"Saya kok heran Mas ya. Di Indonesia, banyak orang yang pinter agama, tapi sikap dan tingkah-lakunya seringkali tidak mencerminkan Islam. Saya yakin, tidak ada yang salah dengan Islam. Kalau dianalogikan dengan komputer, nampaknya 'mereka' harus segera diinstal-ulang", ungkap Pak Sony (bukan nama sebenarnya) dalam bincang-bincang hangat ketika kami silaturahmi ke rumahnya.
Komentar 'kritis' itu menjadi mukadimah obrolan kami yang sangat 'gayeng'. Sembari mencicipi lontong sayur, kami banyak membincang tentang isu-isu keagamaan yang akhir-akhir ini kembali marak. Ambil satu contoh tentang penerapan Syariat Islam, yang diformilkan dalam Perda Syariat.
Indonesia merupakan negara dengan sistem republik yang menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Sebagai asas, Pancasila dianggap pilihan tepat dan strategis. Saya menduga para pendiri negara tempo dulu sudah mempertimbangkan keberagamaan dan kemajemukan rakyat yang ada di berbagai pelosok, baik suku, agama, ras, dan golongan.
Sebagai negara muslim terbesar (75% dari sekitar 250 juta jiwa), Indonesia tidak hanya diperkaya budaya daerah, namun 'budaya' hasil dari prosesi keberagamaan, semakin memperkuat ciri Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi pluralitas umat beragama. Pluralitas di sini saya artikan sebagai sikap menjunjung tinggi kemajemukan yang ada, bukan menganggap semua agama sama.
Hemat saya, Pancasila sudah efektif dalam mengakomodir keragaman agama yang ada. Secara subtansial, nilai-nilai Islam justru dijadikan sebagai mainstream dalam mengatur dinamika nasional. 5 agama -Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Budha- dan beberapa kepercayaan (animisme dan dinamisme) hasil peninggalan nenek moyang, nyatanya bisa mengekspresikan diri secara alami.
Kalau Islam di Madinah zaman Rasul sebagai agama minoritas (15% dari 10000 jumlah penduduk Madinah), Islam di Indonesia justru agama mayoritas. Kalau zaman Rasul -di bawah payung Konstitusi Madinah- Islam bisa mewarnai kehidupan beragama, bermasyarakat dan bernegara, maka kehadiran Islam di Indonesia dengan segala perangkatnya diharapkan lebih bisa menjadi rahmat bagi seluruh bangsa Indonesia khususnya, dan masyarakat dunia umumnya. Dalam konteks ini dibutuhkan sikap moderat dalam memahami nilai-nilai Islam secara baik berikut dengan aplikasinya.
Survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) menunjukkan bahwa mayoritas Muslim Indonesia bersikap moderat dan lebih berorientasi kepada keberagamaan dan kebangsaan. Itu dapat dilihat dari pemilu bebas yang dilaksanakan pada tahun 1955, 1999, dan 2004. Pemilu-pemilu tersebut dimenangkan parpol yang berbasis kebangsaan (PNI, PDIP, Golkar), bukan parpol yang berasaskan Islam.
Lantas bagaimana kalau penerapan Syariat Islam diformilkan dalam tata perundang-undangan Indonesia?, misalnya dengan pemberlakuan Peraturan Daerah (Perda) Syariat.
Penerapan Perda bernuansa Syariat Islam di sejumlah daerah ditanggapi beragam oleh masyarakat Indonesia. Dari hasil survei lembaga yang dimotori Denny JA itu, pertengahan Agustus 2006, mayoritas masyarakat (59,7%) mengkhawatirkan terbitnya Perda Syariat karena akan mendorong perpecahan, bukan hanya antar umat beragama, tetapi sesama muslim.
Apakah itu berarti masyarakat Indonesia sudah tidak Islami?. Saya kira persoalannya tidak di sini.
Survei ini menggambarkan keinginan mayoritas masyarakat Indonesia agar hukum nasional yang menjamin keberagaman diterapkan dan bukan hukum Islam (yang tekstual). Ini diperkuat dengan opini non-muslim (seperti masyarakat Kristen sebanyak 78,5%) yang menginginkan hal yang sama. Naifnya, penerapan syariat ini sering dikumandangkan oleh kaum-kaum radikal yang sok tahu tentang Islam. Sikap anarkhis atas nama agama, menjadi senjata ampuh bagi mereka untuk menggolkan kepentingaannya.
