Reunian di Kantor Polisi

Untuk kesekian kalinya, saya harus berurusan dengan polisi. Kali ini bukan sebagai tersangka sebagaimana 6 tahun yang lalu dalam peristiwa Terasigate, tapi sebagai saksi kunci atas ulah anak pemilik flat yang pernah saya sewa. Meskipun sudah tidak menempati flat itu, namun saya masih punya tanggung jawab atas urusan-urusan yang berkaitan dengan Tuan Rumah. Dia ditangkap oleh State Security (28/12), pukul 23.30 Waktu Kairo karena kedapatan membawa pisau.

Sebut saja namanya Syarif. Dia memang mempunyai perangai yang kurang bersahabat. Perilakunya cukup meresahkan kami. Banyak ulah yang sudah dibuat; mulai dari menjual perabot-perabot rumah, mencuri HP dan Walkman, minta duit sampai nyelonong masuk rumah dalam keadaan mabuk. Intinya, dia suka bikin gara-gara. Puncaknya, ketika kita hendak pindahan, dia datang dalam keadaan mabuk dan mengkalkulasi kerusakan barangnya selama kita tinggal di situ. Gila !!!. Mark up dana yang dia buat, sungguh tidak masuk akal. Masak kran rusak, dia hargai Le. 350. Padahal, dengan uang Le. 5, kita sudah bisa beli baru.

Yach…urusan dengan orang mabuk sama saja urusan dengan orang gila. Parahnya, malam itu dia membawa pisau yang diambil dari dapur kami dan disimpan di saku belakang. Saat itu, ada 5 orang di dalam rumah. Mereka terkurung di dalam karena kunci pintu dipegang dia. *Suasananya persis drama penyanderaan di Iraq* hehehe

Kawan-kawan yang berada di dalam sangat kalut. Saya yang tinggal bersebelahan dengan TKP, ditelpon oleh seorang kawan yang ikut terkurung. Saya diminta datang karena Syarif minta ini dan itu. Pikir saya, kalau datang, sama saja mencari mati. Entah ada angin apa, yang jelas, begitu mendengar ceritanya, saya langsung menelpon Kedutaan, minta tolong supaya mendatangkan State Security.

Saya pun menuju Tempat Kejadian Perkara (TKP). Karena alasan keamanan, saya tidak masuk ke dalam. Maklum. Kita udah saling kenal sejak 5 tahun yang lalu. Jadi kalau ada apa-apa, saya bisa jadi bahan pelampiasan.

Sambil menunggu kedatangan State Security, saya keliling-keliling sekitar TKP. Duh…badan kaku kedinginan karena lupa ngga bawa sarung tangan, perut lapar, pikiran kalut, lupa bawa rokok dll. Pokoknya campur-campur dech ngga karuan.

Tidak lama kemudian, sebuah mobil Carry berhenti di samping TKP. Dari dalam mobil, keluar seorang pemuda tampan dan tegap dengan pakaian preman. Setelah bincang-bincang, kami baru tahu ternyata itu Intelijen. Setelah dialog sebentar, kami langsung menuju TKP.

Saat itu Syarif pulang ke rumahnya -yang terletak bersebelahan dengan TKP- untuk suatu keperluan. Meski ada kerumunan massa sekitar 10 orang di TKP, namun suasana cukup hening. Tegang. 5 menit kemudian Syarif kembali ke TKP. Nampaknya dia tidak paham kalau ada Intel datang.

Intel mulai beraksi.

Setelah ditanya ini dan itu, termasuk identitas, Syarif melawan. Baru setelah yakin kalau itu intel, dia melunak meskipun sempat berang.

Akhirnya, Syarif dibawa paksa dan dimasukkan ke dalam mobil untuk diproses di Kantor Polisi. Sebagai saksi kunci, saya bersama seorang kawan ikut serta masuk ke mobil. Ada juga petugas Konsuler dari kedutaan yang menemani kami.

Dalam perjalanan, saya sempat bersitegang dengan Syarif. Pasalnya dia menuduh saya dalang di balik semua ini. Kesempatan inilah yang saya manfaatkan untuk 'fight' dengan dia. Maklum dari kemarin saya agak 'chicken' karena takut dia berbuat anarkhis. *Hahahha… beraninya kalau ada dekengan*. Gak apa-apa lah untuk kali ini. Maklum dong, postur saya cukup langsing dan ideal dibanding dia yang sizenya segedhe pemain Smackdown.

Sesampainya di Kantor Polisi, kami mengisi Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Saya sampaikan semua fakta yang ada. Intinya fakta tersebut cukup memberatkan Syarif. Syarif yang berada sekitar 1 Meter dari tempat saya duduk, cukup tegang dan berkali-kali minta maaf. Sesekali, dia mendapat tamparan petugas.

Akhirnya keputusan soal penahanan dan pembebasannya berpulang kepada kami selaku korban. Karena dari tadi bawel, untuk kesekian dia dihadiahi bogem mentah dan dimasukin ke dalam sel. Dalam sel, dia teriak-teriak mengeluh kepalanya pusing. Berkali-kali manggil saya dan berjanji tidak akan berbuat macam-macam lagi. *Dasar ini orang. Kalau ada maunya aja kayak gini*.

Dilema sekali memang. Pikiranku bergejolak antara menahan dan membebaskannya. Kalau dibebaskan, saya takut dia akan berbuat anarkhis. Di sisi yang lain, kalau dia ditahan, 2 hari lagi lebaran. Pastinya dia tidak akan bisa berlebaran. Di samping itu, saya iba setelah melihat kondisi selnya. Sel berukuran 2 x 2 meter tanpa alas lantai dan penerangan itu, cukup menjadi pertimbangan kami. Berkali-kali dia menatap saya dengan iba, merangkul sambil menangis sesenggukan meminta supaya dia dibebaskan. Ini cukup membuat hati saya terketuk.

Setelah minta pertimbangan dari sesepuh yang saat itu menemani kami, juga pertimbangan kemanusiaan, saya pun minta kepada State Security untuk membebaskannya dengan syarat, antara lain jaminan keamanan dan penyelesaian akad rumah.

Setelah menandatangani appointment, proses dilimpahkan ke Polsek guna pendalaman kasus. Syarif pun diborgol.

Saat itu, saya sempat tawarkan uang taksi petugas polisi yang mengantar Syarif. Tapi Syarif menolak. Dia bilang akan bayarin ongkos taksi. "Cari perhatian nich ceritanya".

Ketika taksi berhenti, dia memohon saya untuk ikut serta. Saya menolak karena saya ikut rombongan dari pegawai kedutaan. Lumayan bisa diskusi kecil di mobil. Saya hanya meyakinkannya kalau kami akan menyusulnya.

Setengah jam kemudian, kami sampai di Polsek. Kami sudah mendapati Syarif duduk termangu menunggu kami. Begitu kami datang, kasus ini langsung diproses.

Sambil menunggu salinan berkas, saya jalan-jalan sekitar ruangan. Tiba-tiba mata saya tertuju pada sel di salah satu sudut ruangan. Anda tahu kenapa?. 6 tahun yang lalu, saya pernah menjadi penghuni di situ selama lebih kurang 10 jam gara-gara sambal terasi. Dasar orang Mesir. Masak terasi dibilang ganja. Jangan-jangan ganja khas Mesir baunya kayak terasi hahahhaha.

Ketika saya sampaikan hal itu, polisi yang bertugas di situ keheranan. Dia pun menerawang ke atas dan menebak, "Kejadiannya sekitar tahun 2000 khan?", tanyanya. "Iya", jawabku sambil mengangguk.

Usut punya usut, ternyata polisi itu yang dulu menyidik saya ketika kasus bakaran terasi. Yach, nganter si Syarif jadinya malah reunian. "Kalau kangen, kamu boleh nginep semalaman dech", candanya sambil menunjuk sel yang sudah berpenghuni. "Syukran", jawabku sambil ketawa

Setelah salinan berkas selesai, saya dan Syarif membubuhkan tanda tangan. Persoalan selesai. Intinya, kami memaafkan dia dan minta kepada pihak yang berwenang untuk membebaskannya.

Begitu mendengar bebas, dia langsung merangkul dan tidak henti-hentinya menciumi saya. Hahahhaha ngeri juga dicium sesama jenis. "Terima kasih Aziz", ucapnya sambil menepuk-nepuk pipi saya. Matanya berlinang.

Setelah itu kami meninggalkan Polsek pada pukul 02.00 dinihari.

Selamat Idul Adha dan Tahun Baru


SELAMAT HARI RAYA IDUL ADHA
&
TAHUN BARU 2007


Awal yang baik untuk membuka lembaran-lembaran baru
Selamat belajar dan berdoa
Semoga tetap semangat dalam berkarya

Patutkah KIta Berbangga Sebagai Muslim?


Kemarin (23/12), saya datang ke Tarzi (penjahit) di kawasan Down Town. Sehari sebelumnya saya sudah buat appointment via telpon bahwa esok hari saya akan datang pukul 14.00 Waktu Kairo. Karena perjalanan macet, saya terlambat 1 jam. Sesampainya di sana, tiba waktu Ashar. Dia pun nampak buru-buru hendak sholat jamaah di masjid. Dia mengajak saya berjamaah. Tapi karena kondisi saya yang kurang fit karena kecapekan, saya bilang, "Saya istirahat dulu. Kamu duluan aja ntar saya susul".

Setelah selesai semua urusan, saya pamitan. "Kenapa buru-buru. Duduk dulu dong. Gimana kalau kita ngesyai (nge-teh) dulu", sambil mencegah saya yang sudah beranjak dari tempat duduk. "Syukran (terima kasih)", jawabku.

Kita pun akhirnya ngobrol-ngobrol ringan. Dia banyak menanyakan tentang Indonesia. Maklum saja. Sepertinya dia ngga begitu up date dengan perkembangan yang ada. Saya pun memaparkan hal-hal global tentang kondisi Indonesia, misalnya jumlah penduduk Indonesia dan prosentase umat Islam. Juga sistem hukum yang berlaku dan sebagainya.

Saya katakan, "Meskipun muslim Indonesia adalah kaum mayoritas, namun bukan berarti Indonesia menerapkan sistem Islam sebagaimana di Kerajaan Arab Saudi".

"Kenapa bisa seperti itu?", tanyanya keheranan

"Kalau pertanyaannya seperti itu, kenapa juga negaramu (Mesir) yang muslimnya mayoritas sistem hukumnya juga sama dengan kita (Indonesia)", tanyaku

"Ok. Tapi kan kita beda dengan kalian. Kita bangsa Arab dimana al-Quran dan Nabi Muhammad Saw turun kepadanya. Kamu tahu bahasa al-Quran adalah bahasa kita (Arab). Jadi Arab adalah segala-galanya", jawabnya ngotot.

Obrolan yang tadinya ringan dan cair menjadi tegang lantaran saya menyamakan mereka (Arab) dengan kita (Non-Arab).

Saya hanya bisa tersenyum simpul mendengar jawabannya.

"Tidak ada yang hal membedakan antara Arab dan Ajam (Non-Arab). Nabi Muhammad Saw turun di Arab karena orang Arab saat itu bangsat-bangsat", jawabku sambil canda

Dia terdiam dan mukanya memerah.....

"Tapi kamu harus tahu bahwa Bangsa Arab adalah semulia-mulia dan sekuat-kuatnya bangsa dimanapun. Ini sudah nash. Negara-negara Barat ibarat hewan yang tidak bermoral", tambahnya

"Nash yang mana?. Nash yang ada malah mengatakan bahwa Nabi tidak pernah membedakan antara Arab dengan Ajam. Yang membedakan hanya ketaqwaan kita. Kalau kamu bilang Arab kuat, mana buktinya?. Justru yang terjadi sebaliknya. Di tingkat elit, para pemimpin-pemimpin Arab tidak punya bargaining possition dengan Barat. Mereka tunduk dan takut ama Amerika dan Uni Eropa", kataku

"Lihat saja polemik di Palestina. Mana 'gigi' Arab. Ketika Amerika memboikot Hamas, tidak ada negara Arab yang berani 'angkat koper' memberikan suplai dana ke sana. Apakah negara Arab sudah bangkrut?. Tentu saja tidak. Itu karena mereka ditekan Amerika dan Eropa. Sekarang kalau Arab punya bargaining dengan Barat, saya kira hal itu bisa ditangani dengan baik", tambahku.

"Iya itu karena mereka (elit-elit Arab) jauh dari agama. Mereka tidak mau bersatu", sergahnya

"Itulah jawabannya. Jadi jangan bangga dengan kearaban. Kita, baik sebagai orang Arab maupun muslim, masih harus banyak belajar berpolitik. Kalau selamanya kita menutup dialog dengan Barat, kapan kita akan bersaing dengan mereka. Jadi jangan heran kalau selama ini kita ditekan Barat", kataku singkat

"Berarti kamu tidak mempercayai bahwa bangsa Arab adalah bangsa yang mulia?", tanyanya

"Bukan persoalan percaya atau tidak. Kita kan sedang membincang realita. Kalau realitanya memang Arab itu lemah di mata Barat, mereka harus segera bangkit dong. Jangan hanya masyghul dengan nash. Toh konteks nasnya juga tidak demikian", jawabku.

