Apa yang anda bayangkan tentang Sakaratul Maut. Tentu saja kengerian. Ia merupakan proses dimana seseorang akan dicabut nyawanya oleh Malaikat Izrail. Proses ini sekaligus mengakhiri kisah Anak Adam menghuni planet bumi ini.
Pagi tadi, saya menyaksikan secara live bagaimana seseorang melewati detik-detik akhir itu. Begitu ngeri dan menegangkan. Jam 09.00 Waktu Kairo, saya keluar rumah untuk memprint-out surat yang hendak saya kirimkan kepada seorang kawan yang akan pulang ke Tanah Air. Setelah semuanya beres, saya pergi menuju toko alat tulis guna membeli amplop besar.
Dengan setengah berlari, saya menyusuri gang samping rumah. Tiba-tiba langkah saya terhenti lantaran ada seorang laki-laki -yang saya duga anaknya- memanggil; "Ya Ibni, lau samaht. Mumkin titla' fuq (Mas, bisa ngga naik ke atas bentar. Saya butuh pertolongan)", pintanya dengan nada memelas. Saya yang saat itu sedang membawa beberapa berkas di tangan, spontan menuju flat orang tersebut yang terletak di lantai 3.
Dari bawah, saya mendengar seorang Ibu berteriak-teriak kesakitan. Pikiran saya berkecamuk tidak menentu dan bertanya-tanya; "Apa yang terjadi?".
Sesampainya di atas, saya sudah mendapati Ibu tua renta itu duduk di atas kursi dengan posisi lemas dan menengadah pasrah ke atas. Itu menandakan bahwa kondisi tubuhnya sedang kritis.
Tanpa pikir panjang, saya langsung angkat 2 kaki kursi bagian depan, sedangkan si anak mengangkat dan menyanggah punggung kursi. Ibu itu tetap dalam posisinya. Begitu cepat langkah si anak tadi, sampai saya sempoyongan. Maklum saja, Ibu-ibu Mesir kalau sudah lanjut usia, biasanya bobotnya sudah over-weight. Jadi, tubuh mungilku pun harus mengimbangi kecepatan langkah si anak tadi.
Gerak saya menjadi susah, lantaran sandal yang saya pakai licin. Salah-salah malah bikin suasana jadi berabe.
Lantai satu dan dua kita lalui dengan diiringi rintihan si Ibu itu yang nampaknya semakin merasakan kesakitan. Teriakannya bikin lutut saya melemas. Karena posisinya tidak imbang, seringkali si Ibu nyaris jatuh. Maklum tangganya agak curam.
Sampai pada tangga pertama, si Ibu minta istirahat. Ia ingin mengenakan kembali mukenanya yang sempat terlepas. Kesempatan ini saya manfaatkan untuk mengatur nafas yang sudah tersengal-sengal.
Setelah itu, kita langsung mengangkat kembali tubuh si Ibu dengan posisi seperti semula. Yang mengherankan, saya tidak mendengar lagi rintihan-rintihan itu. Suasana hening. Pikir saya, mungkin si Ibu udah agak enakan. Saya hanya masyghul sambil mempercepat langkah supaya kita segera sampai di lantai dasar.
Taksi sudah menunggu di bawah.
Ketika kita hendak mengangkatnya ke dalam taksi, saya mendapati mata si Ibu itu membelalak tidak berkedip dengan wajah pucat. Spontan si anak pun histeris dan menangis memeluk si Ibu. Saya sempat menepuk-nepuk lengan si Ibu untuk meyakinkan apakah memang betul-betul sudah tidak ada respon.
Inna Lillaahi wa Innaa Ilaihi Raajiuun. Ibu itu telah tiada.
Karena jam sudah menunjukkan pukul 10.00 Waktu Kairo, saya harus bergegas pamit dan meninggalkan si anak yang telah ditemani oleh beberapa tetangga. Penginnya sich nolong, tapi saya buru-buru hendak ke Air Port. Ma'alisy ya Akhi (Sorry ya !!!).
Kawan-kawan sekalian. Jika ajal menjemput, kita tidak akan bisa melakukan apa-apa. Hanya kepasrahan dan harapan Husnul Khotimah yang menjadi idaman setiap orang. Kisah ini menjadi pelajaran bagi kita bahwa ajal akan datang sewaktu-waktu. Saat yang ada, semoga bisa kita manfaatkan untuk sebanyak mungkin menggali bekal untuk menyongsong kehidupan akhirat yang abadi.
