat bingung mencari smoking area. Saya kira penertiban soal rokok, tidak hanya di Jakarta. Di sinipun saya sudah curiga ketika saya tidak menemukan satu pun asbak ruangan yang biasanya dipasang di tempat-tempat umum.

Setelah putar sana-sini, akhirnya saya menemukan smoking area dengan luas 3x5 meter dan letaknya tepat di samping Costa Café. Setelah memesan secangkir kopi Costa, saya ikut nimbrung ngefly dengan perokok-perokok yang lain.

Ketika sedang asyik menghisap sebatang Gudang Garam, salah seorang perempuan Arab tanya, "Rokok apa yang sedang kamu hisap kok baunya aneh". Saya pun tersenyum dan memperlihatkan bungkus Gudang Garam sambil menawarkan sebatang untuknya. Dia bergeleng melempar senyum sembari mengucapkan, "Syukran" .

Pukul 02.15 Waktu Dubai, saya kembali ke tempat awal dimana kami istirahat untuk persiapan check-in. Tepat pukul 03.15 Waktu Dubai, pesawat Emirates dengan nomor flight EK 346 take-off menuju Jakarta via Malaysia (Bersambung.....)

Diskon Denda Berkat Lobi


Catatan perjalanan menghadiri ICIS II di Jakarta (Bagian I)
Kamis sore (18/6), sebelum menuju Cairo International Air Port, saya berpamitan dengan kawan-kawan. Meskipun kepulangan saya untuk mengikuti International Conference of Islamic Scholars (ICIS) di Jakarta hanya sebentar, namun suasana syahdu menyelimuti sore itu. Setelah mobil jemputan datang, saya menuju kediaman Jamal Albanna, salah seorang tokoh Mesir yang diundang pada konferensi tersebut.

Dalam perjalanan menuju bandara, kami terjebak macet. Maklum saja karena bertepatan dengan jam pulang kerja. Sepanjang jalan protokol, mobil hanya berjalan merayap. Berbagai jalur alternatif sudah dilewati tapi hasilnya nihil. Sekitar pukul 16.00 Waktu Kairo, kami sampai di Air Port.


Di sana, beberapa kawan sudah menunggu. Setelah mengecek barang-barang bawaan dan kelengkapan lainnya, kami segera check-in. Ketika penimbangan barang, problem datang. Pasalnya, buku-buku bawaan Jamal Al-Banna overweight sekitar 77 Kg. Sedangkan Emirates membatasi timbangan maksimum setiap penumpang 30 Kg. Pihak kedutaan yang saat itu ikut mengantarkan kami, menegosiasi pihak Emirates supaya barang bisa dibawa semua. Petugas bagasi deal alias menerima overweight dengan syarat, kardus berisi buku-buku yang dipak dalam 2 kardus besar tersebut, dipisah menjadi 3 bagian. Saya bersama salah seorang petugas dari kedutaan pun harus melepas jas yang kami pakai untuk mengurai tali-tali yang membalut koper itu. Setelah boarding pass dan urusan lainnya selesai, kami menuju ruang imigrasi.

Di sini saat yang paling menegangkan bagi saya. Bagaimana tidak. Hampir setahun, saya tidak memperpanjang iqamah (residence). Itu berarti saya melakukan pelanggaran sebagai warga asing yang tinggal di luar negeri. Maklum bulan-bulan masa habis iqamah saya, pihak kuliah tidak bisa mengeluarkan tashdiq (surat keterangan kuliah) sebagai prasyarat memperpanjang iqamah.

Tapi syukur. Lagi-lagi berkat lobi pihak kedutaan, urusan berjalan mulus dengan membayar biaya denda yang jumlahnya sangat kecil dari nominal yang seharusnya saya bayar. Mungkin pihak imigrasi tahu kalau yang bermasalah mahasiswa yang kantongnya tidak seberapa hehehe. Setelah itu, kami pun langsung menuju waiting-room tanpa harus melewati pintu imigrasi sebagaimana umumnya. Maklum saja ada banyak syafaat di dalam bandara yang memberikan fasilitas kemudahan bagi kami.