"Lantas, kenapa kamu ke Mesir. Ini berarti kamu masih mengakui kalau Arab itu lebih hebat dari negaramu", tanyanya dengan nada tinggi

"Hahaha...saya ke sini karena Al-Azhar, bukan karena Mesir. Meskipun banyak kelebihan, saya berani katakan bahwa dalam beberapa hal, Mesir tidak bisa dijadikan sebagai percontohan negara muslim yang baik. Lihat saja sendiri bagaimana parahnya negara Mesir", jawabku agak ketus.

Saya melihat dia semakin bingung dan tegang...

"Ya sudahlah. kapan-kapan kita sambung lagi", ujarku sambil mengakhiri dialog itu

Saya pamitan dan meninggalkan tempat itu.

-----

Kawan-kawan, itu hanya contoh kecil bagaimana cara pandang orang Arab yang seringkali silau dengan kearaban mereka. kita pun demikian. Seringkali dibuat silau oleh kata ISLAM di KTP kita. Kalau dikatakan bahwa Islam adalah segala-galanya dengan segala kemuliaannya dibanding dengan agama lain, saya sepakat sekali. Tapi kita belum pernah serius mengkaji keislaman itu secara baik. Dalam keseharian kita, simbol-simbol dan hal-hal fisik yang selalu kita dahulukan. Pokoknya yang penting Islam dan berbau Arab, tanpa ada usaha serius mengelaborasi nilai-nilai universal Islam dalam dinamika kita.

Lagi-lagi kita harus menyadari bahwa kita tertinggal jauh dari Barat. Ini PR kita bersama. Sikap saling menghormati (tasamuh) dan dialog dengan komunitas lain (Barat) mutlak diperlukan. Makanya kita harus membangun optimisme untuk bangkit dan bersaing secara aktif.

Sikap underestimate berlebihan terhadap Barat juga kurang arif. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, ada hal positif yang bisa kita tiru dari Barat, misalnya IT, disiplin, semangat berkarya dan sebagainya.

Semoga kita semakin arif dalam memperkenalkan keislaman kita

Merry Christmas


Kepada segenap umat Kristiani Kami mengucapkan

SELAMAT HARI NATAL

Damai selalu.
Semoga momen ini memberikan semangat baru
untuk menjadi insan yang bermanfaat

bagi sesama dalam naungan cinta dan kasih sayang

Kenalan dengan Yesus dan Injil

"Kalau Muhammad Abduh menemukan Islam di Barat,
saya menemukan kebahagiaan di pesantren".

Apa yang menarik dari komentar tersebut. Bagi kita yang notabene muslim, komentar itu mungkin sangat biasa. Tapi menjadi luar biasa karena itu diucapkan oleh orang Kristen Liberal, dalam suatu obrolan pagi, yang memberikan apresisasi luar biasa terhadap lingkungan pesantren. Menurutnya, tradisi scholastic dikembangkan dengan baik oleh pesantren.

Saya tidak hendak mengupas jauh; kenapa dia 'kepencut' ama pesantren. Paling tidak, saya menilai bahwa kawan saya ini cukup enjoy untuk diajak membincang masalah ini lebih dalam. Karena ini persoalan teologi yang rentan menimbulkan kesalahpahaman.

Dengan ditemani roti bakar, segelas kopi susu dan sebungkus rokok Cleoptara, saya mencoba menelisik lebih dalam tentang 'daleman' agama Kristen. Tidak ada sentimen agama sama sekali. Saya hanya ingin tahu lebih jauh tentang problem teologi yang dianut oleh saudara saya itu.

Obrolan ini mengingatkan saya kepada tayangan dialo
g antara Ahmad Deedat dan salah seorang pendeta di Eropa. Di sana, dengan gamblang, sang Orator berkebangsaan Afrika itu mengupas tuntas habis kejanggalan-kejanggalan yang ada di Bible.

Tentu saja saya beda dengan Deedat. Kalau dia begitu menguasai informasi ke-Bible-an dan kekristenan, bahkan menguasai bahasa Yunani, saya h
anya orang awam yang ingin tahu tentang Kristen. Boro-boro paham bahasa Yunani, paham Inggris aja udah untung...

Pertanyaan pertama yang saya lontarkan, "Bagaimana umat Kristen merespon opini mayoritas tentang kisah penyaliban Yesus?.

Sambil menghisap rokoknya dalam-dalam dan mengepulkan keluar sembari mengubah posisi duduknya, dia menjawab, "Ziz, itu memang problem yang sampai sekarang belum tuntas. Saat ini, ada upaya untuk membuktikannya lewat tes DNA. Apakah yang disalib itu Yesus (Isa) atau bukan. Dari situ kita akan tahu tentang kebenar
annya?".

Jawaban itu justru membuat saya penasaran. "Kalau memang tes DNA baru diupayakan, berarti bisa dikatakan umat Kristen belum bisa meyakini betul bahwa yang disalib adalah Isa?".

Ia terdiam.....

Saya cukup tanggap melihat ekspresinya. Karena
ini area sensitif, saya pun menghentikan pembahasan ini.

Saya mencoba untuk berbelok arah, "Lantas, problem tentang Bible sendiri gimana", lanjutku.

"Maksud anda", tanyanya serius.

Akhirnya saya mencoba menguraikan beberapa ma
klumat yang saya tahu dari materi kuliah tentang Kristen. Dengan harapan, hal ini bisa dishare dengannya.Injil berarti "Gospel" atau "berita baik" yang diajarkan Yesus Kristus selama masa tugasnya yang singkat. Beberapa penulis "Gospel" sering menyebutkan Yesus melakukan dan mengajarkan ajaran tersebut (Injil), misalnya:

1. "Demikianlah Yesus berkeliling ... memberitakan Injil... serta melenyapkan segala penyakit dan kelemahan." (Injil - Matius 9: 35).
2. "... barangsiapa kehilangan nyawanya karena aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya." (Injil - Markus 8: 35).
3. "... memberitakan Inji1...." (Injil - Lukas 20: 1 ).

Injil adalah kata yang sering digunakan, tetapi Injil yang bagaimanakah yang diajarkan Yesus? Menurut beberapa sumber yang saya dapat, dari 27 kitab Perjanjian Baru, hanya sedikit yang dapat diterima sebagai sabda Yesus. Umat Kristen bangga dengan Injil Matius, Injil Markus, Injil Lukas, dan Injil Yohanes, tetapi tak ada sebuah pun Injil Yesus!

Dengan tulus para umat Kristiani meyakini bahwa segala sesuatu yang diajarkan Yesus berasal dari Tuhan. Itulah Injil, berita baik dan petunjuk dari Tuhan untuk bani Israil. Dalam seluruh hidupnya Yesus tidak pernah menulis sebuah kata pun, dan juga tidak memerintahkan seorang pun untuk melakukan hal tersebut. Injil yang dipergunakan saat ini adalah hasil pekerjaan tangan dari orang yang tidak diketahui namanya.

"Ziz, kalau berbicara soal ini, perlu waktu panjang. Diskusi ini lagi-lagi harus dengan basis ilmiah yang cukup rumit", ungkapnya

"Oke Mas. Saya setuju. Tapi saya hanya ingin anda bisa memetakkan deskripsi global latarbelakang historis bible yang pada akhirnya sampai di kita", tambahku penasaran.

"Begini. Sebenarnya, sampai sekarang kita belum tahu 'sumber' bible yang asli. Bible yang ada di tangan umat Kristiani sekarang, merupakan rangkuman-rangkuman yang dibuat oleh para murid Yesus tempo dulu. Bisa dikatakan, ucapan-ucapan Yesus adalah kata hikmah yang dirangkum dan dikodifikasikan. Saat itu pun, umat Kristen belum terorganisair dengan baik. Yang ada hanya padepokan-padepokan atau semacam tarekat dalam bahasa kita (Islam)". Mendengar jawaban itu, saya pun termenung.

"Lantas, kalau itu memang hasil rangkuman dari para murid Yesus, siapa yang menjamin bahwa rangkuman itu valid dan bisa dipertanggungjawabkan?", tambahku.

"Rangkuman itu sudah diperiksa secara teliti oleh suatu dewan. Jadi bisa dipertanggungjawabkan", ulasnya singkat.

Bincang-bincang singkat ini cukup menarik bagi saya. Sebagai orang yang tidak punya basis kristologi, pertanyaan itu sudah cukup membuat mumet. Saya juga tidak tahu apakah keterangan dan jawaban tersebut merupakan representasi dari doktrin Kristen yang sesungguhnya.

Anyway, lagi-lagi saya berharap tambahan informasi ini membuat kita semakin toleran dan arif terhadap kehadiran pemeluk agama lain. Dialog antar agama pun harus diselenggarakan secara sehat, tidak untuk menjatuhkan satu sama lain. Semoga bermanfaat.

Jurus Menghadapi Orang Iseng

(Pengalaman singkat jadi Freelancer-nya RCTI)

Ceritanya begini. Beberapa hari sebelum kru RCTI datang ke Kairo, untuk mengikuti "Cairo Film Market" yang barengan dengan "30th Cairo International Film Festival" di Opera House, Tahreer, Kairo, saya sempat ditelpon oleh salah seorang pegawai Kedutaan. Beliau nawarin saya untuk ikut menjaga stand RCTI yang akan berpartisipasi pada festival tersebut. Tanpa pikir panjang, saya mengiyakan. Lumayan kan buat pengalaman sebelum jadi artis Hollywood atau Bollywood hehehe.

Setelah saya oke, ada pertanyaan menggelitik; "Ziz, kamu bisa Bahasa Inggris ngga?. Saya tersenyum simpul dan geli. "Lumayan sich Pak. Dulu PR English saya dapat angka 9 ", candaku. Beliau pun tertawa. "Ya udah, kalau gitu, lusa saya telpon lagi", kata Bapak itu sambil mengakhiri pembicaraannya.

Anyway, Sabtu malam saya ditelpon lagi tentang kepastian kalau besok saya kebagian jaga. Beneran ternyata. Syukur dech.

Hari Ahad, hari pertama saya jaga stand. Rutenya lumayan gampang. Soalnya Opera House, termasuk halte yang dilintasi Metro Anfaq (KRL). So, kalau ke sana ngga akan terjebak macet.

Sesampainya di lokasi, saya sempat bingung. Maklum, tempatnya gede banget. Sampai di stand, saya sempat kaget, "Wah krunya Chinese semua". Maklum saja kru RCTI yang datang kebetulan semuanya bermata sipit. Makanya wajar saja setiap ada yang datang, dikiranya ini stand film Hongkong. Ada-ada aja.


Pertama masuk lumayan canggung. Maklum dong. Biasanya pegang diktat-diktat kuliah yang hurufnya bengkok-bengkok (Arab), sekarang berhadapan dengan katalog program TV dan CD-CD sampel film. Bismillah........

Pengalaman ini begitu menarik. Paling tidak, saya menjadi kenal dengan suasana transaksi jual-beli Hak Siar. Dalam posisi ini, saya tertuntut untuk bisa menjelaskan produk-produk film dan program lain sambil menerangkan kelebihan dan nilai jual yang bisa ditawarkan.

Di even ini, beragam orang menyambangi stand kita. Mulai dari Chief Manager,
Produser, Sutradara, Artis dan Kritikus Film, sampai dengan orang-orang iseng yang hanya nyanggong di depan TV Plasma yang tersedia sambil minta gratisan CD dan katalog. Awalnya sich kita permisif getu. Kalau mau, ambil sono. Kita punya banyak stok kok. Tapi lama-lama sebel juga kalau kebanyakan yang iseng. Orang datang minta gratisan. Udah getu rombongan lagi. Bahkan ada yang bawa tas plastik khusus untuk koleksi 'barang gratisan'.

Ya udah. Akhirnya saya harus menyiapkan jurus kuda-kuda untuk menghadapi yang
begituan. Korban pertama, orang Mesir yang berpakaian ala kadar sambil bawa bungkus plastik warna terang. Saya bisa melihat dengan jelas apa yang ada dalam plastik itu. Majalah-majalah dan poster. Ahaaaaa, sudah bisa ditebak.

Ketika dia sibuk milih-milih sampel katalog dan CD yang kami taruh di
atas meja, saya samperin itu orang, "Kalian tahu, ini film tidak ada terjemahan Arabnya. Udah getu nyetelnya harus pake DVD. Kalau kamu ngga punya DVD dan CD keburu masuk, itu mesin bisa rusak". Ya udah pasang sok mantap aja.

Yang namanya orang ngga ngerti, ya percaya aja. Tanpa basi-basi mereka ngeloyor pergi.

Bukannya pelit sich. Soalnya persediaan yang ada dikhususkan buat keperluan deal dengan beberapa Stasiun Televisi.

Tapi banyak juga yang mampir dengan maksud yang jelas. Kalau wartawan, biasanya mereka
mewawancarai kita untuk bahan reportase; kalau kritikus film, biasanya mereka ngasih comment sebagai pendahuluan sebelum minta kenang-kenangan CD film yang udah diterjemah; untuk Chief Manager dan anak buahnya, tentunya mereka melakukan deal tentang penjualan license dari produk yang ada, dan lain-lain. Kalau yang model beginian sich langsung kita kasih gratis bil balasy alias gratis.