Akhirnya Harus Berpisah
Posted by
Fakhrudin Aziz Sholichin
on Nov 20, 2006
/
Comments: (7)
Apakah anda sudah pernah menonton kisah percintaan Jun Xiang (Bae Yong Joon) dengan U Jin (Choi Ji Woo) dalam serial Winter Sonata?. Bagi yang sudah menonton, anda bisa menyimpulkan sendiri kisah itu. Tapi bagi yang belum, semoga anda berkesempatan untuk menontonnya. Bagi saya, serial ini memberikan makna penting dalam hidup. Makanya, tidak bijak rasanya kalau dikatakan bahwa cinta membuat orang buta akan segala sesuatu.
Justru, seringkali karena cinta, saya merasa kepekaan dan empati seseorang, bisa melewati titik-titik terpenting dalam perjalanan hidup. Kalau ingat akan kisah; bagaimana Jun Xiang meninggalkan U Jin yang sedang tidur terlelap, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan.
Jun Xiang dan U Jin saling jatuh cinta. Begitu singkat prosesnya. Namun, begitu singkat pula kebersamaan yang mereka jalani. Di saat mereka sedang asyik bermimpi, tiba-tiba terbangun. Kenyataan dalam 'mimpi' itu begitu menyakitkan. Iya. Meskipun tidak diinginkan, perpisahan harus terjadi.
Malam terakhir...
Ketika U Jin tidur lelap, Jun Xiang bangun dan keluar ke tepi pantai. Ia bangun karena gelisah harus meninggalkan U Jin. Termenung lama. Akhirnya, semua barang pemberian U Jin, termasuk jam tangan, dibuang jauh-jauh ke laut. Ia tidak ingin menderita dengan mengenangnya. Tentu saja bukan karena Jun Xiang tidak cinta. Ia melakukan itu semua karena ketulusan cinta. Ia ingin U Jin mendapatkan kepastian akan masa depannya.
Terakhir, Ia menghampiri U Jin -yang sedang terlelap dengan mimpi indahnya bersama Jun Xiang- dan mencium keningnya. "U Jin, aku cinta kamu. Maafkan aku karena harus meninggalkanmu", bisiknya. Setelah itu, Jun Xiang meninggalkan U Jin sendiri di sebuah bilik rumah sederhana yang mereka sewa.
Jun Xiang nampaknya belum siap untuk berpisah, begitu juga U Jin. Ia tidak ingin melihat air mata menjadi pamungkas kisah mereka. Bahkan, ia ingin U Jin membencinya agar perpisahan bisa diterima secara ikhlas. Berbagai cara dilakukan. Suatu hari, Jun Xiang bilang bahwa U Jin adalah saudaranya. Jadi hubungan ini tidak bisa diteruskan. Maka, lebih baik Jun Xiang pergi ke Amerika Serikat untuk meneruskan kuliahnya. Nampaknya U Jin cukup shock dengan kabar itu.
Kepergiannya ke Amerika Serikat, menjadi teka-teki bagi U Jin. Tapi dengan sangat bijak, Jun Xiang menenangkan dan mengatakan bahwa ia hanya meneruskan studi. Vonis dokter yang menyatakan bahwa kerusakan saraf mata akibat kecelakaan itu bisa mengakibatkan buta, cukup membuat Jun Xiang stress. Bahkan, kematian bisa ditebak dengan hitungan medis. Oleh karenanya, dokter merekomendasikan Jun Xiang untuk melakukan operasi di AS. Paling tidak, itu sebagai alternatif lain dari kematian.
Walhasil, setelah beberapa tahun, mereka dipertemukan di sebuah bangunan mewah nan elegan.
Bangunan itu adalah wujud dari replika yang pernah dibuat Jun Xiang beberapa tahun yang lalu. Sebelumnya, U Jin pernah melihat replika itu di kantornya. Salah satu temannya menginformasikan bahwa wujud replika itu telah dibangun di suatu tempat. U Jin pun tertarik untuk berkunjung.