Sambil menunggu keberangkatan, kami duduk di salah satu café terdekat sambil menikmati secangkir coffee mix dan sepotong roti tawar. Saya pun sempat berbincang hangat dengan Jamal Albannda seputar ide-ide cemerlangnya yang selama ini sempat saya nikmati dari beberapa buku yang Ia tulis.

Bagi saya, ini merupakan kesempatan baik untuk bisa berdiskusi dengan seorang tokoh yang meskipun usianya sudah senja, namun masih produktif menulis buku. Pertama kali saya bertandang ke rumahnya di bilangan Geish Square, Abbaseya, sekitar pertengahan Agustus 2004, untuk keperluan wawancara seputar buku Nahwa Fiqh Jadid, yang dijadikan sebagai rujukan utama kawan saya yang sedang menulis tesis di Universitas Islam Negeri (UIN) Ciputat, Jakarta. (Bersambung...)

Akhirnya...

Setelah 'diubek' semalaman, akhirnya Aku bisa kembali coret-coret di ruang sederhana. Terima kasih Mae. Maklum aja, dalam masalah ini, Aku paling tidak bisa diandalkan. Disamping ngga mahir, Aku orangnya paling ngga betah berlama-lama di depan kompi. Makanya Aku perlu seorang asisten. Mae orang yang tepat untuk diajak kerja dengan benda mati. Gampang aja ngladenin Mae. Kasih aja kompi dengan fasilitas internet plus cemilan. Ngga usah dikasih makan pun, Mae kuat. Kalau udah konsen, jangan pernah coba-coba mendekat. Bisa kena damprat hehehe.

Anyway...makasih atas semuanya. Semoga ngga lupa lagi ID and pass-nya. Maklum sama-sama 'pikun'nya. Marhaban ya Ramadhan. Selamat menjalankan ibadah puasa . May Allah guide us to his best way, amen.

Bagaimana Masa Depan si Dedek?

Pagi itu (1/6), pukul 05.30 Waktu Kairo, saya terbangun oleh bunyi ring tone tanda SMS masuk ke inbox HP. Tadinya saya agak malas -untuk sekedar membuka mata yang masih mengatup rapat- membaca sms itu. Maklum, semalaman saya begadang. Dan, rasanya baru beberapa menit merebahkan badan. Setelah melihat si pengirim, ternyata beliau adalah partner istimewa saya yang selama ini menjadi 'teman diskusi' yang baik. Beliau salah seorang pejabat tinggi di sebuah instansi pemerintah di Jakarta yang sedang gayeng mendiskusikan isu-isu kegamaan di Tanah Air.


Sontak, kantuk pun hilang. Terlebih lagi ketika membaca isi smsnya. Redaksinya kurang lebih begini, "Aziz, siang ini ada waktu ngga. Keadaan sedang genting. Saya butuh chatting dengan Aziz. Terima kasih sebelumnya". "Hah, ada apa ya?". Sayapun mereply dan mengiyakan ajakan chattingnya. Setelah sholat subuh dan rapi-rapi, saya bergegas ke warnet. Setelah log in, saya melihat YMnya sudah menguning.

"Apa kabar bu", saya memulai pembicaraan pagi itu. Kalimat demi kalimat yang tersusun dalam beberapa baris, menghiasi layar monitor kami. Saat itu, Saya masih terus berusaha menangkap maksud SMS itu. "Di al-Azhar, Aziz belajar apaan sich", tanyanya. Saya sangat maklum dengan pertanyaan itu. Karena sebelum diskusi, nampaknya beliau betul-betul ingin meyakinkan dirinya bahwa beliau tidak salah orang.