Ada seorang pengunjung berkebangsaan Yaman, mampir dan memberikan
kesan bahwa Indonesia lebih care dengan film-film religius daripada negara Arab. Saya tanya; "Kenapa bisa berkesimpulan seperti itu?". "Tuch kamu liat artis yang berjilbab itu", jawabnya sambil menunjuk poster Film "Taqwa" yang dibintangi Nabila Syakieb. Bener ngga sich?. Terserah anda menilai.

Meskipun beberapa hari, banyak pengalaman yang saya dapatkan. Pak Apni and Mas Hendi, terima kasih atas kepercayaan dan bimbingannya. Kita tunggu lagi kedatangannya. Kalaupun ngga untuk pameran, itung-itung reuni dong ama Celopatra dan Sungai Nil.

Jika Ajal Menjemput

Apa yang anda bayangkan tentang Sakaratul Maut. Tentu saja kengerian. Ia merupakan proses dimana seseorang akan dicabut nyawanya oleh Malaikat Izrail. Proses ini sekaligus mengakhiri kisah Anak Adam menghuni planet bumi ini.

Pagi tadi, saya menyaksikan secara live bagaimana seseorang melewati detik-detik akhir itu. Begitu ngeri dan menegangkan. Jam 09.00 Waktu Kairo, saya keluar rumah untuk memprint-out surat yang hendak saya kirimkan kepada seorang kawan yang akan pulang ke Tanah Air. Setelah semuanya beres, saya pergi menuju toko alat tulis guna membeli amplop besar.

Dengan setengah berlari, saya menyusuri gang samping rumah. Tiba-tiba langkah saya terhenti lantaran ada seorang laki-laki -yang saya duga anaknya- memanggil; "Ya Ibni, lau samaht. Mumkin titla' fuq (Mas, bisa ngga naik ke atas bentar. Saya butuh pertolongan)", pintanya dengan nada memelas. Saya yang saat itu sedang membawa beberapa berkas di tangan, spontan menuju flat orang tersebut yang terletak di lantai 3.
Dari bawah, saya mendengar seorang Ibu berteriak-teriak kesakitan. Pikiran saya berkecamuk tidak menentu dan bertanya-tanya; "Apa yang terjadi?".

Sesampainya di atas, saya sudah mendapati Ibu tua renta itu duduk di atas kursi dengan posisi lemas dan menengadah pasrah ke atas. Itu menandakan bahwa kondisi tubuhnya sedang kritis.

Tanpa pikir panjang, saya langsung angkat 2 kaki kursi bagian depan, sedangkan si anak mengangkat dan menyanggah punggung kursi. Ibu itu tetap dalam posisinya. Begitu cepat langkah si anak tadi, sampai saya sempoyongan. Maklum saja, Ibu-ibu Mesir kalau sudah lanjut usia, biasanya bobotnya sudah over-weight. Jadi, tubuh mungilku pun harus mengimbangi kecepatan langkah si anak tadi.
Gerak saya menjadi susah, lantaran sandal yang saya pakai licin. Salah-salah malah bikin suasana jadi berabe.

Lantai satu dan dua kita lalui dengan diiringi rintihan si Ibu itu yang nampaknya semakin merasakan kesakitan. Teriakannya bikin lutut saya melemas. Karena posisinya tidak imbang, seringkali si Ibu nyaris jatuh. Maklum tangganya agak curam.

Sampai pada tangga pertama, si Ibu minta istirahat. Ia ingin mengenakan kembali mukenanya yang sempat terlepas. Kesempatan ini saya manfaatkan untuk mengatur nafas yang sudah tersengal-sengal.

Setelah itu, kita langsung mengangkat kembali tubuh si Ibu dengan posisi seperti semula. Yang mengherankan, saya tidak mendengar lagi rintihan-rintihan itu. Suasana hening. Pikir saya, mungkin si Ibu udah agak enakan. Saya hanya masyghul sambil mempercepat langkah supaya kita segera sampai di lantai dasar.

Taksi sudah menunggu di bawah.

Ketika kita hendak mengangkatnya ke dalam taksi, saya mendapati mata si Ibu itu membelalak tidak berkedip dengan wajah pucat. Spontan si anak pun histeris dan menangis memeluk si Ibu. Saya sempat menepuk-nepuk lengan si Ibu untuk meyakinkan apakah memang betul-betul sudah tidak ada respon.

Inna Lillaahi wa Innaa Ilaihi Raajiuun. Ibu itu telah tiada.

Karena jam sudah menunjukkan pukul 10.00 Waktu Kairo, saya harus bergegas pamit dan meninggalkan si anak yang telah ditemani oleh beberapa tetangga. Penginnya sich nolong, tapi saya buru-buru hendak ke Air Port. Ma'alisy ya Akhi (Sorry ya !!!).

Kawan-kawan sekalian. Jika ajal menjemput, kita tidak akan bisa melakukan apa-apa. Hanya kepasrahan dan harapan Husnul Khotimah yang menjadi idaman setiap orang. Kisah ini menjadi pelajaran bagi kita bahwa ajal akan datang sewaktu-waktu. Saat yang ada, semoga bisa kita manfaatkan untuk sebanyak mungkin menggali bekal untuk menyongsong kehidupan akhirat yang abadi.

Akhirnya Harus Berpisah

Apakah anda sudah pernah menonton kisah percintaan Jun Xiang (Bae Yong Joon) dengan U Jin (Choi Ji Woo) dalam serial Winter Sonata?. Bagi yang sudah menonton, anda bisa menyimpulkan sendiri kisah itu. Tapi bagi yang belum, semoga anda berkesempatan untuk menontonnya. Bagi saya, serial ini memberikan makna penting dalam hidup. Makanya, tidak bijak rasanya kalau dikatakan bahwa cinta membuat orang buta akan segala sesuatu.

Justru, seringkali karena cinta, saya merasa kepekaan dan empati seseorang, bisa melewati titik-titik terpenting dalam perjalanan hidup. Kalau ingat akan kisah; bagaimana Jun Xiang meninggalkan U Jin yang sedang tidur terlelap, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan.

Jun Xiang dan U Jin saling jatuh cinta. Begitu singkat prosesnya. Namun, begitu singkat pula kebersamaan yang mereka jalani. Di saat mereka sedang asyik bermimpi, tiba-tiba terbangun. Kenyataan dalam 'mimpi' itu begitu menyakitkan. Iya. Meskipun tidak diinginkan, perpisahan harus terjadi.

Malam terakhir...
Ketika U Jin tidur lelap, Jun Xiang bangun dan keluar ke tepi pantai. Ia bangun karena gelisah harus meninggalkan U Jin. Termenung lama. Akhirnya, semua barang pemberian U Jin, termasuk jam tangan, dibuang jauh-jauh ke laut. Ia tidak ingin menderita dengan mengenangnya. Tentu saja bukan karena Jun Xiang tidak cinta. Ia melakukan itu semua karena ketulusan cinta. Ia ingin U Jin mendapatkan kepastian akan masa depannya.

Terakhir, Ia menghampiri U Jin -yang sedang terlelap dengan mimpi indahnya bersama Jun Xiang- dan mencium keningnya. "U Jin, aku cinta kamu. Maafkan aku karena harus meninggalkanmu", bisiknya. Setelah itu, Jun Xiang meninggalkan U Jin sendiri di sebuah bilik rumah sederhana yang mereka sewa.

Jun Xiang nampaknya belum siap untuk berpisah, begitu juga U Jin. Ia tidak ingin melihat air mata menjadi pamungkas kisah mereka. Bahkan, ia ingin U Jin membencinya agar perpisahan bisa diterima secara ikhlas. Berbagai cara dilakukan. Suatu hari, Jun Xiang bilang bahwa U Jin adalah saudaranya. Jadi hubungan ini tidak bisa diteruskan. Maka, lebih baik Jun Xiang pergi ke Amerika Serikat untuk meneruskan kuliahnya. Nampaknya U Jin cukup shock dengan kabar itu.

Kepergiannya ke Amerika Serikat, menjadi teka-teki bagi U Jin. Tapi dengan sangat bijak, Jun Xiang menenangkan dan mengatakan bahwa ia hanya meneruskan studi. Vonis dokter yang menyatakan bahwa kerusakan saraf mata akibat kecelakaan itu bisa mengakibatkan buta, cukup membuat Jun Xiang stress. Bahkan, kematian bisa ditebak dengan hitungan medis. Oleh karenanya, dokter merekomendasikan Jun Xiang untuk melakukan operasi di AS. Paling tidak, itu sebagai alternatif lain dari kematian.

Walhasil, setelah beberapa tahun, mereka dipertemukan di sebuah bangunan mewah nan elegan.

Bangunan itu adalah wujud dari replika yang pernah dibuat Jun Xiang beberapa tahun yang lalu. Sebelumnya, U Jin pernah melihat replika itu di kantornya. Salah satu temannya menginformasikan bahwa wujud replika itu telah dibangun di suatu tempat. U Jin pun tertarik untuk berkunjung.

Suatu hari, Jun Xiang mengunjungi tempat itu, di saat U Jin telah berada di sana. Di suatu ruangan, mereka dipertemukan dengan sangat dramatis. U Jin yang sedang asyik menikmati pemandangan di salah satu balkon, tanpa sengaja, menyenggol barang. Kontan, Jun Xiang yang saat itu berada di belakangnya, kaget dan bertanya; "Siapa itu?". U Jin terpaku dan tanpa terasa air mata telah membasahi pipinya karena mendapati Jun Xiang buta dan memegang tongkat. Jun Xiang curiga; "Apakah kamu U Jin", tanyanya. Untuk kesekian kalinya, U Jin tidak menjawab. Akhirnya Jun Xiang yakin bahwa yang ada di depannya adalah U Jin. Air mata pun tak terbendung.

Begitulah kisah pertemuan kembali cinta sejati yang sekian lama terpisah. Keputusan untuk berpisah sangatlah menyakitkan. Tapi, sesuatu yang menyakitkan itu, bisa jadi akan membuat ia mendapatkan kebahagiaan yang hakiki meskipun dimulai dengan belajar membenci.

Rehat Aaaah......

Malam ini, saya merasa penat. Karena dikejar dead-line, terpaksa saya harus mlototin kompi seharian penuh. Alhamdulillah akhirnya kelar juga. Tadi sempet keluar rumah beli cemilan. Yach..pengin menghirup udara malam sambil ngeliat yang sawangable hehhe. Sialnya, saya kelupaan bawa topi, shawl n kaos kaki. Padahal angin di luar kenceng banget. Sampai rumah, kolaps n sesak napasnya kambuh. Tapi bukan asma lho ya.

Bulan puasa kemarin, saya sempet terapi soal sesak napas ini ama kawan yang pernah 'mondok' di 'pesantren'nya Pak Hembing. Setelah didiagnosa, ternyata penyebabnya keseringan begadang sambil ngerokok n masuk angin. So...akhirnya 'mulek' di dalam dan menyumbat pernapasan :(. Sebelum pulang, saya dikasih resep. Kalau bahasa saya, suplemen sebelum begadang. Mau tahu?. Jeruk nipis diperas n dicampur madu. Udah getu, diseduh ama air panas.

Karena udah ngga mood ngapa-ngapain, iseng aja buka folder old song di kompiku. Yahhh nemu Everything I do I do it for you-nya Bryan Adam. Sambil rehat n menikmati El'isy (semacam sukun) goreng, saya ingin menghabiskan malam ini bersama Bryan Adam. Have nice dream semuanyaa

Look into my eyes - you will see
What you mean to me
Search your heart search your soul
And when you find me there you'll search no more

Don't tell me it's not worth tryin' for
You can't tell me it's not worth dyin' for
You know it's true
Everything I do - I do it for you

Look into my heart - you will find
There's nothin' there to hide
Take me as I am - take my life
I would give it all - I would sacrifice

Don't tell me it's not worth fightin' for
I can't help it - there's nothin' I want more
Ya know it's true
Everything I do - I do it for you

There's no love - like your love
And no other - could give more love
There's nowhere - unless you're there
All the time - all the way

Oh - you can't tell me it's not worth tryin' for
I can't help it - there's nothin' I want more
I would fight for you - I'd lie for you
Walk the wire for you - ya I'd die for you

Ya know it's true
Everything I do - I do it for you

Suka Iseng Memakai Ayat

Seharian tadi, saya jalan-jalan menyusuri Wikalah, pasar rakyat yang menjual pakaian-pakaian dengan harga sangat miring. Pasar ini kebetulan jadi langganan para mahasiswa. Maklum saja. Dengan kondisi kantong pas-pasan, kita bisa membeli jaket dan perlengkapan musim dingin dengan aneka selera yang kita suka. Hehehe so bisa menghemat.

Menjelang maghrib, saya pulang. Karena tidak ingin terjebak macet, metro bawah tanah menjadi alternatif. Ketika memasuki stasiun, saya kaget ketika di sana ada kerumunan orang seperti abis tawuran. Kontan saja hal itu membuat para calon penumpang susah untuk sekedar turun tangga dan berderet di antrean loket. Ada apa gerangan?. Karena penasaran, saya mendekati kerumunan itu.

Setelah saya berada di antara kerumunan itu, barulah penasaran saya terjawab; mereka pada sibuk menempelkan poster calon untuk suatu pemilihan. Saya tidak begitu jelas calon untuk pemilihan apa (?). Boro-boro mlototin, untuk sekedar melihat poster saja harus berdesak-desakan kayak orang rebutan mencium Hajar Aswad hahaha. Ditambah postur tubuh saya yang kecil dibanding orang-orang Arab.