Suatu hari, Jun Xiang mengunjungi tempat itu, di saat U Jin telah berada di sana. Di suatu ruangan, mereka dipertemukan dengan sangat dramatis. U Jin yang sedang asyik menikmati pemandangan di salah satu balkon, tanpa sengaja, menyenggol barang. Kontan, Jun Xiang yang saat itu berada di belakangnya, kaget dan bertanya; "Siapa itu?". U Jin terpaku dan tanpa terasa air mata telah membasahi pipinya karena mendapati Jun Xiang buta dan memegang tongkat. Jun Xiang curiga; "Apakah kamu U Jin", tanyanya. Untuk kesekian kalinya, U Jin tidak menjawab. Akhirnya Jun Xiang yakin bahwa yang ada di depannya adalah U Jin. Air mata pun tak terbendung.
Begitulah kisah pertemuan kembali cinta sejati yang sekian lama terpisah. Keputusan untuk berpisah sangatlah menyakitkan. Tapi, sesuatu yang menyakitkan itu, bisa jadi akan membuat ia mendapatkan kebahagiaan yang hakiki meskipun dimulai dengan belajar membenci.
Justru, seringkali karena cinta, saya merasa kepekaan dan empati seseorang, bisa melewati titik-titik terpenting dalam perjalanan hidup. Kalau ingat akan kisah; bagaimana Jun Xiang meninggalkan U Jin yang sedang tidur terlelap, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan.
Jun Xiang dan U Jin saling jatuh cinta. Begitu singkat prosesnya. Namun, begitu singkat pula kebersamaan yang mereka jalani. Di saat mereka sedang asyik bermimpi, tiba-tiba terbangun. Kenyataan dalam 'mimpi' itu begitu menyakitkan. Iya. Meskipun tidak diinginkan, perpisahan harus terjadi.
Malam terakhir...
Ketika U Jin tidur lelap, Jun Xiang bangun dan keluar ke tepi pantai. Ia bangun karena gelisah harus meninggalkan U Jin. Termenung lama. Akhirnya, semua barang pemberian U Jin, termasuk jam tangan, dibuang jauh-jauh ke laut. Ia tidak ingin menderita dengan mengenangnya. Tentu saja bukan karena Jun Xiang tidak cinta. Ia melakukan itu semua karena ketulusan cinta. Ia ingin U Jin mendapatkan kepastian akan masa depannya.
Terakhir, Ia menghampiri U Jin -yang sedang terlelap dengan mimpi indahnya bersama Jun Xiang- dan mencium keningnya. "U Jin, aku cinta kamu. Maafkan aku karena harus meninggalkanmu", bisiknya. Setelah itu, Jun Xiang meninggalkan U Jin sendiri di sebuah bilik rumah sederhana yang mereka sewa.
Jun Xiang nampaknya belum siap untuk berpisah, begitu juga U Jin. Ia tidak ingin melihat air mata menjadi pamungkas kisah mereka. Bahkan, ia ingin U Jin membencinya agar perpisahan bisa diterima secara ikhlas. Berbagai cara dilakukan. Suatu hari, Jun Xiang bilang bahwa U Jin adalah saudaranya. Jadi hubungan ini tidak bisa diteruskan. Maka, lebih baik Jun Xiang pergi ke Amerika Serikat untuk meneruskan kuliahnya. Nampaknya U Jin cukup shock dengan kabar itu.
Kepergiannya ke Amerika Serikat, menjadi teka-teki bagi U Jin. Tapi dengan sangat bijak, Jun Xiang menenangkan dan mengatakan bahwa ia hanya meneruskan studi. Vonis dokter yang menyatakan bahwa kerusakan saraf mata akibat kecelakaan itu bisa mengakibatkan buta, cukup membuat Jun Xiang stress. Bahkan, kematian bisa ditebak dengan hitungan medis. Oleh karenanya, dokter merekomendasikan Jun Xiang untuk melakukan operasi di AS. Paling tidak, itu sebagai alternatif lain dari kematian.
Walhasil, setelah beberapa tahun, mereka dipertemukan di sebuah bangunan mewah nan elegan.
Bangunan itu adalah wujud dari replika yang pernah dibuat Jun Xiang beberapa tahun yang lalu. Sebelumnya, U Jin pernah melihat replika itu di kantornya. Salah satu temannya menginformasikan bahwa wujud replika itu telah dibangun di suatu tempat. U Jin pun tertarik untuk berkunjung.