"Ziz, putra Ibu sudah lulus dan sekarang hendak melanjutkan jenjang SLTP. Ibu bingung, si Dedek musti dikemanain?. Meski tidak pernah belajar agama, Ibu pengin anak-anak ngerti agama?. Sekolah agama di Jakarta seabrek, tapi belum ada yang sreg di hati Ibu?. Melihat fenomena global di Tanah Air akhir-akhir ini, Ibu selalu was-was dengan si Dedek. Jangan sampai ikut-ikutan jadi teroris hehehe", tanyanya dengan nada setengah serius.

Saya pun mengernyitkan dahi dan menghela napas. Pernahkan anda membayangkan akan mendapatkan pertanyaan seperti itu. Jawabannya tentu saja variatif; bisa iya, bisa tidak.

Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia. Saya yakin, mereka yang hati nuraninya peka, mungkin merasakan hal aneh dengan pertanyaan itu. Bagaimana tidak. Di saat pemerintah kerepotan mensensus jumlah pesantren dan madrasah di Indonesia, ternyata masih ada seorang warga yang kebingungan mencari lembaga pendidikan yang pas dengan anaknya. Apa yang salah dengan lembaga pendidikan kita?. Saya yakin, masih banyak warga lain yang mempunyai keluhan sama. Ini fakta yang patut kita renungkan. Sayapun terpaku sesaat sambil melototin monitor.

Singkatnya, si Ibu bercerita panjang tentang kegundahan yang beliau alami saat ini. Beliau melihat banyak lembaga pendidikan berlabel Islam yang kualitasnya patut didiskusikan kembali oleh para akademisi. Beliau mencontohkan sebuah pesantren di Jawa Barat. Label Islam sangat mendominasi di sana. Tapi apa yang terjadi?. Para santrinya menjadi over-dosis, ekstrem dan sangat radikal. Mereka tidak bisa mengaplikasikan nilai-nilai keislaman secara baik di masyarakat. Bukan keteduhan dan kedamaian yang Ia tebarkan, tapi semangat permusuhan dengan sesama muslim.

Bahkan, kesan yang beliau tangkap, banyak pelanggaran-pelanggaran normatif yang 'dilegalkan'. Ironisnya, hal itu dibungkus atas nama "Penerapan Syariat Islam". Tanpa maksud menggeneralisir fenomena ini, hal itu bisa menyebabkan trauma yang mendalam bagi masyarakat, utamanya yang awam dengan agama. Sehingga secara langsung akan berimplikasi kepada image lembaga pendidikan agama lainnya.

Sebagian dari kita, seringkali mudah keblinger dengan hal-hal yang berbau agama. Mereka menganggap bahwa itu (baca: agama) adalah segala-galanya. Iya, saya setuju. Tapi pertanyaannya; ajaran agama yang bagaimana?. Kita ogah-ogahan bertanya kepada diri sendiri. Kita seringkali terlalu jauh berjalan dari rel yang semestinya kita lewati. Dengan tanpa menghilangkan daya kritis, saya berani mengatakan bahwa tidak ada yang salah dengan agama kita. Pemahaman kita terhadap agama itulah yang harus direnungkan. Ketika merampungkan bacaan-bacaan tertentu, membuat kita gelap mata dan merasa paling sholeh dan benar. Sikap toleran (tasamuh) yang diajarkan oleh Rasululullah SAW, tidak pernah diindahkan.

Makanya, ungkapan "More pious Less Tolerant (semakin 'sholeh' seseorang, semakin hilang toleransinya)", tidaklah berlebihan. Bahkan, bagi saya, ungkapan ini sangat cocok untuk merefleksikan fenomena keagamaan di Tanah Air, juga dimana saat ini saya berada; Kairo.