Saya jadi teringat setiap kali akan ada Pilkades (Pemilihan Kepala Desa). Di mana-mana, akan kita jumpai kertas bergambar padi, mangga, singkong, bengkoang, bawang, tomat dan sebagainya.

Samar-samar, mata saya terpaku pada potongan ayat al-Quran yang sudah tidak asing. Intinya kurang lebih "Kalau Allah menolong kamu, niscaya kemenangan akan selalu memihakmu". Ini cara klasik yang sering saya jumpai dalam setiap "pesta demokrasi". Politisasi ayat nampaknya semakin menjadi trend yang dianggap efektif meraup suara, utamanya di dunia Arab. Mungkin (hanya negative thinking) mereka hendak 'mengelabuhi' publik dengan beragam kampanye atas nama agama. Bisa jadi mereka masih mengira bahwa orang Islam gampang dibohongin dengan hal-hal yang berbau agama. Hanya bau lo!!!. Iseng banget ya.

Saya tidak hendak menggurui atau merasa dalam pihak yang benar dengan banyak memberikan analisa. Saya hanya 'muallaf plus' yang sering dibuat kaget dengan motif-motif model beginian. Masing-masing dari nurani kita pasti punya komentar. Anggap saja tulisan singkat ini sebagai curhat dari hati ke hati (duh romantisnya :D).

Pancasila Sudah Islami

"Saya kok heran Mas ya. Di Indonesia, banyak orang yang pinter agama, tapi sikap dan tingkah-lakunya seringkali tidak mencerminkan Islam. Saya yakin, tidak ada yang salah dengan Islam. Kalau dianalogikan dengan komputer, nampaknya 'mereka' harus segera diinstal-ulang", ungkap Pak Sony (bukan nama sebenarnya) dalam bincang-bincang hangat ketika kami silaturahmi ke rumahnya.

Komentar 'kritis' itu menjadi mukadimah obrolan kami yang sangat 'gayeng'. Sembari mencicipi lontong sayur, kami banyak membincang tentang isu-isu keagamaan yang akhir-akhir ini kembali marak. Ambil satu contoh tentang penerapan Syariat Islam, yang diformilkan dalam Perda Syariat.

Indonesia merupakan negara dengan sistem republik yang menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Sebagai asas, Pancasila dianggap pilihan tepat dan strategis. Saya menduga para pendiri negara tempo dulu sudah mempertimbangkan keberagamaan dan kemajemukan rakyat yang ada di berbagai pelosok, baik suku, agama, ras, dan golongan.

Sebagai negara muslim terbesar (75% dari sekitar 250 juta jiwa), Indonesia tidak hanya diperkaya budaya daerah, namun 'budaya' hasil dari prosesi keberagamaan, semakin memperkuat ciri Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi pluralitas umat beragama. Pluralitas di sini saya artikan sebagai sikap menjunjung tinggi kemajemukan yang ada, bukan menganggap semua agama sama.

Hemat saya, Pancasila sudah efektif dalam mengakomodir keragaman agama yang ada. Secara subtansial, nilai-nilai Islam justru dijadikan sebagai mainstream dalam mengatur dinamika nasional. 5 agama -Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha- dan beberapa kepercayaan (animisme dan dinamisme) hasil peninggalan nenek moyang, nyatanya bisa mengekspresikan diri secara alami.

Kalau Islam di Madinah zaman Rasul sebagai agama minoritas (15% dari 10000 jumlah penduduk Madinah), Islam di Indonesia justru agama mayoritas. Kalau zaman Rasul -di bawah payung Konstitusi Madinah- Islam bisa mewarnai kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara, maka kehadiran Islam di Indonesia dengan segala perangkatnya diharapkan lebih bisa menjadi rahmat bagi seluruh bangsa Indonesia khususnya, dan masyarakat dunia umumnya. Dalam konteks ini dibutuhkan sikap moderat dalam memahami nilai-nilai Islam secara baik berikut dengan aplikasinya.

Survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa mayoritas Muslim Indonesia bersikap moderat dan lebih berorientasi kepada keberagamaan dan kebangsaan. Itu dapat dilihat dari pemilu bebas yang dilaksanakan pada tahun 1955, 1999, dan 2004. Pemilu-pemilu tersebut dimenangkan parpol yang berbasis kebangsaan (PNI, PDIP, Golkar), bukan parpol yang berasaskan Islam.

Lantas bagaimana kalau penerapan Syariat Islam diformilkan dalam tata perundang-undangan Indonesia?, misalnya dengan pemberlakuan Peraturan Daerah (Perda) Syariat.

Penerapan Perda bernuansa Syariat Islam di sejumlah daerah ditanggapi beragam oleh masyarakat Indonesia. Dari hasil survei lembaga yang dimotori Denny JA itu, pertengahan Agustus 2006, mayoritas masyarakat (59,7%) mengkhawatirkan terbitnya Perda Syariat karena akan mendorong perpecahan, bukan hanya antar umat beragama, tetapi sesama muslim.

Apakah itu berarti masyarakat Indonesia sudah tidak Islami?. Saya kira persoalannya tidak di sini.

Survei ini menggambarkan keinginan mayoritas masyarakat Indonesia agar hukum nasional yang menjamin keberagaman diterapkan dan bukan hukum Islam (yang tekstual). Ini diperkuat dengan opini non-muslim (seperti masyarakat Kristen sebanyak 78,5%) yang menginginkan hal yang sama. Naifnya, penerapan syariat ini sering dikumandangkan oleh kaum-kaum radikal yang sok tahu tentang Islam. Sikap anarkhis atas nama agama, menjadi senjata ampuh bagi mereka untuk menggolkan kepentingaannya.

Intinya, penerapan sejumlah Perda Syariat di sejumlah daerah tidak menggambarkan keinginan mayoritas rakyat Indonesia. Tapi, kita jangan berkonklusi bahwa Islam harus ngikut bangsa Indonesia. Rakyat hanya melihat ideologi Pancasila sebagai sistem kenegaraan terbaik di tengah Indonesia yang majemuk. Kalau diprosentase, hanya sebagian kecil masyarakat yang menginginkan Indonesia mengembangkan negara Islam a la Timur Tengah atau pun negara demokrasi dengan mengambil model negara Barat.

Beberapa daerah yang sudah dalam taraf Trial and Error dalam hal ini, kenyataannya belum efektif memberikan format yang ideal. Masyarakat cenderung melihat simbol dan formal serta mengesampingkan substansi nilai-nilai universal keislaman itu sendiri. Semangat dan nafas Islam adalah hal terpenting. Jadi, kalau memang Pancasila dan undang-undang yang ada sudah mengakomodir ajaran Islam, maka itu harus dipatuhi sebagai kewajiban bangsa terhadap pemerintah (Ulil Amri), selama tidak menyimpang dari syariat yang diajarkan. Atau, kalaupun Perda tersebut harus diberlakukan, selama menjunjung tinggi pluralitas (toleransi) keberagamaan -seperti dalam Konstitusi Madinah- juga patut diapresiasi.

Saya yakin mayoritas muslim Indonesia sadar dengan kewajiban melaksanakan Syariat Islam. Tapi syariat yang bagaimana?. Dengan harapan, kehadiran Islam di Indonesia bisa membawa kesejukan bagi sesama bangsa Indonesia. Waallaahu 'A'lam Bisshowwaab

Kairo, 4 Nopember 2006

Lelucon Perang Lebanon

Meski jembatan, jalan, dan gedung-gedung hancur dihajar rudal Israel, korban tewas dan luka-luka berjatuhan, orang Libanon tetap bisa guyon. Banyak lelucon beredar

Hidayatullah.com--Orang Libanon Selatan naik pamornya sejak berhasil mengalahkan Israel dalam perang bulan lalu. Meskipun ribuan rumah, jembatan, jalan, dan gedung-gedung hancur dihajar rudal Israel, dan korban tewas dan luka-luka berjatuhan, orang Libanon tetap bisa guyon. Banyak lelucon beredar. Salah satunya kami kutipkan untuk Anda di bawah ini.

Seorang petani tembakau di Libanon Selatan bernama Abu ‘Abid menelfon PM Israel Ehud Olmert.

“Mr. Olmert?!”

“Ya, saya sendiri.”

“Saya Abu ‘Abid dari Libanon Selatan. Dengan ini kami rakyat Libanon menyatakan perang dengan Israel!”

“Baik. Berapa orang pasukan infantri Anda?”

“Saya, anak saya, keponakan saya, ipar saya, sepupu saya, dan semua teman saya di warung kopi!”

“Oke. Pasukan saya jumlahnya 1 juta orang, terdiri dari pasukan khusus, intelijen, dan pasukan regular.”

“Nggak takut! Kita tetap perang!”

“Oke. Persenjataan apa saja yang Anda punya, Abu ‘Abid?”

“Kami punya sedan Mercedes tahun ’86, ditambah truk sayur ipar saya, dan masing-masing anggota pasukan bawa cangkul, garu, dan sekop. Oh iya, linggis juga ada!”

“Oke. Saya punya 300 rudal nuklir. 200 jet tempur. 25 kal perusak. 700 tank Merkava.”

“Nggak takut! Kita tetap perang!”

“Baiklah. Karena kamu pemberani saya akan menambah jumlah pasukan saya jadi 2 juta orang!”

“Mr. Olmert. Kita batalkan saja perang ini…”

“Kenapa? Takut ya..?”

“Bukan. Kami nggak mampu ngasih makan 2 juta tawanan perang.”

Telepon ditutup.* [dzik/hidayatulah.com]

Happy Eid

Kami mengucapkan:

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITHRI 1427 H

Ja'alanallahu wa iyyaakum minal 'aidin wal faizin
Mohon maaf lahir dan bathin

Semoga hari yang fithri ini
menjadi babak baru bagi kita untuk terus memacu prestasi hidup.
Semoga hidup yang hanya sekali ini menjadi sangat berarti bagi kita dan orang lain.

"Kalau kita tidak mampu menjadi bintang yang menerangi langit
Jadilah Lampu yang menerangi rumah"

Taqabbalallaahu minnaa wa minkum taqabbal yaa Kariim
Kullu Am wa Antum Bikhoir

4 Kali Salah Suntik (Habis)

Ini hari pertama di Rumah Sakit Ta'min Sihy. Ta'min Sihy bisa dibilang rumah sakit khusus buat warga yang memegang Kartu Askes. Namanya aja Ta'min Sihy (Asuransi Kesehatan). Tentu saja, apa yang barusan 'menimpa' diri saya, bukan kesalahan pihak rumah sakit. Status mahasiswa di Mesir aja masih calon. Udah untung dikasih infus ama suster.

Di sini, saya sempat menginap sehari semalam. Perawatan a la kadarnya pun cukup membantu saya berjuang menahan luka-luka ringan di kepala, lengan dan bagian dalam dada. Cairan infus yang masuk ke dalam tubuh melalui selang, membuat kondisi semakin membaik.

Siang harinya, seorang suster datang dengan membawa perlengkapan suntik. Alamak. Saya paling takut ama yang namanya suntik. Seumur hidup, saya hanya disuntik 2 kali; pas disunat dan sakit gigi.

Sempat saya tanya ke suster; "Apakah saya mau disuntik". "Aiwah (iya)", jawabnya sambil menganggukkan kepala. Duh gimana ya. Ya udah dech tawakkal aja. Katanya sich untuk keperluan laborat.

Ketika suster mengusap tangan dengan kapas basah, tanganku menegang. Mungkin saking takutnya melihat jarum itu.

"Jangan tegang dong", tegur sang suter. Gimana ngga tegang. Udah takut suntik, susternya agak senewen, tampilannya pun apa adanya hahaha.

Saya mencoba untuk tenang.

Jarum suntik itu pun masuk. Cussssss. "Duh kok sakit gini", kataku. Ketika sang Suster mencabut jarumnya, saya terheran, kok ngga ada darah sedikitpun yang diambil. Ketika saya tanyakan soal itu, dengan enteng dia bilang, "Sorry ya, tadi salah tusuk. Makanya darah ngga keluar". Naifnya, kesalahan itu terulang 4 kali. Baru pada tusukan kelima darah bisa diambil.

"Piye tho sus. Emangnya kelinci percobaan apa", gumamku. Terus terang itu membuat saya semakin trauma dengan barang yang bernama Jarum Suntik.

Pada Senin malamnya (11/10), sekitar pukul 23.00 Waktu Kairo, saya dibangunkan oleh seorang suster. Semua selang infus yang masih menempel di tangan dilepas. Saya tanya, "kenapa kok dicabutin semua". "Kamu mau dipindahin ke rumah sakit al-Faruq di kawasan Maadi", jawabnya sambil melempar senyum manisnya. "Kamu baik-baik ya biar cepet sembuh", pesennya sambil ngledek.

Sebelum keluar, saya sempat mendapatkan satu suntikan lagi. Katanya untuk penetral suhu tubuh. Maklum angin di luar sangat kenceng dan dingin.

