Sabtu (14/4), tepatnya di sebuah halte bus di kawasan Nasr City, saya terlibat perbincangan hangat dengan seorang kawan yang baru saja saya kenal. Belum genap seperempat jam mengenalnya, saya sudah 'dihardik'. Santai saja. Hardikannya kali ini tidak membuat muka saya lebam. Hanya, ada sisa-sisa 'lebam' rasa yang masih belum pulih. Saya menginginkan kisah ini bersambung entah kapan.
Membincang tema keislaman rentan menimbulkan resistensi kalau tidak dilandasi dengan itikad baik melakukan dialog (hiwar). Kalau tidak ada landasan itu, ujung-ujungnya pasti ada pihak yang kebakaran jenggot, termasuk yang saya alami. Akhirnya, selalu ada pihak yang sentimentil.
Ceritanya begini...
Sambil menunggu bis, saya membaca koran yang baru saja dibeli seorang kawan. Ada kolom menarik yang mengangkat tentang isu Keislaman. Hal penting yang saya garis bawahi, si penulis mengkritisi sikap umat Islam yang sangat lembek dan tidak konsisten dalam melempar wacana. Ia menegaskan, seringkali sikap kita (baca; umat Islam) cenderung nekat. Misalnya hobi demo, tapi target yang dicapai ambigu. ini contoh kecil yang diangkat. Kontan, saya pun berseloroh kepada kawan yang duduk di sebelah; "Orang Islam memang harus disindir dengan cara ginian biar mereka ngga 'ngigau' terus". Kawan saya hanya bisa tersenyum simpul.
Nampaknya, selorohan ringan dan innocent itu memancing perhatian seseorang yang kebetulan juga duduk di dekat saya. Dia senewen. Setelah kenalan dan ngobrol ringan, dia mengawali pembicaraan. "Maaf, boleh tahu apa yang barusan anda ucapkan", tanyanya setengah menyelidik. "Bagian yang mana?", tanyaku sambil canda. "Orang Islam ngigau?. Kok ada kesan anda mendiskreditkan umat Islam", jawabnya ketus. "Sorry, saya tidak bermaksud demikian. Saya hanya merasa gundah melihat sikap umat Islam yang cenderung tidak konsisten. Mereka hanya berwacana. Tapi dalam tataran praksis, mereka kelimpungan tak berdaya", responku singkat.
Nampaknya respon itu semakin membuat dia senewen. "Kalau dikatakan tidak konsisten, bagian mana?", tanyanya. "Terlalu banyak untuk diungkap. Persoalannya sangat kompleks dan mengglobal", jawabku datar.
Akhirnya, ia angkat bicara dan sangat lantang mengumpat Amerika dan Israel. Saya diam sembari menyeleksi makna kata demi kata yang dia lontarkan. Lagi-lagi, ia mengangkat kembali perlunya boikot produk Amerika, Yahudi dan konco-konconya. Menurutnya, umat Islam tidak ada keberpihakan terhadap masa depan Islam. Mereka terlalu 'bergantung' kepada Amerika dan sekutunya.
Sebenarnya saya cukup malas membincang tema ini. Tapi, liat style-nya yang sok mantap, saya terpancing untuk angkat bicara.
"Pernahkah kita berfikir; kenapa umat Islam bergantung pada mereka", tanyaku bersemangat. Dia diam dan menerawang kosong ke depan. Nampaknya sedang memikirkan sesuatu.
Merasa dapat kesempatan, saya pun gantian nyerocos.
Saya hanya menegaskan bahwa kalau boikot produk dianggap sebagai barometer perjuangan umat Islam, tentu terlalu simpel. Persoalan umat Islam sudah semakin mengglobal. Hemat saya, ada yang rancu dalam usaha pemboikotan (muqata'ah) produk tersebut. Sikap ini terkesan dipaksakan dan menunjukkan bahwa umat Islam tidak konsisten dalam menentukan sikap. Kalau memang mau boikot, kenapa sich tidak ada upaya keras untuk meningkatkan kualitas produk sendiri. Sehingga umat Islam betul-betul bangga mengkonsumsi produk tersebut.
Selama ini, watak kita disetting sebagai konsumen alias cukup puas menerima sesuatu yang instan. Akhirnya, tanpa disadari kita dibuat tergantung terus kepada mereka. Persoalannya, mereka memang mampu dan kita cukup sadar bahwa umat Islam tertinggal jauh. So, butuh tekad yang kuat dan waktu yang cukup untuk mengejar ketertinggalan itu.
Untuk menguatkan hal tersebut, saya pun mengkritisi demo-demo yang digelar atas nama Islam. Pelbagai spanduk yang isinya membela Islam, menghiasi hampir setiap demo yang ada. Pertanyaannya; salahkah kalau saya mengatakan bahwa bukan Islam yang harus diselamatkan, tapi diri kita yang sebenarnya telah melalaikan Islam itu sendiri?. Tidak ada yang salah dalam Islam. Dimanapun dan sampai kapanpun, ajaran Islam tetap menjadi penyelamat dan pemersatu umat. Pertanyaannya kemudian; sudahkan kita menunaikan ajaran keislaman itu secara disiplin?.
"Ini koreksi buat kita semua sebagai umat Islam demi mempertanyakan sikap dan manuver kita yang acapkali mencatut segala aktifitas atas nama agama", tegasku sembari mengakhiri komentar.
Setelah nyerocos kesana-kemari, bukan respon, tapi pamitan yang saya dapat.
"Malisy (sorry), kapan-kapan kita lanjutkan. Saya harus segera pamit karena bis yang saya tunggu sudah datang. Boleh minta nomer HP dan email", pintanya sambil bersiap-siap menunggu bis. "Silahkan", jawabku sembari menyodorkan selembar kertas yang berisi nomer HP dan email.
Bagi saya, kejadian ini bukan yang pertama. Mungkin anda pun pernah menemui hal yang sama, atau bahkan lebih parah. Inilah kenyataan. Seringkali idealisme kita tidak singkron dengan apa yang seharusnya dilakukan. Niatan baik seringkali menjadi bumerang yang tidak pernah kita sadari.
Kita seringkali silau dengan identitas keislaman kita tanpa peduli dengan kualitas identitas kita tersebut. Tanpa sadar, kita masih jauh di bawah rata-rata layaknya seorang muslim. Muslim yang menanamkan ajaran Islam secara disiplin. Ajaran Islam sangatlah universal. Karenanya, responlah fenomena global dengan tekad yang kuat untuk mengukir prestasi, bukan dengan sikap yang selalu underestimate dan sentimentil kepada yang lain.
Kawan-kawan, saya tidak ingin cerita ini dianggap sebagai bentuk kepongahan. Terserah apapun komentar anda, yang jelas, cepat atau lambat, kita harus segera bangun dari tidur nyenyak. Tantangan ke depan semakin berat dan persaingan pun sangat ketat. Ini butuh nyali dan modal yang kuat. Karenanya, marilah kita jadikan ajaran Islam sebagai way of life yang senantiasa menjaga konsistensi kita sebagai muslim.
1 comments:
wahh ...topiknya berat bagi saya lama dicerna oleh saya,tapi saya jadi punya gambaran ttg konsistensi keislaman dilingkungan saya terutama saya.lumayan nambah pengetahuan baru...
Post a Comment