Suatu hari, Jun Xiang mengunjungi tempat itu, di saat U Jin telah berada di sana. Di suatu ruangan, mereka dipertemukan dengan sangat dramatis. U Jin yang sedang asyik menikmati pemandangan di salah satu balkon, tanpa sengaja, menyenggol barang. Kontan, Jun Xiang yang saat itu berada di belakangnya, kaget dan bertanya; "Siapa itu?". U Jin terpaku dan tanpa terasa air mata telah membasahi pipinya karena mendapati Jun Xiang buta dan memegang tongkat. Jun Xiang curiga; "Apakah kamu U Jin", tanyanya. Untuk kesekian kalinya, U Jin tidak menjawab. Akhirnya Jun Xiang yakin bahwa yang ada di depannya adalah U Jin. Air mata pun tak terbendung.
Begitulah kisah pertemuan kembali cinta sejati yang sekian lama terpisah. Keputusan untuk berpisah sangatlah menyakitkan. Tapi, sesuatu yang menyakitkan itu, bisa jadi akan membuat ia mendapatkan kebahagiaan yang hakiki meskipun dimulai dengan belajar membenci.
Rehat Aaaah......
Posted by
Fakhrudin Aziz Sholichin
on Nov 16, 2006
/
Comments: (4)
Malam ini, saya merasa penat. Karena dikejar dead-line, terpaksa saya harus mlototin kompi seharian penuh. Alhamdulillah akhirnya kelar juga. Tadi sempet keluar rumah beli cemilan. Yach..pengin menghirup udara malam sambil ngeliat yang sawangable hehhe. Sialnya, saya kelupaan bawa topi, shawl n kaos kaki. Padahal angin di luar kenceng banget. Sampai rumah, kolaps n sesak napasnya kambuh. Tapi bukan asma lho ya.
Bulan puasa kemarin, saya sempet terapi soal sesak napas ini ama kawan yang pernah 'mondok' di 'pesantren'nya Pak Hembing. Setelah didiagnosa, ternyata penyebabnya keseringan begadang sambil ngerokok n masuk angin. So...akhirnya 'mulek' di dalam dan menyumbat pernapasan :(. Sebelum pulang, saya dikasih resep. Kalau bahasa saya, suplemen sebelum begadang. Mau tahu?. Jeruk nipis diperas n dicampur madu. Udah getu, diseduh ama air panas.
Karena udah ngga mood ngapa-ngapain, iseng aja buka folder old song di kompiku. Yahhh nemu Everything I do I do it for you-nya Bryan Adam. Sambil rehat n menikmati El'isy (semacam sukun) goreng, saya ingin menghabiskan malam ini bersama Bryan Adam. Have nice dream semuanyaa
Look into my eyes - you will see
What you mean to me
Search your heart search your soul
And when you find me there you'll search no more
Don't tell me it's not worth tryin' for
You can't tell me it's not worth dyin' for
You know it's true
Everything I do - I do it for you
Look into my heart - you will find
There's nothin' there to hide
Take me as I am - take my life
I would give it all - I would sacrifice
Don't tell me it's not worth fightin' for
I can't help it - there's nothin' I want more
Ya know it's true
Everything I do - I do it for you
There's no love - like your love
And no other - could give more love
There's nowhere - unless you're there
All the time - all the way
Oh - you can't tell me it's not worth tryin' for
I can't help it - there's nothin' I want more
I would fight for you - I'd lie for you
Walk the wire for you - ya I'd die for you
Ya know it's true
Everything I do - I do it for you
Bulan puasa kemarin, saya sempet terapi soal sesak napas ini ama kawan yang pernah 'mondok' di 'pesantren'nya Pak Hembing. Setelah didiagnosa, ternyata penyebabnya keseringan begadang sambil ngerokok n masuk angin. So...akhirnya 'mulek' di dalam dan menyumbat pernapasan :(. Sebelum pulang, saya dikasih resep. Kalau bahasa saya, suplemen sebelum begadang. Mau tahu?. Jeruk nipis diperas n dicampur madu. Udah getu, diseduh ama air panas.