Tepat pukul 23.45 Waktu Kairo, dengan tetap terbaring di atas tandu, saya dimasukkan ke dalam ambulance dan dibawa ke rumah sakit al-Faruq. Sepanjang perjalanan, saya ditemani oleh pegawai rumah sakit Ta'min Sihy. Kita ngobrol ringan tapi akrab. Nampaknya, sejak awal, dia menaruh kasihan melihat kondisi saya yang terbaring lemas.

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 1,5 jam, kita sampai di rumah sakit al-Faruq.

Kaget. Itulah kesan pertama saya. Rumah sakitnya megah dan dokter-dokternya kelihatan sangat profesional. Paling tidak terlihat dari bangunan dan rungan-ruangannya. Dokter dan suster-nya kelihatan sangat profesional.

Sebelum menghuni, saya dirontgen total untuk mendeteksi apakah ada kerusakan bagian dalam. Kurang lebih 1/4 jam saya terbaring di bawah sinar rontgen. Hasilnya, tulang dada sedikit bengkak karena terbentur benda keras ketika kecelakaan. Alhamdulillah.

Setelah semua urusan selesai, saya di bawa ke kamar. Asri, bersih, dan wangi. Itulah gambaran 'kamar baruku'. Minimal, tidak sulit bagi saya untuk membedakan antara Ta'min Sihy dan al-Faruq. Maklum, Ta'min Sihy diperuntukkan buat kalangan ekonomi menengah ke bawah. Sedangkan al-Faruq, relatif untuk menengah ke atas.

Ini bukan berarti saya banyak duit. Saat itu, ada seorang dermawan (yang tidak mau disebut namanya), membantu perawatan saya mulai awal sampai akhir. Juga kawan saya yang harus menjalani operasi rahang. Semua biaya ditanggung oleh beliau. Bisa dibayangkan, seandainya kita bayar sendiri, berapa ribu pound uang yang harus kita siapkan. Belakangan saya baru tahu bahwa beliau termasuk 'pentolan' di rumah sakit itu.

Terima kasih Tuhan

Di sini, setiap 3 jam kesehatan kita dicheck. Sangat profesional memang. Gaya komunikasi para dokter dan susternya, pun menjadi terapi tersendiri. Suasananya begitu familiar. Maklum, di saat jauh dari keluarga, ssya selalu merasa hari-hari begitu hampa. Kehadiran dokter, suster juga sahabat-sahabat saya, bisa mengobati kehampaan itu.

Kawan-kawan yang menemani, selalu menghiburku untuk segera keluar dari rumah sakit. Katanya, kawan-kawan (yang seperjuangan dalam tragedi itu), sudah pada main bola. Alangkah bahagianya ketika mendengar berita itu. Itulah yang memberi semangat untuk sembuh.

Setelah 2 hari 2 malam menginap, saya diperbolehkan pulang. Kondisi saya memang relatif stabil meskipun untuk jalan dan bicara, dada masih terasa sakit.

Ketika check out dari rumah sakit, oleh seorang kawan yang menemani, saya dibawa ke rumahnya yang terletak di Darmalak (kawasan Kairo lama). Saya sudah mulai curiga ketika hari ke-8, permintaan saya untuk menemui kawan-kawan tidak dikabulkan. Alasannya banyak dech. Kesehatan lah, orangnya lagi ngga di rumah dan seterusnya.

Hari ke-10, seorang senior datang ke kamar menghampiri saya dengan sorot mata yang agak lain. Sabil menata posisi duduknya, ia memijit saya yang saat itu masih terbaring di kasur.

Hampir 10 menit ia memijit sambil canda-canda.

"Ziz, saya ingin menyampaikan sesuatu. Saya hanya minta kamu tabah dan sabar menghadapinya", begitulah kira-kira redaksinya. Saya mulai bisa menduga apa yang akan ia sampaikan. Mata saya sudah berkaca-kaca membayangkan seandainya dugaan itu benar.

"Si A dan SI B sudah mendahului kita", katanya pelan. Banyak hal yang ia sampaikan saat itu untuk menghibur saya. Tapi tidak saya hiraukan. Saya hanya sibuk menyeka air mata yang terus mengalir.

Begitulah kisah yang saya alami 3 bulan pertama di Kairo. Kisah ini mengawali perjuangan saya di Mesir. Dari kejadian ini, banyak hikmah yang saya ambil. Suka dan suka datang silih berganti menemani perjalanan hidup. Anyway, saya mencoba untuk selalu bisa tersenyum di saat duka menyapa.

Tuhan...terima kasih atas apa-apa yang telah Engkau berikan.

Makna Esoterik Lailatul Qadr

Lailatul Qadr adalah suatu malam dalam makna simbolik atau anagogis. Lailatul Qadr merupakan suatu tanda (simbol) pencapaian prestasi spiritual seorang hamba dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Malam hari di sini tentu tidak secara eksak menunjuk pada fakta, tetapi lebih pada kekuatan simbol atau makna esoteriknya.

Lailah dalam bahasa Arab mempunyai beberapa makna. Ada makna literal berarti malam, lawan dari siang (nahar); ada makna alegoris seperti gelap atau kegelapan, kesunyian, kesepian, keheningan, kesyahduan, kerinduan, dan kedamaian; ada makna anagogis (spiritual) seperti kekhusyukan (khusyu'), kepasrahan (tawakkal), kedektan (taqarrub) kepada Ilahi.

Dalam syair-syair klasik Arab, ungkapan lailah lebih banyak digunakan makna alegoris (majaz) ketimbang makna literalnya, seperti ungkapan syair seorang pengantin baru: Ya lalila thul, ya shubh qif (wahai malam bertambah panjanglah dan wahai subuh berhentilah). Kata laila di dalam bait itu berarti kesyahduan, keindahan, kenikmatan, dan kehangatan sebagaimana dirasakan oleh para pengantin baru.

Dalam syair-syair sufistik orang bijak (hukama) juga lebih banyak menekankan makna anagogis kata lailah. Para sufi lebih banyak menghabiskan waktu malamnya untuk mendaki menuju Tuhan, mereka berterima kasih kepada lailah (malam) yang selalu menemani kesendirian mereka. Perhatikan ungkapan Imam Syafi': Man thalab al-ula syahir al-layali (barangsiapa yang mendambakan martabat utama banyaklah berjaga di waktu malam). Kata al-layali di sini berarti keakraban dan kerinduan antara hamba dan Tuhannya.

Dalam Al-Qur'an, di antara ke 93 kata lail tidak sedikit di antaranya menunjukkan makna alegoris dan anagogis di samping makna literalnya. Di antara ayat yang menekankan makna anagogis kata lailah adalah sebagai berikut:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S. al-Isra'/17:1)


وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا


Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. (Q.S. al-Isra'/17:79)


كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ. وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ


Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). (Q.S. al-Dzariyat/51:17)


Kata lailah dalam ketiga ayat di atas mengisyaratkan malam sebagai rahasia untuk mencapai ketinggian dan martabat utama di sisi Allah Swt. Seolah-olah jarak spiritual antara hamba dengan Tuhan lebih pendek. Ini mengingatkan kita bahwa hampir semua prestasi puncak spiritual terjadi di malam hari. Ayat pertama (Q.S. al-'Alaq/96:1-5) di turunkan di malam hari, ayat-ayat tersebut sekaligus menandai pelantikan Muhammad Saw sebagai Nabi di malam hari. Tidak lama kemudian turun ayat dalam surah Al-Muddatstsir yang menandai pelantikan Nabi Muhammad sekaligus sebagai Rasul menurut kalangan ulama 'Ulumul Qur'an. Peristiwa Isra' dan Mi'raj, ketika seorang hamba mencapai puncak maksimum (sudrah al-muntaha) juga terjadi di malam hari. Yang tidak kalah pentingnya ialah lailah al-qadr khair min alf syahr (malam lailatul qadr lebih mulia dari ribuan tahun), bukannya siang hari Ramadlan (nahar al-qadr).

Makna Lailatul Qadr

Banyak versi para ulama tentang Lailatul Qadr. Ada yang mengatakan Lailatul Qadr terjadi hanya sekali saja yaitu ketika pertama turunnya. Selebihnya sampai sekarang hanya semacam ulang tahunnya yang juga tak kurang berkahnya. Versi lain Lailatul Qadr turun setiap tahun dalam bulan suci Ramadlan hingga akhir zaman, namun waktu pastinya dirahasiakan Allah Swt.

Yang pasti, Lailatul Qadr adalah suatu malam dalam makna simbolik atau anagogis. Lailatul Qadr merupakan suatu tanda (simbol) pencapaian prestasi spiritual seorang hamba dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Banyaknya hadis yang menganjurkan untuk banyak beribadah di malam hari pada malam-malam ganjil sepuluh terakhir bulan Ramadlan mengisyaratkan adanya berkah dan nilai-nilai keutamaan di malam hari. Malam hari di sini tentu tidak secara eksak menunjuk kepada fakta, tetapi lebih kepada kekuatan simbol atau pada makna esoteriknya. Malam hari di Mekkah siang hari di belahan bumi lain. Indonesia misalnya berselisih 12 jam dengan Amerika serikat. Ketika umat Islam Indonesia melakukan berbagai mujahadah di malam hari Ramadlan, Amerika Serikat masih sibuk dengan urusan siangnya. Bagaimana misalnya dengan kota St Piter Berg, di wilayah Rusia, yang dalam musim tertentu malam harinya hanya satu jam?

Oleh karena itu, makna esoterik Lailatul Qadr lebih utama untuk diperkenalkan ketimbang fakta malamnya. Boleh jadi seorang hamba merasahan keheningan, kefakuman, dan kekhusyukan justru di di tengah siang bolong; sementara ada hamba Tuhan lainnya merasakan malam harinya penuh kesibukan rasional, sehingga jiwa dan batin mereka tidak kurang aktif di malam hari, misalnya para wartawan yang dikejar deadline, para penjaga malam yang harus mengawasi keamanan disekitar wilayahnya. Boleh jadi mereka siang hari adalah malam spiritualnya.

Pemaknaan satu kata dapat dilihat dari makna eksoterik dan makna esoteric. Makna eksoterik lebih merujuk kepada fakta sesuatu sedangkan makna esoterik lebih merujuk kepada apa yang di balik atau lebih dalam dari sekedar fakta itu.

Jika Lailatul Qadr ditekankan pada makna esoteriknya, misalnya lebih menekankan pada aspek waktu malamnya, maka kemungkinan hakekat, tujuan, atau hikmah lebih besar dari Lailatul Qadr tidak akan dicapai secara maksimum. Akan tetapi jika yang ditekankan adalah makna esoteriknya, misalnya keheningan, kesyahduan, kekhusyukan, dan kedekatan, maka kemungkinan Lailatul Qadr akan memberikan bekas dan kesan lebih lama di dalam diri seseorang.

Salah satu makna esoterik lailah adalah kelembutan, kepasrahan (femininity) dan kasih tulus (nurturing). Sedangkan siang (nahar) sering dimaknai kebalikannya sebagai ketegaran, kejantanan (masculinity), dan kekuatan (struggeling). Upaya mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah swt lebih efektif melalui pendekatan kepasrahan dan kelembutan (motion) ketimbang melalui pendekatan ketegaran dan intelek (ratio). Malam sering dilukiskan dengan emosi dan siang dilukiskan dengan rasio. Dari perspektif ini terdapat isyarat kuat bahwa Lailatul Qadr adalah malam yang memiliki keunggulan (the power of night).

Kualitas feminine lebih kuat daripada kekuatan masculine.

Allah Swt, sebagaimana dapat dilihat di dalam 99 namanya (al-asma' al-husna), lebih dominan menampilkan sifat-sifat feminin (the mother God) ketimbang sifat-sifat maskulin (the father God). Di antara 99 nama tersebut lebih dari 70 % mengisyaratkan sifat-sifat feminin. Istimewanya lagi, yang paling sering disebutkan berulang-ulang dan hampir mewarnai halaman demi halaman Al-Qur'an adalah nama-nama feminin-Nya, sementara nama-nama maskulin jarang ditemukan. Bandingkan misalnya kata al-Rahim (Yang Maha Penyayang) terulang sebanyak 114 kali, sementara al-Muntaqim (Yang maha Pendendam), dan al-Mutakabbir (Yang Maha Angkuh) hanya sekali terulang. Kita hanya menemukan satu-satunya redaksi basmalah dalam Al-Qur'an, yaitu: Bismillah al-Rahman al-Rahim (Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Kita tidak pernah menemukan misalnya bismillah al-Qawiy al-Jabbar (Dengan nama Allah Yang Maha Kuat lagi Maha Pemaksa), meskipun kata yang kedua juga merupakan nama dan sifat Allah Swt.

Dalam perspektif tasawuf, nama-nama indah Tuhan bukan hanya menunjukkan sifat-sifat Tuhan, tetapi juga menjadi titik masuk (entry point) untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada-Nya. Setiap orang dapat mengakses dan mengidentifikasikan diri dengan nama-nama tersebut. Seseorang yang pernah berlumuran dosa lalu sadar, dapat menghibur diri dan membangun rasa percaya diri dengan mengidentifikasi diri dengan nama al-Gafur (Maha Pengampun) dan al-Tawwab (Maha Penerima Taubat), sehingga yang bersangkutan tetap mempunyai harapan dan tidak perlu kehilangan semangat hidup.