Watak dan karakter seperti inilah, yang saya yakini -perlahan-lahan- akan merusak citra bangsa dan membahayakan masa depan generasi kita. Tidak mustahil, masa depan Indonesia, bahkan dunia, akan dipenuhi oleh generasi-generasi radikal yang tidak bisa menampilkan Islam yang ramah. Dan pada saatnya, Indonesia mungkin diwarnai oleh para 'murabbi' yang banyak 'menjajakan' ayat dan hadits sambil menjanjikan surga berikut bidadari-bidadarinya bagi orang-orang yang mau menjalankan misinya. Meningkatnya peledakan bom, mengindikasikan bahwa gerakan kaum-kaum radikal sudah merajelala dan harus segera dihentikan karena mengancam integritas bangsa. Terlepas, apakah keadaan ini sengaja dihembuskan oleh agen-agen Barat atau tidak, yang jelas ini tanggungjawab kita bersama.

Kita harus berani merunut akar-akar radikalisme yang ada. Faktor-faktor yang menyuburkan tumbuhnya radikalisme harus dimusnahkan. Hal ini, bisa kita mulai dengan pengawasan secara ketat terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam, misalnya madrasah, pondok pesantren, Islamic Center dan sebagainya. Jangan pernah beranggapan bahwa kita hendak mengobok-obok Islam. Kita hanya ingin menyelamatkan generasi muslim dari doktrin-doktrin radikalisme. Dan yang perlu diingat, kita harus sadar bahwa pembelaan terhadap Islam harus dimaknai secara proporsional.

Oleh karenanya, kita harus back to basic memahami teks-teks yang ada (ajaran Islam) secara benar untuk membuat blue print Indonesia ke depan. Kita tidak hendak mendirikan negara islam, tapi kita bercita-cita menjadikan ajaran Islam yang demokratis dan rahmatan lil alamin, menjadi ruh dalam dinamika nasional. Kita berharap Indonesia akan diisi oleh generasi-generasi handal yang kuat fikir dan dzikir. Semoga.

Hikmah di Balik Musibah Itu

Baru kemarin mata kita bengkak menyaksikan gempa tsunami memilukan di Aceh dan gempa bumi di Banyuwangi. Sabtu lalu, kita pun kembali terhenyak dengan berita duka yang menghiasi headline bahwa gempa bumi tektonik berkekuatan 5,9 Skala Richter melanda Yogyakarta dan sekitarnya. Berapa trilyun kerugian negara akibat gempa itu. Sensus pun menunjukkan bahwa jumlah duda, janda, anak yatim, pengangguran dan sebagainya meningkat drastis. Ribuan anak-anak terancam masa depannya.


Ya, di antara kita pasti tidak ada yang menginginkan gempa alam ini kembali terjadi. Tapi inilah kenyataannya. Semua ini bak hadiah beruntun dari Allah buat bangsa kita. Kenapa Allah selalu menghadiahi kado itu?. Apakah Allah telah kehabisan kado sehingga kado sejenis yang bisa Ia berikan".

Saya kira tidak. Indonesia adalah negara besar yang harus dibangun dengan jiwa yang besar pula. Dinamisnya konstelasi politik nasional, paling tidak menunjukkan bahwa masih ada kehidupan dalam lingkungan demokrasi kita. Namun, akhir-akhir ini, saya menjadi jengah dengan ulah para elitis yang sok elit dan mlitit.

Mungkin agak ekstrem kalau saya katakan bahwa mereka tidak pernah punya i'tikad baik menyelesaikan persoalan bangsa. Satu sama lain mempunyai target global; "Apapun komentar saya yang penting harus beda dengan dia". Tidak ada sikap legowo dan gentle yang ditunjukkan oleh mereka yang sudah kadung gelap hati dengan embel-embel guru bangsa, tokoh nasional dan sebagainya. Saya sepakat bahwa perbedaan adalah sunnatullah, tapi perbedaan yang bagaimana?. Lantas, sampai kapan hal ini akan berakhir?. Sudahkah kita proporsional dalam mendiagnosa persoalan bangsa?.