Karena udah ngga mood ngapa-ngapain, iseng aja buka folder old song di kompiku. Yahhh nemu Everything I do I do it for you-nya Bryan Adam. Sambil rehat n menikmati El'isy (semacam sukun) goreng, saya ingin menghabiskan malam ini bersama Bryan Adam. Have nice dream semuanyaa
Look into my eyes - you will see
What you mean to me
Search your heart search your soul
And when you find me there you'll search no more
Don't tell me it's not worth tryin' for
You can't tell me it's not worth dyin' for
You know it's true
Everything I do - I do it for you
Look into my heart - you will find
There's nothin' there to hide
Take me as I am - take my life
I would give it all - I would sacrifice
Don't tell me it's not worth fightin' for
I can't help it - there's nothin' I want more
Ya know it's true
Everything I do - I do it for you
There's no love - like your love
And no other - could give more love
There's nowhere - unless you're there
All the time - all the way
Oh - you can't tell me it's not worth tryin' for
I can't help it - there's nothin' I want more
I would fight for you - I'd lie for you
Walk the wire for you - ya I'd die for you
Ya know it's true
Everything I do - I do it for you
Suka Iseng Memakai Ayat
Posted by
Fakhrudin Aziz Sholichin
on Nov 9, 2006
/
Comments: (2)
Seharian tadi, saya jalan-jalan menyusuri Wikalah, pasar rakyat yang menjual pakaian-pakaian dengan harga sangat miring. Pasar ini kebetulan jadi langganan para mahasiswa. Maklum saja. Dengan kondisi kantong pas-pasan, kita bisa membeli jaket dan perlengkapan musim dingin dengan aneka selera yang kita suka. Hehehe so bisa menghemat.
Menjelang maghrib, saya pulang. Karena tidak ingin terjebak macet, metro bawah tanah menjadi alternatif. Ketika memasuki stasiun, saya kaget ketika di sana ada kerumunan orang seperti abis tawuran. Kontan saja hal itu membuat para calon penumpang susah untuk sekedar turun tangga dan berderet di antrean loket. Ada apa gerangan?. Karena penasaran, saya mendekati kerumunan itu.
Setelah saya berada di antara kerumunan itu, barulah penasaran saya terjawab; mereka pada sibuk menempelkan poster calon untuk suatu pemilihan. Saya tidak begitu jelas calon untuk pemilihan apa (?). Boro-boro mlototin, untuk sekedar melihat poster saja harus berdesak-desakan kayak orang rebutan mencium Hajar Aswad hahaha. Ditambah postur tubuh saya yang kecil dibanding orang-orang Arab.
Saya jadi teringat setiap kali akan ada Pilkades (Pemilihan Kepala Desa). Di mana-mana, akan kita jumpai kertas bergambar padi, mangga, singkong, bengkoang, bawang, tomat dan sebagainya.
Samar-samar, mata saya terpaku pada potongan ayat al-Quran yang sudah tidak asing. Intinya kurang lebih "Kalau Allah menolong kamu, niscaya kemenangan akan selalu memihakmu". Ini cara klasik yang sering saya jumpai dalam setiap "pesta demokrasi". Politisasi ayat nampaknya semakin menjadi trend yang dianggap efektif meraup suara, utamanya di dunia Arab. Mungkin (hanya negative thinking) mereka hendak 'mengelabuhi' publik dengan beragam kampanye atas nama agama. Bisa jadi mereka masih mengira bahwa orang Islam gampang dibohongin dengan hal-hal yang berbau agama. Hanya bau lo!!!. Iseng banget ya.
Saya tidak hendak menggurui atau merasa dalam pihak yang benar dengan banyak memberikan analisa. Saya hanya 'muallaf plus' yang sering dibuat kaget dengan motif-motif model beginian. Masing-masing dari nurani kita pasti punya komentar. Anggap saja tulisan singkat ini sebagai curhat dari hati ke hati (duh romantisnya :D).
Menjelang maghrib, saya pulang. Karena tidak ingin terjebak macet, metro bawah tanah menjadi alternatif. Ketika memasuki stasiun, saya kaget ketika di sana ada kerumunan orang seperti abis tawuran. Kontan saja hal itu membuat para calon penumpang susah untuk sekedar turun tangga dan berderet di antrean loket. Ada apa gerangan?. Karena penasaran, saya mendekati kerumunan itu.
Setelah saya berada di antara kerumunan itu, barulah penasaran saya terjawab; mereka pada sibuk menempelkan poster calon untuk suatu pemilihan. Saya tidak begitu jelas calon untuk pemilihan apa (?). Boro-boro mlototin, untuk sekedar melihat poster saja harus berdesak-desakan kayak orang rebutan mencium Hajar Aswad hahaha. Ditambah postur tubuh saya yang kecil dibanding orang-orang Arab.
