Chris Gardner: Yakinlah, Kita Akan Bahagia


Menengok profil orang-orang sukses (IX)


Pada hari terakhir magang, Chris Gardner dipanggil oleh pihak Dean Witter. "Hai Chris, kemejamu bagus", tanya Tuan Frohm, penguji Tes Wawancara di Dean Witter. "Aku memakainya karena ini hari terakhir aku magang", Chris menanggapi datar. Tuan Frohm tertawa kecil sembari berkata, "Kamu boleh memakainya lagi. Besok hari pertama kamu kerja di sini. Selamat !". Mata Chris berkaca-kaca. Hari itu Ia bahagia sekali. Perjuangan kerasnya berakhir happy ending. Obsesinya untuk menjadi pialang saham di Dean Witter tercapai.

Beberapa tahun setelah berkarir di Dean Witter, Chris Gardner - yang berasal dari ras kulit hitam - mendirikan firma investasi Gardner Rich pada tahun 1987. Tahun 2006, Chris Gardner menjual saham minoritas di firma pialangnya dalam kesepakatan multijuta dollar.

Itulah ending dari The Pursuit of Happiness; sebuah film yang diangkat dari kisah nyata perjuangan Chris Gardner melawan kerasnya kehidupan.

Chris keluarga miskin. Perkawinannya dengan Linda –yang juga berasal dari ras hitam- dikaruniai seorang anak cerdas berambut keriting; Christhoper. Untuk menghidupi keluarganya, Chris yang bertemu dengan ayahnya pada umur 28 tahun, menjajakan mesin pemindai kepadatan tulang ke beberapa rumah sakit dan klinik kesehatan. Karena penghasilan Chris tidak seberapa, Linda pun mencari tambahan dengan bekerja di sebuah laundry.

Meski hidup serba kekurangan, Chris seorang ayah yang sangat peduli dengan pendidikan anaknya. Ia menitipkan Christopher di sebuah tempat penitipan anak yang diasuh seorang perempuan keturunan Jepang. Dengan begitu, Christopher bisa belajar bernyanyi dan menggambar.

Chris terus berpacu dengan waktu. Setiap hari Ia harus berlari mengejar bis dan mencari pelanggan. Ia harus menyelesaikan pekerjaannya dengan sangat cepat. Sebulan, minimal 2 alat pemindai harus terjual agar bisa membayar sewa rumah dan ongkos penitipan Christopher.
Harga alat pemindai itu terbilang tinggi, yaitu 2 kali lipat dari alat biasa. Wajar jika beberapa rumah sakit menolak tawarannya. Bahkan tidak jarang dari mereka yang beranggapan membeli alat itu adalah pekerjaan yang sia-sia.

Merasa kurang bahagia bersama Chris, sang istri berniat untuk meninggalkan Chris. Chris dilematis, tapi apa daya. Ia tak bisa menahan keinginan istrinya. Ia punya satu permintaan; Christopher bisa bersamanya.

Chris pun menjadi single parent. Ia menjadi seorang ayah sekaligus seorang ibu. Meski demikian, Ia tidak pernah putus asa. Ia ingin Christopher bahagia.Ia terus berjuang meyakinkan pelanggannya untuk membeli alat pemindai tersebut. Usahanya berhasil. Dalam waktu 4 bulan, semua alat pemindai yang Ia punya habis terjual. Chris bahagia. Tabungan pun bertambah.
Kebahagiaan itu tidak berlangsung lama.
Suatu hari, otoritas pajak San Fransisco melayangkan surat pemberitahuan bahwa rekeningnya telah 'dibobol' demi melunasi tunggakan pajaknya. Tabungan pun tersisa beberapa sen. Ia tak lagi bias membayar sewa rumah dan diusir. Tragis !!!

Suatu hari Chris berdiri di depan Dean Witter dan bertemu dengan seorang pemuda perlente turun dari mobil mewah. Chris melihat orang itu berkecukupan dan sangat bahagia hidupnya. Ia pun bertanya; "Kau kerja apa?". "Pialang saham", jawabnya singkat. "Apa Aku harus kuliah untuk menjadi seperti anda?", tanya Chris. "Tidak. Kamu cukup senang berhitung dan pintar menghadapi orang", jawabnya seraya melambaikan tangan.

Pertemuan ini menjadi awal revolusi kehidupan Chris Gardner. Beberapa hari kemudian, Ia mendapatkan formulir magang di Dean Witter dan harus mengikuti tes wawancara.

Problem baru menimpa. Sehari sebelum tes wawancara Chris harus berurusan dengan pihak kepolisian karena tunggakan pajak dan tilang mobil. Karena tak bisa membayar, Ia harus mendekam semalaman di kantor polisi. Chris gusar karena besoknya (pukul 09.30) Ia harus ikut tes wawancara. Pukul 09.45 Ia dilepas dan langsung berlari menuju kantor Dean Witter. Anda bisa bayangkan apa yang terjadi. Pakaiannya sangat lusuh, bahkan kancing bajunya lepas.
Ketika masuk ruangan tes, para penguji heran dengan penampilan Chris. Namun Ia cukup percaya diri. Dengan keadaan yang tidak semestinya, Ia mengikuti tes wawancara dengan sangat baik. "Bagaimana menurutmu jika seseorang datang ke wawancara kerja tanpa kemeja. Apakah aku akan mempekerjakannya?", tanya Tuan Twistle. "Ia tentu memakai celana yang bagus", jawab Chris. Para penguji pun tertawa. "Excellent", puji Tuan Twistle, salah satu penguji Tes Wawancara. Chris merasa itu hanya ledekan. Ia pun mulai mengikuti magang. Semua peserta magang dituntut untuk mendapatkan customer sebanyak-banyaknya. Oleh instrukturnya, mereka bisa saja melakukan apapun demi menarik perhatian customernya.

Chris sangat giat. Ia berusaha mati-matian mendapatkan yang terbaik. Diantara tipsnya, Chris tidak meletakkan telpon pada tempatnya. Dengan begitu ia akan menghemat waktu 8 detik. Ia pun tidak minum, sehingga waktunya tidak terbuang di kamar mandi.

Sepulang magang, Ia masih harus menjemput Christopher dan menjajakan alat pemindai. Karena tidak punya tempat tinggal, Chris dan anaknya sering ikut antrean demi mendapatkan tempat untuk istirahat. Bahkan pernah suatu waktu Ia dan Christopher harus menginap di dalam WC terminal metro.

Singkat cerita, Chris dan Christopher mencapai titik klimaks penderitaan. Chris hanya bisa membesarkan hati anaknya. "Untuk mendapat kebahagiaan, seseorang harus berani tersiksa, kedinginan dan kelaparan sekalipun. Yakinlah, kita akan bahagia. Jangan biarkan orang lain mengatakan bahwa kita tidak bisa melakukan apapun", terang Chris. Christopher hanya bisa mengangguk dan seolah paham betul dengan maksud ayahnya.

Pada hari terakhir magang, Chris Gardner mendapatkan kabar gembira. Ia berhasil memasukkan 31 rekening dari Pacific Bell. Prestasi yang spektakuler. Ia pun menjadi satu-satunya peserta magang yang diterima kerja di Dean Witter.