Salah satu bentuk kemahapengasihan Tuhan ialah menganugrahkan Lailatul Qadr di dalam bulan Ramadlan (secara harfiyah: penghancur, penghangus). Setelah 11 bulan hambanya terasing di dalam kehidupan yang kering dan penuh dengan suasana pertarungan (power struggle), maka rahasia yang terkandung dalam lailatu Qadr diharapkan mengajak kita untuk kembali ke kampunghalaman rohani, yang basah, sejuk, lembut, dan damai. Lailatul Qadr ibarat oase di tengah padang pasir, memberikan kepuasan batin kepada kafilah yang sedang berjalan menuju Tuhannya. Lailatul Qadr adalah manifestasi dari rahmaniyah dan rahimiyah Tuhan yang tidak boleh disia-siakan.

Sumber :
http://www.psq.or.id/artikel_detail.asp?mnid=41&id=127
(Ditulis sendiri oleh Ustadz Nasaruddin Umar).

10 Oktober 7 Tahun yang Lalu (Bagian I)

Seumur hidup, mungkin saya tidak akan melupakan tanggal dan bulan itu. Bukan karena keramat tentunya. Hari itu saya merasa berada di titik zero ketika Allah SWT memberikan cobaan yang begitu berat. Iya, saya mengalami kecelakaan lalu-lintas di kawasan Abdurrasul, Kairo, yang mengakibatkan 2 temanku meninggal dunia.

Kejadian ini sekaligus mengawali kisahku menimba ilmu di Negeri Seribu Menara yang sekarang sudah memasuki tahun ke-8. Luka di bagian lengan kanan dan kepalaku serta baju kotak-kotak warna cokelat yang sudah kumuseumkan, menjadi saksi tragedi itu....


Sore itu, saya diajak Fulan (alm.) mencari makan siang. Karena tutup, kita balik pulang. Dalam perjalanan, saya sempat mengutarakan keinginan membeli meja belajar. Maklum, sebagai calon mahasiswa yang baru 2 bulan di Kairo, saya bermaksud membeli meja untuk keperluan studi. Dia pun mengiyakan dan menawari untuk menyewa mobil. Setelah saya diskusikan dengan kawan-kawan yang lain, kita pun sepakat untuk menyewa mobil dan segera menuju ke pasar Attabah.

Setelah meja didapat, kita segera pulang dan mengembalikan mobil karena waktu sewanya sudah habis. Karena ada hal tertinggal yang hendak dibeli, kita memutuskan untuk memperpanjang sewa. Sepanjang perjalanan, tidak ada firasat apapun yang kita rasakan. Secara tekhnis, mobil dalam keadaan baik tanpa gangguan. Canda tawa menyelimuti detik-detik akhir yang menegangkan itu.

Saat itu kita tengah melewati kawasan Masakin Utsman dan belok ke arah Abdurrasul untuk menuju Rabeah Square.
Karena jalur menuju Rabeah macet, kita mengambil jalan pintas yang aksesnya lebih mudah. Begitu mobil belok ke kanan, datang mobil lain dari arah yang sama dan sempat menyenggol bodi belakang. Dagggg !!!!. Karena bodi kecil, mobil pun oleng dan membentur trotoar. Pyarrrrr !!!. kaca depan pecah dan mengenai kepala saya.

Itulah saat akhir saya sadar. Entah berapa menit kemudian, saya sadar terbaring di trotoar, dilingkari police line berwarna kuning. Sempat siuman, saya langsung bangkit ditengah kerumunan masa, polisi dan ambulan.

Begitu saya dapati mobil remuk terjungkal di rel kereta, perlahan-lahan saya mulai mengingat apa yang baru terjadi. Ketika melihat 3 orang kawan saya tergolek tak sadarkan diri, rasanya kaki sudah tidak kuat menyanggah tubuh. Brak!!!, saya tersungkur jatuh di trotoar beraspal itu. Ya Allah...tolong hamba-Mu ini. Saya menangis dalam sedih. Sedih karena harus menerima ujian ini disaat jauh dari keluarga.

Tak lama kemudian, kami dibawa ambulance. Alangkah kagetnya ketika saya dalam keadaan sadar, dibaringkan dalam satu ambulance dengan kawan saya yang mengaami luka parah. Iiih..saya melihat mukanya membiru dan darah segar mengucur dari hidung dan telinganya.

Begitu sampai di rumah sakit Ta’min Sihy, kami langsung di bawa ke Unit Gawat Darurat. Setelah mendapatkan suntikan infus, badanku terasa agak mending. Di sinilah pertama kali saya dipisahkan dengan kawan-kawan karena harus mendapatkan perawatan intensif. Dengan bantuan telepon genggam milik salah seorang polisi, saya menghubungi kawan dan memintanya segera ke rumah sakit.

Hampir satu jam saya dibiarkan tanpa perawatan. Saya dimasukkan ke ruangan tua yang agak kumuh. Di saat itu, saya mengerang kesakitan karena hentakan benda keras di bagian dada. Jangankan menangis, untuk sekedar menarik-mengeluarkan nafas saja sakit.

Dalam tangis itu, saya memohon, “Ya Allah, kalau Engkau hendak menjemputku saat ini, tabahkanlah keluargaku.
Ampunilah dosa-dosaku”, rintihku dalam sepi. Tak terasa mata terpejam entah berapa lama. Tiba-tiba, saya terbangun ketika seorang suster mendorong kasur roda ke suatu kamar.

Esoknya....

Saya terbangun linglung pukul 06.00 Waktu Kairo. Ini hari pertama di rumah sakit. Selang infus masih terpasang di badan, tapi haus dan lapar tak tertahankan. Salah seorang pasien nampaknya kasihan melihat tubuhku tergolek tanpa seorang teman. Dia pun menawari sebotol air putih dan kue. Ketika saya ditanya, “takhdzul fithor wala lisha (sudah sarapan belum)?”. Saya menggeleng. Belakangan saya baru tahu bahwa saya memang tidak mendapatkan jatah makan sebagaimana pasien-pasien yang lain. Kenapa? (Bersambung..)

Persimpangan (The Rain)

Kini tiba saatnya untuk merenungkan
Apa ini yang memang kita inginkan
Saatnya untuk mencari di segenap penjuru hati
Apa kita mau menerima yang kita punya
Apa adanya

Sanggupkah kita saling meredam
Ataukah hanya saling bertahan
Sanggupkah kita saling memaafkan
Ataukah hanya saling menyalahkan

Akhirnya kita temukan pahitnya persimpangan
Dan harus tetapkan arah tujuan
Terpenjara oleh ego yang semakin tinggi menjulang
Saat harga diri seolah segalanya
Mahal harganya

Mencicipi Sup Buntut sebelum Check Out

Catatan Perjalanan Menghadiri ICIS II di Jakarta (Habis)

Pas acara dinner ini, praktis tidak ada dialog. Kita saling membisu, tenggelam oleh suguhan Kiyahi Kanjeng dan alunan biola Idris Sardi. Malam ini, saya lebih asyik ngobrol dengan kawan-kawan delegasi dari NU Luar Negeri. Banyak kisah yang kita dapatkan. Kawan-kawan dari Eropa, Afrika, Timur-Tengah dan sebagainya, menceritakan bagaimana suka-duka 'ngopeni' NU di Luar Negeri. Ini memberikan pengalaman baru bagi kami.


Esoknya, agenda dilanjutkan dengan kunjungan ke Institut Pertanian Bogor (IPB). Saya dan Jamal sengaja tidak ikut karena sudah kadung janji dengan beberapa media yang hendak mewawancarainya. Maklum saja, saya punya tugas ganda; bawain tas, gandeng, bukain lift, membangunkan dari tidur, ikut membantu rekan mengatur jadwal wawancara dengan berbagai media (dari tanggal 21-23 Juni siang), sampai dengan urusan tekhnis yang kecil-kecil. Kesibukan ini begitu mengasyikkan.

Praktis, selepas Dzuhur, semua wawancara terselesaikan.

Kami pun segera mengemasi barang untuk persiapan check out. Sambil nunggu reimburse,
seorang kawan mentraktir sup buntut di salah satu cafe di lobi hotel Borobudur, yang konon -kata Bondan Winarno- memiliki aroma rasa yang tak terkalahkan. Luar biasa!. Bagi saya, bukan cuma aroma rasanya saja, tapi gratisnya yang lebih luar biasa hehe.

Tepat pukul 16.00 WIB, kami check out dan berpamitan dengan segenap panitia. Dengan mobil yang sudah disediakan, kami segera menuju Bandara Soekarno Hatta. Di sini, saya berpisah dengan Jamal. Saya turun di terminal domestik karena harus melanjutkan 'misi' melepas kangen bersama keluarga, sedangkan beliau langsung menuju terminal Internasional karena 2 jam lagi pesawat take off.

Setelah menempuh penerbangan selama 1 jam, pukul 21.00 WIB saya sampai di Semarang dan bertemu dengan keluarga. Sudah dech. Pokoknya semua rasa kangen dan air mata, tumplek blek jadi satu.

Saat Makan Siang Ketemu 'Kiyahi Penampakan'

Catatan Perjalanan Menghadiri ICIS II di Jakarta (Bagian IV)

“Ya Ustadz, Rois gai ahoo (Tuh Presiden dah datang)?”, kataku kepada Jamal. “Balasy Rois (bodo amat)!”, ketusnya. Sebagaimana aturan protokoler, ketika Presiden datang, maka semua hadirin berdiri. Tampak duduk di sebelah SBY, Abdullah Badawi (PM Malaysia), Pangeran Ghozi (Utusan Putra Mahkota Jordan), Maftuh Basyuni (Menag), Fauzi Bowo (Wagub DKI Jakarta) dan KH. Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU). Acara dilanjutkan dengan nyanyian lagu Indonesia Raya dan semua hadirin dimohon berdiri. Jamal pun ikut berdiri meski harus diam seribu bahasa ketika peserta konferensi -yang mayoritas warga Indonesia- menyanyikan lagu karangan WR. Supratman itu.


Ketika SBY menuju panggung untuk menyampaikan pidato, Jamal pun berkomentar; “Eih dza ya Susilu!” (Mau ngapain lagi ini). Saya tertawa kecil melihatnya menggerutu. Nampaknya dia masih jengkel lantaran acara molor beberapa jam. Jamal yang saya kenal, orangnya disiplin dan kritis.

Setelah SBY berpidato, saya lihat Jamal manggut-manggut menyimak pidato dalam bahasa Inggris itu. “Eih ro’yak (Gimana pendapatmu)?”, tanyaku. “Kuwais ya Fakhriddin (bagus)”, jawabnya singkat dan sok cool sambil memelototin naskah pidato yang telah dibagikan panitia. Semoga dia puas dengan pidato itu. Itung-itung, kompensasi dia nunggu. Usai pidato, SBY dengan ditemani KH. Hasyim Muzadi, Rozy Munir (Sekjen ICIS), Fauzi Bowo, menabuh gong tanda ICIS II dibuka. Tepuk tangan riuh menggema di ruangan lux berkapasitas 2000 orang itu.

Setelah acara break, Jamal minta diantar ke kamar karena harus meladeni beberapa wartawan yang hendak mewawancarainya. Saya pun kembali ke Galaria Flores Room untuk mengikuti sesi pertama yang dipresentasikan oleh Pak Lah –Panggilan akrab Abdullah Badawi-. Hadir pada kesempatan tersebut, Megawati Soekarnoputri (mantan Presiden RI), yang konon datang ke tempat acara beberapa saat setelah SBY dan rombongan meninggalkan tempat. Kenapa?.... Sudahlah, saya tidak hendak ngubek-ubek urusan kaum elit ini. Terus terang, fenomena menarik ini menyisakan tanda tanya besar bagi saya.

Pukul 11.00 WIB, saya dan Jamal mulai ikut aktif dalam diskusi per-komisi. Kami masuk Working Group III (Economic, Social dan Educational Movement; Strategy for change). Pada sesi pertama, kami mengikuti presentasi yang disampaikan oleh Syafii Antonio. Pada sesi ini Jamal sempat walk-out dari ruangan karena merasa moderator tidak memberikan kesempatan bicara. Ujung-ujungnya, masalah ini beliau ungkapkan pada sebuah surat yang ditujukan kepada KBRI Mesir dan PBNU.

Ketika acara makan siang bersama Maftuch Basyuni, Menteri Agama, ada kisah menarik. Saat itu, saya duduk bersebelahan dengan Jamal. Tiba-tiba, ada seorang peserta ICIS -dari LSM bonafit di Indonesia- datang dan duduk di kursi sebelah saya yang kebetulan kosong. Setelah dengan pe-de memperkenalkan diri, dia tanya, “Eh Mas, loe dari mana?”. “Kairo. Kenapa Pak?”, tanyaku penasaran. “Mmm, loe di Kairo ngapain aja. Kerja?”, tanyanya ketus sambil memperlihatkan mimik yang ngga ngenakin. Saya sudah ngga semangat meladeni pertanyaan konyol itu. Maklum, mungkin dia sudah merasa jadi orang besar. “Saya mahasiswa program master di Mesir yang kebetulan diundang untuk hadir di ICIS”, jawabku ketus sambil menikmati sup ayam. “Oo mahasiswa tho. Sorry, kirain pegawai kedutaan”.