Saya jadi teringat setiap kali akan ada Pilkades (Pemilihan Kepala Desa). Di mana-mana, akan kita jumpai kertas bergambar padi, mangga, singkong, bengkoang, bawang, tomat dan sebagainya.
Samar-samar, mata saya terpaku pada potongan ayat al-Quran yang sudah tidak asing. Intinya kurang lebih "Kalau Allah menolong kamu, niscaya kemenangan akan selalu memihakmu". Ini cara klasik yang sering saya jumpai dalam setiap "pesta demokrasi". Politisasi ayat nampaknya semakin menjadi trend yang dianggap efektif meraup suara, utamanya di dunia Arab. Mungkin (hanya negative thinking) mereka hendak 'mengelabuhi' publik dengan beragam kampanye atas nama agama. Bisa jadi mereka masih mengira bahwa orang Islam gampang dibohongin dengan hal-hal yang berbau agama. Hanya bau lo!!!. Iseng banget ya.
Saya tidak hendak menggurui atau merasa dalam pihak yang benar dengan banyak memberikan analisa. Saya hanya 'muallaf plus' yang sering dibuat kaget dengan motif-motif model beginian. Masing-masing dari nurani kita pasti punya komentar. Anggap saja tulisan singkat ini sebagai curhat dari hati ke hati (duh romantisnya :D).
Pancasila Sudah Islami
Posted by
Fakhrudin Aziz Sholichin
on Nov 4, 2006
/
Comments: (2)
"Saya kok heran Mas ya. Di Indonesia, banyak orang yang pinter agama, tapi sikap dan tingkah-lakunya seringkali tidak mencerminkan Islam. Saya yakin, tidak ada yang salah dengan Islam. Kalau dianalogikan dengan komputer, nampaknya 'mereka' harus segera diinstal-ulang", ungkap Pak Sony (bukan nama sebenarnya) dalam bincang-bincang hangat ketika kami silaturahmi ke rumahnya.
Komentar 'kritis' itu menjadi mukadimah obrolan kami yang sangat 'gayeng'. Sembari mencicipi lontong sayur, kami banyak membincang tentang isu-isu keagamaan yang akhir-akhir ini kembali marak. Ambil satu contoh tentang penerapan Syariat Islam, yang diformilkan dalam Perda Syariat.
Indonesia merupakan negara dengan sistem republik yang menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Sebagai asas, Pancasila dianggap pilihan tepat dan strategis. Saya menduga para pendiri negara tempo dulu sudah mempertimbangkan keberagamaan dan kemajemukan rakyat yang ada di berbagai pelosok, baik suku, agama, ras, dan golongan.
Sebagai negara muslim terbesar (75% dari sekitar 250 juta jiwa), Indonesia tidak hanya diperkaya budaya daerah, namun 'budaya' hasil dari prosesi keberagamaan, semakin memperkuat ciri Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi pluralitas umat beragama. Pluralitas di sini saya artikan sebagai sikap menjunjung tinggi kemajemukan yang ada, bukan menganggap semua agama sama.
Hemat saya, Pancasila sudah efektif dalam mengakomodir keragaman agama yang ada. Secara subtansial, nilai-nilai Islam justru dijadikan sebagai mainstream dalam mengatur dinamika nasional. 5 agama -Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha- dan beberapa kepercayaan (animisme dan dinamisme) hasil peninggalan nenek moyang, nyatanya bisa mengekspresikan diri secara alami.
Kalau Islam di Madinah zaman Rasul sebagai agama minoritas (15% dari 10000 jumlah penduduk Madinah), Islam di Indonesia justru agama mayoritas. Kalau zaman Rasul -di bawah payung Konstitusi Madinah- Islam bisa mewarnai kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara, maka kehadiran Islam di Indonesia dengan segala perangkatnya diharapkan lebih bisa menjadi rahmat bagi seluruh bangsa Indonesia khususnya, dan masyarakat dunia umumnya. Dalam konteks ini dibutuhkan sikap moderat dalam memahami nilai-nilai Islam secara baik berikut dengan aplikasinya.
Survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa mayoritas Muslim Indonesia bersikap moderat dan lebih berorientasi kepada keberagamaan dan kebangsaan. Itu dapat dilihat dari pemilu bebas yang dilaksanakan pada tahun 1955, 1999, dan 2004. Pemilu-pemilu tersebut dimenangkan parpol yang berbasis kebangsaan (PNI, PDIP, Golkar), bukan parpol yang berasaskan Islam.