Musibah alam yang datang silih-berganti di era pemerintahan SBY ini, merupakan masalah besar yang menyisakan pertanyaan; ada apa di balik semua ini?. Pada saat inilah, para ahli mantra, juru klenik dan primbon harus kerepotan menerima 'tender basah' dari mereka yang merasa bisa mendapatkan keuntungan dari hal ini.

Respon dan komentar yang sama sekali tidak ilmiah sekalipun, seringkali jadi bahan rebutan media massa untuk dipasang headline. Kenapa?, karena hal-hal yang beraroma klenik sangat diminati. Saya teringat apa kata Renald Kasali bahwa hal-hal yang berbau mitos, saat ini, sedang laris-manis di Indonesia. Masyarakat semakin mudah percaya dengan 'keajaiban-keajaiban' yang ditunjukkan sang dukun. Bahkan, seorang politikus ulung pun bisa nglucu ketika merespon gempa di Yogyakarta; "Alam belum bisa menerima secara penuh pemerintahan SBY".

Saya pun tersenyum keheranan. Ini komentar yang sinis dan tendensius. Saat itu, saya hanya berfikir bahwa mungkin dia sedang kehabisan tender dan terkesan memaksakan diri menjual komentar itu ke media massa. Dalam keadaan seperti ini, seharusnya kita membantu pemerintah dalam upayanya meringankan para korban gempa. Tidak kemudian main gebuk di saat musuh lengah. Kalaupun hendak berdebat dan mengkritik, ada waktu tersendiri untuk menyampaikan itu semua dengan tanpa menghilangkan nalar kritisnya.

Pada lain kesempatan, seorang pengamat berkesimpulan bahwa SBY diuntungkan oleh peristiwa alam. Sekalipun dari kacamata politis hal itu bisa dibenarkan; proporsionalkah?. Kalau anda datang ke Istana Presiden menanyakan tentang respon SBY tentang terjadinya gempa, saya jamin yakin haqqul yakin bahwa SBY pun tidak pernah menghendaki ini.

Bangsa kita sedang ketagihan untuk mengulang 'kesuksesan' cita-cita awal reformasi; menggulingkan sebuah rezim. Sayangnya hal itu tidak dibarengi dengan upaya-upaya kongkrit untuk membenahi permasalahan bangsa. Anda pun bisa mengantongi nama-nama politikus yang begitu 'kebelet' menggulingkan mantan Presiden Soeharto. Tapi, apa kontribusi mereka ketika memegang tampuk pemerintahan; NIHIL.

Bangsa kita kurang serius untuk menggarap agenda-agenda reformasi. Saya jengah dengan komentar-komentar para politikus yang isinya hanya basa-basi politik. Kritik yang terlontar pun, terkesan hanya nyeplos. Dinamika negara kita dipenuhi oleh kebohongan-kebohongan yang sebenarnya sudah kita sadari. Kini, semuanya sudah anti-klimaks. Saatnya kita menata diri dan bersama-sama membangun bangsa.

Mungkin saja, gunung merapi ingin muntah karena muak dengan perilaku bangsa Indonesia. Bumi pun merekah karena tidak tahan dengan drama-drama kelicikan yang dipertontonkan oleh 'srimulat-srimulat' berdasi. Air laut pun ikut muntap, mungkin karena ia ingin segera menggilas kebobrokan-kebobrokan mental para cendekiawan licik atau preman-preman berjubah. Kita sering ditegur oleh Allah, namun kita tidak sadar. Sudah saatnya kita kembali bergandengan tangan membentuk barisan yang solid untuk membuktikan kepada dunia bahwa Indonesia adalah negara berjiwa besar. Selamat berdinamika dan berdoa.

Permulaan

Sebuah permulaan. Semoga menjadi lembaran yang bisa merefleksikan
ide dan asa. Terkadang, menuangkan kata adalah sebuah tuntutan.
Semoga tulisan-tulisan ringan yang ada di media ini, bisa memberikan warna baru
bagi wacana kekinian. Selamat belajar dan berdoa.