Dia pun semakin nerocos dan ngasih lips service yang ngga jelas jluntrungnya. Sayang, saya bukan tipe orang yang gampang terbuai dengan yang begituan. Setelah mengenalkan diri, “Nama saya KH.....”, dia pun menyodorkan kartu namanya. Tanpa saya baca, saya masukkan ke dalam saku jas. Ketika dia nanya nomor kontak di Kairo, saya bilang; “Maaf Pak, saya lupa nomornya. Tapi kalau Bapak ada perlu, bisa kirim ke email”. Saya pengin jual mahal dengan orang tipe yang beginian. “Boleh, mana emailnya”, tanyanya. “Nanti aja Pak saya kirim ke email Bapak”, jawabku. “Kartu nama ada?”, lanjut dia. “Maaf Pak sudah habis pas pembukaan tadi”. Hehehe. Padahal saya ngga bawa kartu nama. Saya hanya ngasih pelajaran, biar orang ngga congkak. Dari pembawaannya saja sudah sok-sokan. Kalau kita gampang dimainin, diri kita menjadi tidak berharga.

Setelah di kamar, saya cerita ama kawan-kawan yang kebetulan aktifis di beberapa LSM di Jakarta. Mereka pada ketawa dengarnya. “Wah Ziz, kalau gue yang digetuin, udah gue damprat. Orang Jakarta tahu siapa dia. Ngga usah sok-sokan getu dong”. Saya heran. Feeling saya nampaknya tepat. Belakangan, saya tahu siapa dia sebenarnya. Sumbernya terpercaya; Gus Mus. Rupanya, dia adalah kiyahi jadi-jadian dengan modal kartu nama dan sorban warna hijau. Bahkan, pada suatu hari dia pernah marah kepada seorang wartawan gara-gara si wartawan lupa menuliskan KH (Kiyahi Haji) di depan nama dia. “hihihihihi”, ketawaku dalam hati. Dasar kiyahi penampakan.

Sehari kemudian, saya ketemu dengan dia dalam jamuan makan malam bersama Soegiharto, Menteri BUMN. Ingin rasanya menghindar dari dia, tapi apa daya. (bersambung)

Jetlag di Malam Pertama

Catatan perjalanan menghadiri ICIS II di Jakarta (Bagian III)
Pesawat Emirates EK 346 yang kami tumpangi lepas landas menuju Jakarta via Malaysia pada pukul 03.10 Waktu Dubai. Dari awal, saya sudah berencana akan menghabiskan perjalanan selama 10 jam itu untuk tidur. Istirahat 3 jam di Dubai, saya manfaatkan untuk jalan-jalan sekitar Duty Free Shop yang terletak di lantai satu. Ngga beli sich, cuman lihat-lihat yang sawangable. Iya...setelah ¼ jam mengudara, saya terlelap dibalik selimut tebal yang disediakan pesawat. Begitu juga penumpang yang lain. Praktis, malam pun hening.


Saya terbangun ketika seorang pramugari menawarkan dinner. “Excuse me, fish or chicken?’, tanya pramugari itu dengan lembut. “Fish”, jawabku singkat. 1 box ikan, nasi basmati, salad, buah dan jus orange, kulahap abis tak tersisa. Ruangan ber-AC ditambah suhu udara yang dingin, membuat hidangan malam itu begitu nikmat. Apalagi diiringi old song yang kudengar lewat head-phone. Saya pun melanjutkan tidur. Lagi-lagi saya terbangun. Kali ini disebabkan goyangan pesawat yang terasa kencang karena cuaca yang kurang bersahabat di atas lautan Hindia. Tapi wajarlah. Ini yang membedakan jalur udara dengan tol Cikampek.
Setelah sebelumnya transit di Malaysia lebih kurang 1 jam, pesawat mendarat di Bandara Soekarno Hatta pukul 16.25 WIB. Beberapa saat sebelum mendarat, dari udara, saya tertegun melihat Pulau Seribu dan hijau Tanah Airku yang kutinggalkan hampir 7 tahun.

Pesawat pun mendarat.

Ketika keluar dari Aero Bridge, kami sudah dijemput oleh panitia dan selanjutnya beristirahat di ruangan VIP bersama rombongan lainnya. Saat itu kami berbarengan dengan rombongan President of Islamic Development Bank (IDB) Jeddah. Setelah urusan imigrasi dan bagasi lancar, kami memasuki bus yang disediakan oleh panitia menuju Hotel Borobudur, di mana konferensi akan diselenggarakan. Sepanjang perjalanan, saya melihat banyak sekali sepeda motor yang lalu-lalang melintas di jalan raya. Rasanya aneh memang bagi saya karena kadung terbiasa dengan pemandangan lalu lintas Mesir dimana sepeda motor jarang kita temukan. Warung-warung makan yang berjajar di sepanjang jalan, menjadi tontonan menarik tersendiri. Anyway, Indonesia dengan segala kelebihan dan kekurangannya, memberikan kesan yang spesial bagi saya yang telah lama merindukannnya.

Pukul 20.00 WIB, kami sampai di Hotel Borobudur. Setelah menyelesaikan registrasi dan check-in, kami segera masuk kamar untuk meletakkan barang bawaan kami dan kembali ke lobi. Karena pada waktu yang bersamaan, panitia mengagendakan dinner bersama Wapres Yusuf Kalla. Sepulang dari sana, saya segera rebahan di kasur menghabiskan malam pertama di Jakarta. Mungkin baru pertama, mata jetlag tidak mau dipejamkan. Kalau Jakarta pukul 23.00 WIB, berarti Kairo pukul 18.00 WK. Saya pun bangkit dan membuat kopi panas yang tersedia di mini bar. Ketika hendak merokok, tidak saya temukan asbak di kamar itu. “Jangan-jangan di sini ngga boleh ngerokok?”, gumamku. Eh...betul dugaan saya. Ketika telepon house keeping, ternyata kamar yang saya tempati di larang merokok. Tak apalah malam ini puasa dulu sambil menonton televisi. Tidak terasa jam menunjukkan pukul 03.30 WIB. "Wah gimana nich, besok khan musti ikut pembukaan". Kupaksakan mata untuk tidur. Sebelumnya, saya berondong sms ke Bapak, Kakak, dan Adik. Saya minta pukul 05.00 WIB mereka mbangunin saya. Sleeping away........

Esoknya (20/6), setelah breakfast di Cafe Bogor, saya bersama Jamal al-Banna menuju Galaria Flores Room mengikuti pembukaan International Conference of Islamic Scholars (ICIS) oleh Presiden SBY. Pembukaan acara bertajuk Upholding Islam As Rahmatan Lil Alamin Toward Global Justice and Peace yang sedianya dimulai pukul 10.00 WIB, terpaksa molor 2 jam karena menunggu kedatangan Presiden. Di sela-sela itu, saya sempat berbincang ringan dengan Husein Umar (Ketua DDI) dan Habib Riziq (Ketua FPI) –yang kebetulan bersebelahan- tentang isu-isu global nasional. Dari sini saya berkesimpulan bahwa ada perbedaan mendasar di antara kita dalam memandang sebuah fenomena dari perspektif agama. Tak apalah, perbedaan adalah rahmat.

Kalau saya bisa asyik ngobrol dengan mereka sambil menunggu SBY, tidak demikian dengan Jamal al-Banna. Beliau bahkan berkali-kali ingin meninggalkan ruangan. Sampai dia bilang, “Inilah akibatnya kalau kita nurut pemerintah”. “Memangnya acara ngga bisa jalan tanpa Presiden?”, gerutunya. “Brutukuliyyat musykilah kabiroh fi zamanina hadza, ya Ibni”, tambahnya. (Protokoler menjadi masalah besar untuk sekarang ini). Maklum, Jamal adalah pemikir besar yang agak ‘sentimentil’ terhadap pemerintah. Setelah saya pahamkan, beliau pun memakluminya.

Saya jadi teringat dengan cerita seorang tokoh Indonesia peserta seminar “Political Islam dan Peace”, yang diselenggarakan Komitea 100, sebuah LSM besar di Finlandia. Saat itu, acara on-time dibuka sesuai dengan tentatif yang telah ditentukan tanpa menunggu Menteri Luar Negeri yang sedianya membuka acara. Begitu sang Menlu datang, tidak ada sambutan khusus, entah dengan berdiri atau iringan lagu kebangsaan. Tapi, Menlu tersebut tetap diberi kesempatan pidato. Dalam pidatonya, dia minta maaf atas keterlambatannya karena dalam perjalanan, dia harus berdesak-desakan dengan penumpang lain menaiki kereta listrik. Menyadari dirinya terlambat, hanya 10 menit dia berdiri di podium. Selanjutnya, diapun pamit meninggalkan ruangan menuju stasiun untuk kembali ke kantornya. Sungguh egaliter.

Begitu rombongan Presiden SBY memasuki ruangan, anda tahu apa komentar Jamal?. (Bersambung...)

Mensyiarkan Ramadhan

Sembari mencicipi kurma dan syai (teh) hangat ketika berbuka, salah seorang tamu yang baru saja datang dari Indonesia nanya ke saya, "Mas, apakah anda melihat ada perbedaan syiar Ramadhan di Indonesia dengan Mesir?". "Jelas dong Pak. Ini tahun ke-8 saya berpuasa di Negeri Seribu Menara. Kesan yang terasa dalam rentang waktu itu; saya lebih menikmati syiar Puasa Ramadhan di Mesir daripada Indonesia", timpal saya.

"Wah ini menarik untuk didiskusikan", tambahnya


Cuplikan dialog itu terjadi kemarin (28/9) ketika saya menghadiri jamuan buka bersama di Al-Rehab, salah satu kompleks perumahan mewah di bilangan New Cairo. Dialog tersebut begitu asyik dan familiar. Beliau banyak bercerita suasana Ramadhan di Jakarta akhir-akhir ini. Saya melihat tidak banyak yang berubah dengan suasana ketika saya kecil. Bunyi petasan, mainan kembang api sampai dengan 'klotek' (kentongan berseni di malam hari) untuk membangunkan sahur, masih dilestarikan masyarakat.

Namun, ada satu hal yang menjadi renungan saya bahwa syiar Ramadhan yang diekspresikan masyarakat kita (Indonesia), terkesan overacting dan sering menerjang sisi-sisi humanisme (sosial). Tadarrus sampai larut malam adalah aktifitas yang sangat terpuji untuk memanfaatkan momen emas di bulan ini. Harapannya, kita bisa menambah poin dan koin di hadapan Ilahi Rabbi. Kepentingan politis yang bersifat transenden-vertikal, memang bisa terpenuhi. Tapi, pernahkah kita berfikir bahwa sebagai muslim yang baik, harus ada keterpanggilan untuk memenuhi kesalehan sosial.Kalau tadarrus dengan loudspeaker itu di lakukan di desa-desa, mungkin masih mending karena mayoritas beragama Islam. Lain halnya dengan masayarakat perkotaan. Sangat mungkin di sana banyak anggota masyarakat non-muslim, yang butuh ketenangan istirahat di malam hari. Ini juga kewajiban yang harus kita tunaikan sebagai sesama anggota masyarakat. Bukankah tetangga kita –yang non muslim- juga punya hak menikmati mimpi malamnya yang begitu romantis. Jangan sampai tadarrus kita malah membuat malam pertama sepasang pengantin menjadi hambar.

Yang harus menjadi pemikiran bersama, bagaimana kita mensyiarkan Ramadhan dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme. Sehingga, masyarakat non muslim menjadi semakin simpati dengan kehadiran Islam.

Di Mesir, toleransi keberagamaan pun sangat tinggi. Suasananya syahdu dan tenang, tapi tidak mengurangi khidmat malam Ramadhan. Masjid-masjid tetap ramai, tapi masih dalam ‘jam kerja’ malam. Toko-toko dengan penerangan lampu yang sangat terang dengan dibalut kain khas dan menyediakan beraneka ragam menu, membuat nuansa malam menjadi hingar-bingar. Tapi, jalanan macet yang disebabkan oleh parkir mobil para jamaah yang melakukan solat tarawih, nampaknya harus dicarikan alternatif lain sebagai solusi. Sehingga tidak mengganggu pengguna jalan yang tidak sempat sholat taraweh karena harus mengadu nasib untuk mencari sesuap nasi buat anak dan istri.

Anyway...Semoga bulan puasa ini menjadi momen tepat buat kita untuk terus berdinamika mengibarkan Islam yang ramah dan rahmat. Sapalah saudara-saudara kita dengan penuh kearifan dan kedamaian. Mereka punya hak untuk kita dekap. Mereka merindukan kasih sayang kita. Mereka ingin kita tahu apa yang mereka impikan. Ya...masyarakat yang aman, damai dalam kasih sayang Tuhan.

More Pious Less Tolerant

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (QS:2:183)

Penggalan terjemahan ayat di atas, tentunya sudah sangat akrab di telinga kita. Ayat “andalan” yang sering dide¬ngungkan pada bulan Rama-dhan ter¬sebut, menyimpan sejuta makna yang bisa bahkan harus kita ungkap secara komprehensif. Secara lahiriah, ayat tersebut jelas mengandung pesan suci dalam arti yang luas tentang hakikat diperintahkan-nya puasa seba¬gai rangkaian kewajiban manusia sela¬ku hamba Allah Swt. Apa hakikat makna puasa?