Lantas bagaimana kalau penerapan Syariat Islam diformilkan dalam tata perundang-undangan Indonesia?, misalnya dengan pemberlakuan Peraturan Daerah (Perda) Syariat.
Penerapan Perda bernuansa Syariat Islam di sejumlah daerah ditanggapi beragam oleh masyarakat Indonesia. Dari hasil survei lembaga yang dimotori Denny JA itu, pertengahan Agustus 2006, mayoritas masyarakat (59,7%) mengkhawatirkan terbitnya Perda Syariat karena akan mendorong perpecahan, bukan hanya antar umat beragama, tetapi sesama muslim.
Apakah itu berarti masyarakat Indonesia sudah tidak Islami?. Saya kira persoalannya tidak di sini.
Survei ini menggambarkan keinginan mayoritas masyarakat Indonesia agar hukum nasional yang menjamin keberagaman diterapkan dan bukan hukum Islam (yang tekstual). Ini diperkuat dengan opini non-muslim (seperti masyarakat Kristen sebanyak 78,5%) yang menginginkan hal yang sama. Naifnya, penerapan syariat ini sering dikumandangkan oleh kaum-kaum radikal yang sok tahu tentang Islam. Sikap anarkhis atas nama agama, menjadi senjata ampuh bagi mereka untuk menggolkan kepentingaannya.
Intinya, penerapan sejumlah Perda Syariat di sejumlah daerah tidak menggambarkan keinginan mayoritas rakyat Indonesia. Tapi, kita jangan berkonklusi bahwa Islam harus ngikut bangsa Indonesia. Rakyat hanya melihat ideologi Pancasila sebagai sistem kenegaraan terbaik di tengah Indonesia yang majemuk. Kalau diprosentase, hanya sebagian kecil masyarakat yang menginginkan Indonesia mengembangkan negara Islam a la Timur Tengah atau pun negara demokrasi dengan mengambil model negara Barat.
Beberapa daerah yang sudah dalam taraf Trial and Error dalam hal ini, kenyataannya belum efektif memberikan format yang ideal. Masyarakat cenderung melihat simbol dan formal serta mengesampingkan substansi nilai-nilai universal keislaman itu sendiri. Semangat dan nafas Islam adalah hal terpenting. Jadi, kalau memang Pancasila dan undang-undang yang ada sudah mengakomodir ajaran Islam, maka itu harus dipatuhi sebagai kewajiban bangsa terhadap pemerintah (Ulil Amri), selama tidak menyimpang dari syariat yang diajarkan. Atau, kalaupun Perda tersebut harus diberlakukan, selama menjunjung tinggi pluralitas (toleransi) keberagamaan -seperti dalam Konstitusi Madinah- juga patut diapresiasi.
Saya yakin mayoritas muslim Indonesia sadar dengan kewajiban melaksanakan Syariat Islam. Tapi syariat yang bagaimana?. Dengan harapan, kehadiran Islam di Indonesia bisa membawa kesejukan bagi sesama bangsa Indonesia. Waallaahu 'A'lam Bisshowwaab
Kairo, 4 Nopember 2006
Komentar 'kritis' itu menjadi mukadimah obrolan kami yang sangat 'gayeng'. Sembari mencicipi lontong sayur, kami banyak membincang tentang isu-isu keagamaan yang akhir-akhir ini kembali marak. Ambil satu contoh tentang penerapan Syariat Islam, yang diformilkan dalam Perda Syariat.
Indonesia merupakan negara dengan sistem republik yang menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Sebagai asas, Pancasila dianggap pilihan tepat dan strategis. Saya menduga para pendiri negara tempo dulu sudah mempertimbangkan keberagamaan dan kemajemukan rakyat yang ada di berbagai pelosok, baik suku, agama, ras, dan golongan.
Sebagai negara muslim terbesar (75% dari sekitar 250 juta jiwa), Indonesia tidak hanya diperkaya budaya daerah, namun 'budaya' hasil dari prosesi keberagamaan, semakin memperkuat ciri Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi pluralitas umat beragama. Pluralitas di sini saya artikan sebagai sikap menjunjung tinggi kemajemukan yang ada, bukan menganggap semua agama sama.
Hemat saya, Pancasila sudah efektif dalam mengakomodir keragaman agama yang ada. Secara subtansial, nilai-nilai Islam justru dijadikan sebagai mainstream dalam mengatur dinamika nasional. 5 agama -Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha- dan beberapa kepercayaan (animisme dan dinamisme) hasil peninggalan nenek moyang, nyatanya bisa mengekspresikan diri secara alami.
Kalau Islam di Madinah zaman Rasul sebagai agama minoritas (15% dari 10000 jumlah penduduk Madinah), Islam di Indonesia justru agama mayoritas. Kalau zaman Rasul -di bawah payung Konstitusi Madinah- Islam bisa mewarnai kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara, maka kehadiran Islam di Indonesia dengan segala perangkatnya diharapkan lebih bisa menjadi rahmat bagi seluruh bangsa Indonesia khususnya, dan masyarakat dunia umumnya. Dalam konteks ini dibutuhkan sikap moderat dalam memahami nilai-nilai Islam secara baik berikut dengan aplikasinya.
Survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa mayoritas Muslim Indonesia bersikap moderat dan lebih berorientasi kepada keberagamaan dan kebangsaan. Itu dapat dilihat dari pemilu bebas yang dilaksanakan pada tahun 1955, 1999, dan 2004. Pemilu-pemilu tersebut dimenangkan parpol yang berbasis kebangsaan (PNI, PDIP, Golkar), bukan parpol yang berasaskan Islam.
Lantas bagaimana kalau penerapan Syariat Islam diformilkan dalam tata perundang-undangan Indonesia?, misalnya dengan pemberlakuan Peraturan Daerah (Perda) Syariat.
Penerapan Perda bernuansa Syariat Islam di sejumlah daerah ditanggapi beragam oleh masyarakat Indonesia. Dari hasil survei lembaga yang dimotori Denny JA itu, pertengahan Agustus 2006, mayoritas masyarakat (59,7%) mengkhawatirkan terbitnya Perda Syariat karena akan mendorong perpecahan, bukan hanya antar umat beragama, tetapi sesama muslim.
Apakah itu berarti masyarakat Indonesia sudah tidak Islami?. Saya kira persoalannya tidak di sini.
Survei ini menggambarkan keinginan mayoritas masyarakat Indonesia agar hukum nasional yang menjamin keberagaman diterapkan dan bukan hukum Islam (yang tekstual). Ini diperkuat dengan opini non-muslim (seperti masyarakat Kristen sebanyak 78,5%) yang menginginkan hal yang sama. Naifnya, penerapan syariat ini sering dikumandangkan oleh kaum-kaum radikal yang sok tahu tentang Islam. Sikap anarkhis atas nama agama, menjadi senjata ampuh bagi mereka untuk menggolkan kepentingaannya.
Intinya, penerapan sejumlah Perda Syariat di sejumlah daerah tidak menggambarkan keinginan mayoritas rakyat Indonesia. Tapi, kita jangan berkonklusi bahwa Islam harus ngikut bangsa Indonesia. Rakyat hanya melihat ideologi Pancasila sebagai sistem kenegaraan terbaik di tengah Indonesia yang majemuk. Kalau diprosentase, hanya sebagian kecil masyarakat yang menginginkan Indonesia mengembangkan negara Islam a la Timur Tengah atau pun negara demokrasi dengan mengambil model negara Barat.
Beberapa daerah yang sudah dalam taraf Trial and Error dalam hal ini, kenyataannya belum efektif memberikan format yang ideal. Masyarakat cenderung melihat simbol dan formal serta mengesampingkan substansi nilai-nilai universal keislaman itu sendiri. Semangat dan nafas Islam adalah hal terpenting. Jadi, kalau memang Pancasila dan undang-undang yang ada sudah mengakomodir ajaran Islam, maka itu harus dipatuhi sebagai kewajiban bangsa terhadap pemerintah (Ulil Amri), selama tidak menyimpang dari syariat yang diajarkan. Atau, kalaupun Perda tersebut harus diberlakukan, selama menjunjung tinggi pluralitas (toleransi) keberagamaan -seperti dalam Konstitusi Madinah- juga patut diapresiasi.
Saya yakin mayoritas muslim Indonesia sadar dengan kewajiban melaksanakan Syariat Islam. Tapi syariat yang bagaimana?. Dengan harapan, kehadiran Islam di Indonesia bisa membawa kesejukan bagi sesama bangsa Indonesia. Waallaahu 'A'lam Bisshowwaab
Kairo, 4 Nopember 2006