Dalam ayat tersebut Allah Swt. mensifatkan keimanan pada awal ayat sebagai asas kebaikan dan keutamaan (alladzina amanu). Dan di akhir ayat, Allah menyebut kata taqwa (la’allakum tattaqun) sebagai ruh keimanan dan rahasia kemenangan. Secara umum, titik tekan yang diungkapkan dalam perintah pelaksanaan puasa tersebut adalah ketakwaan yang harus selalu dilandasi faktor keimanan. Sedangkan, tujuan akhir dari pelaksanaan ibadah puasa terletak pada aspek ketakwaan. Dimensi ketakwaan inilah yang harus kita terjemahkan secara luas, seperti: disiplin, rendah hati, toleran, empatik dan sebagainya.

Dari sini bisa kita ambil konklusi bahwa kandungan puasa mempunyai dua unsur penting, yaitu pertama, hubungan manusia dengan Allah SWT (vertikal), berupa aktifitas formal seperti menahan lapar dan amarah, kedua, hubungan manusia dengan sesamanya (horizontal), berupa kesadaran ma¬nusia dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan (kesalihan sosial). Dua hal ini harus bisa terpenuhi secara imbang dalam pencapaian cita-cita puasa sebagaimana digariskan oleh ayat tersebut di atas. Kongkretnya, aktifitas ritual berupa pelaksanaan puasa dengan segala syarat, rukun dan sunnahnya tetap dipatuhi. Di lain sisi empati dan sensitivitas terhadap pro¬ble¬matika sosial harus dilatih. Kepe¬kaan sosial orang yang berpuasa dengan sendirinya terlatih melalui pe¬ngembaraan spiritual selama bulan Ramadhan. Usaha menahan haus dan lapar menuntut diaplikasikan dalam wujud memahami perasaan kaum fakir, miskin dan orang-orang tertindas lain¬nya. Sehingga ia ikut merasakan kepe¬dihan yang mendalam seperti golongan kelas bawah yang selalu mendapatkan kesulitan-kesulitan penghidupan. Inilah target yang harus dibidik bagi mereka yang menginginkan tercapainya tujuan yang hakiki akan makna ritual puasa.

Namun pada kenyataannya, bentuk hubungan horizontal, seringkali kurang diperhatikan. Padahal ia mem¬punyai posisi yang tidak kalah penting de¬ngan hubungan vertikal. Ini salah satu hal yang perlu kita cermati dalam kehi¬dup¬an keseharian. Tidak sedikit mayoritas umat Islam yang aktif melaksanakan ritual-ritual keislaman termasuk puasa justru me¬nam¬¬pakkan sikap cuek-bebek atas problematika sosial yang terjadi. Karena mungkin target utama yang dicapai adalah bagaimana me¬ram¬pungkan puasa seba¬nyak 29/30 hari selama bulan Ramdhan. Sehingga hampir bisa dikatakan, di sini ada ‘permata’ yang hilang. Ironisnya itu tidak pernah kita sadari.

Maka tidak mengherankan begitu Ramadhan ber¬lalu, tidak ada perubahan berarti yang bisa dirasakan. Selama itu ia hanya lulus dalam ujian untuk menahan makan dan minum mulai dari sebelum terbitnya matahari sampai dengan ter¬benamnya matahari. Bahkan aktifitas-aktifitas kurikuler tambahan seperti menghatamkan al Qur’an dan i’tikaf di masjid hanya menjadi “bonus” yang dinikmati sendiri. Kita jarang me¬ma¬hami bahwa akti-fitas menahan lapar dan haus bukanlah tujuan puasa yang hakiki, melainkan hanya sekedar ben¬tuk luarnya. Bentuk lahiriah memang dituntunkan untuk menciptakan dalam diri kita rasa takut dan cinta, memperkuat tekad dan karakter kepribadian. Namun jangan dijadikan sebagai simbol yang dianggap telah merepresentasikan hakikat puasa

Lebih jauh lagi, kalau kita telusuri referensi teologisnya, ibadah puasa justru amat lekat dengan nilai-nilai humanisme. Sumber-sumber hukum yang ada dalam Islam, di manapun akan selalu menyerukan betapa pentingnya huma¬nisme. Dengan begitu maka kita akan disadarkan bahwa hakikat manusia adalah makhluk sosial yang mempunyai ketergantungan satu sama lain.

Dalam hubungan ini, Al Quran mem¬be¬rikan petunjuk untuk selalu memelihara kebersamaan sebagai makhluk sosial dan menempatkan nilai-nilainya ke dalam pola hubungan kemanusiaan dengan tetap saling menghormati, menjaga, melindungi, mengasihi dan menyantuni seba-gaimana diatur dalam sistem ajarannya. Puasa seba-gai salah satu ajaran yang mempunyai dimensi teologis dengan kekuatan pesan moralnya yang humanis, harus bisa kita posisikan pada proporsinya yang bisa memberikan imbangan antara hu¬bungan vertikal dan horisontal. Meskipun landasan teologi itu merupakan konsep teosentrik, namun ia bersifat humanistik, dalam arti memiliki keterarahan dan arus balik ke-pada manusia. Pandangan seperti inilah yang kemu-dian dijadikan pijakan oleh Nabi Muhammad dalam mendorong perubahan sosial.

Dalam ranah kontemporer seka¬rang ini terjadi krisis kesalehan sosial. Apakah masyarakat kita kurang saleh? Tentu saja jawabannya tidak. Entah apa metode yang dipakai, yang jelas observasi yang dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) menun¬jukkan bahwa masyarakat yang melaksa-nakan sholat lima waktu se¬banyak 80%, sedang yang menjalankan puasa hampir 95%, yang ingin menerapkan syariat Islam sebanyak 61%. Hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat kita sudah cukup “nyantri”.

Permasalahannya kemudian adalah bagaimanakah “santri” yang definitif yang bisa mengaplikasikan ajaran santrinya dalam sendi-sendi kehidupan. Sehingga kita tidak terjebak kepada simbol belaka. Namun yang terjadi adalah more pious, less tolerant (semakin saleh seseorang, semakin kurang toleransinya). Dalam kehidupan keberagamaan harus bisa menyentuh sisi kemanusiaan yang seringkali termarginalkan. Sehingga truth claim seba-gai imbas fanatisme keberagamaan sebisa mungkin kita eliminir. Sebaliknya empati dan sensitivitas keberagamaan harus dijadikan sebagai mainstream dalam mengaplikasikan ajaran Islam apapun bentuknya dalam kehidupan keseharian.

Fenomena tersebut mengingatkan kita akan model syari’ah Islam pramodern, yaitu model teologi yang berkaitan dengan transendensi ketuhanan, misalnya persoalan kekuasaan Tuhan dan kepercayaan terhadap alam-alam gaib. Intinya aktifitas keberagamaan -apapun bentuknya- harus bisa berhadapan dengan problematika sosial kontemporer, seperti keadilan, kesetaraan jender dan sebagainya. Sehingga di sana tidak ada kesan begitu jauhnya agama dari pemeluknya.

Dan akhirnya, pesan moral puasa tetap secara utuh bisa ditangkap, yang tidak saja berhenti pada aspek formalnya, namun sekaligus dijadikan sebagai wahana introspeksi kesadaran yang menyimpan nilai-nilai luhur yang mengajarkan pada aspek-aspek universal yang inklusif.

Mencari Smoking Area

Catatan perjalanan menghadiri ICIS II di Jakarta (Bagian II)

Sekitar pukul 18.00 WK, kami segera memasuki pesawat Emirates dengan nomor flight EK 924. Pukul 19.15 WK, pesawat take off menuju Dubai. Dalam perjalanan yang memakan waktu lebih kurang 3,5 jam itu, saya nikmati dengan menonton siaran live pertandingan World Cup di touch screen dan musik-musik easy listening.

Pukul 23.50 Waktu Dubai, pesawat sampai di Dubai International Air Port untuk transit lebih kurang 3 jam sebelum bertolak ke Jakarta. Setelah meyelesaikan semua urusan imigrasi, kami beristirahat di salah satu ruangan VVIP yang sudah disiapkan pihak travel. Saya manfaatkan waktu itu untuk berjalan-jalan di Duty Free Shop. Yang menarik, selama di bandara saya tidak merasa kesulitan mendapatkan akses berita dan tontonan live World Cup. Sebagai salah satu sponshor pesta sepak bola sejagad itu, maklum saja kalau hampir di semua ruangan, bandara memasang layar televisi dengan ukuran raksasa. Juga fasilitas internet gratis.


Hanya saja saya sempat bingung mencari smoking area. Saya kira penertiban soal rokok, tidak hanya di Jakarta. Di sinipun saya sudah curiga ketika saya tidak menemukan satu pun asbak ruangan yang biasanya dipasang di tempat-tempat umum.

Setelah putar sana-sini, akhirnya saya menemukan smoking area dengan luas 3x5 meter dan letaknya tepat di samping Costa Café. Setelah memesan secangkir kopi Costa, saya ikut nimbrung ngefly dengan perokok-perokok yang lain.

Ketika sedang asyik menghisap sebatang Gudang Garam, salah seorang perempuan Arab tanya, "Rokok apa yang sedang kamu hisap kok baunya aneh". Saya pun tersenyum dan memperlihatkan bungkus Gudang Garam sambil menawarkan sebatang untuknya. Dia bergeleng melempar senyum sembari mengucapkan, "Syukran" .

Pukul 02.15 Waktu Dubai, saya kembali ke tempat awal dimana kami istirahat untuk persiapan check-in. Tepat pukul 03.15 Waktu Dubai, pesawat Emirates dengan nomor flight EK 346 take-off menuju Jakarta via Malaysia (Bersambung.....)

Diskon Denda Berkat Lobi


Catatan perjalanan menghadiri ICIS II di Jakarta (Bagian I)
Kamis sore (18/6), sebelum menuju Cairo International Air Port, saya berpamitan dengan kawan-kawan. Meskipun kepulangan saya untuk mengikuti International Conference of Islamic Scholars (ICIS) di Jakarta hanya sebentar, namun suasana syahdu menyelimuti sore itu. Setelah mobil jemputan datang, saya menuju kediaman Jamal Albanna, salah seorang tokoh Mesir yang diundang pada konferensi tersebut.

Dalam perjalanan menuju bandara, kami terjebak macet. Maklum saja karena bertepatan dengan jam pulang kerja. Sepanjang jalan protokol, mobil hanya berjalan merayap. Berbagai jalur alternatif sudah dilewati tapi hasilnya nihil. Sekitar pukul 16.00 Waktu Kairo, kami sampai di Air Port.


Di sana, beberapa kawan sudah menunggu. Setelah mengecek barang-barang bawaan dan kelengkapan lainnya, kami segera check-in. Ketika penimbangan barang, problem datang. Pasalnya, buku-buku bawaan Jamal Al-Banna overweight sekitar 77 Kg. Sedangkan Emirates membatasi timbangan maksimum setiap penumpang 30 Kg. Pihak kedutaan yang saat itu ikut mengantarkan kami, menegosiasi pihak Emirates supaya barang bisa dibawa semua. Petugas bagasi deal alias menerima overweight dengan syarat, kardus berisi buku-buku yang dipak dalam 2 kardus besar tersebut, dipisah menjadi 3 bagian. Saya bersama salah seorang petugas dari kedutaan pun harus melepas jas yang kami pakai untuk mengurai tali-tali yang membalut koper itu. Setelah boarding pass dan urusan lainnya selesai, kami menuju ruang imigrasi.

Di sini saat yang paling menegangkan bagi saya. Bagaimana tidak. Hampir setahun, saya tidak memperpanjang iqamah (residence). Itu berarti saya melakukan pelanggaran sebagai warga asing yang tinggal di luar negeri. Maklum bulan-bulan masa habis iqamah saya, pihak kuliah tidak bisa mengeluarkan tashdiq (surat keterangan kuliah) sebagai prasyarat memperpanjang iqamah.

Tapi syukur. Lagi-lagi berkat lobi pihak kedutaan, urusan berjalan mulus dengan membayar biaya denda yang jumlahnya sangat kecil dari nominal yang seharusnya saya bayar. Mungkin pihak imigrasi tahu kalau yang bermasalah mahasiswa yang kantongnya tidak seberapa hehehe. Setelah itu, kami pun langsung menuju waiting-room tanpa harus melewati pintu imigrasi sebagaimana umumnya. Maklum saja ada banyak syafaat di dalam bandara yang memberikan fasilitas kemudahan bagi kami.

Sambil menunggu keberangkatan, kami duduk di salah satu café terdekat sambil menikmati secangkir coffee mix dan sepotong roti tawar. Saya pun sempat berbincang hangat dengan Jamal Albannda seputar ide-ide cemerlangnya yang selama ini sempat saya nikmati dari beberapa buku yang Ia tulis.

Bagi saya, ini merupakan kesempatan baik untuk bisa berdiskusi dengan seorang tokoh yang meskipun usianya sudah senja, namun masih produktif menulis buku. Pertama kali saya bertandang ke rumahnya di bilangan Geish Square, Abbaseya, sekitar pertengahan Agustus 2004, untuk keperluan wawancara seputar buku Nahwa Fiqh Jadid, yang dijadikan sebagai rujukan utama kawan saya yang sedang menulis tesis di Universitas Islam Negeri (UIN) Ciputat, Jakarta. (Bersambung...)