Intinya, penerapan sejumlah Perda Syariat di sejumlah daerah tidak menggambarkan keinginan mayoritas rakyat Indonesia. Tapi, kita jangan berkonklusi bahwa Islam harus ngikut bangsa Indonesia. Rakyat hanya melihat ideologi Pancasila sebagai sistem kenegaraan terbaik di tengah Indonesia yang majemuk. Kalau diprosentase, hanya sebagian kecil masyarakat yang menginginkan Indonesia mengembangkan negara Islam a la Timur Tengah atau pun negara demokrasi dengan mengambil model negara Barat.
Beberapa daerah yang sudah dalam taraf Trial and Error dalam hal ini, kenyataannya belum efektif memberikan format yang ideal. Masyarakat cenderung melihat simbol dan formal serta mengesampingkan substansi nilai-nilai universal keislaman itu sendiri. Semangat dan nafas Islam adalah hal terpenting. Jadi, kalau memang Pancasila dan undang-undang yang ada sudah mengakomodir ajaran Islam, maka itu harus dipatuhi sebagai kewajiban bangsa terhadap pemerintah (Ulil Amri), selama tidak menyimpang dari syariat yang diajarkan. Atau, kalaupun Perda tersebut harus diberlakukan, selama menjunjung tinggi pluralitas (toleransi) keberagamaan -seperti dalam Konstitusi Madinah- juga patut diapresiasi.
Saya yakin mayoritas muslim Indonesia sadar dengan kewajiban melaksanakan Syariat Islam. Tapi syariat yang bagaimana?. Dengan harapan, kehadiran Islam di Indonesia bisa membawa kesejukan bagi sesama bangsa Indonesia. Waallaahu 'A'lam Bisshowwaab
Kairo, 4 Nopember 2006
2 comments:
Terima kasih Mas atas tanggapannya. Pada prinsipnya, persoalannya ada di situ.
Yang menjadi catatan besar saya, seringkali partai Islam memanfaatkan label Islam itu untuk menjual diri kepada publik. Berbagai cara untuk menuju tampuk kekuasaan mereka legalkan, termasuk politisasi ayat di sana sini.
Anyway, semoga kita semakin arif ketika 'mengaku' sebagai muslim.
Tidak bermaksud nggebyah-uyah, kebanyakan politikus yang membawa nama Islam tidak benar-benar memperjuangkan Islam sebagaimana yang digembar-gemborkan. Kebanyakan hanya menunggangi Islam untuk tujuan duniawi. Asumsi saya ini saya dasarkan pada "penampakan" yang kasat mata dan mudah dicermati.
Betapa banyak Partai politik Islam di negeri kita yang memiliki visi, asas dan "cita-cita" yagn sama. Kalau memang tujuan dan asasnya sama kenapa ada banyak jumlahnya? Kenapa orang PBB begitu membenci PKS? Logikanya, kalau memang seseorang menginginkan perjuangan melalui partai politik dengan tujuan murni Islam, kan tidak perlu bersaing dan berlomba membuat partai Islam. Ketika ada perlombaan dan saingan, bahkan saling benci, berarti Jelas tujuannya bukanlah memperjuangkan Islam. Tujuannya duniawi.
ketika persaingan dan rebutan ini dilakukan oleh politisi non-islamis, masih pantas dilihat dan dimaklumi karena memang politik itu lebih banyak bicara soal kekuasaan.
Ketika Islam dipaksa-paksa untuk masuk dalam dunia politik dengan karakteriktis rebutan kekuasaan, maka yang akan terjadi adalah degradasi nilai kesucian Islam itu sendiri. Alih-alih memuliakan Islam, yang ada justru merendahkan Islam. Politik secara de facto adalah kotor. Islam itu mulia. Sementara nafsu selalu membayangi setiap jiwa.
Stiap muslim hendaknya selalu berhati-hati dalam semua tindakannya agar jangan terlalu mudah membawa-bawa nama Islam. Setiap muslim harus mendasarkan setiap gerak dan lakuknya atas ajaran Islam. Ibadah. Ajaran Islam sama sekali tidak bertentangan dengan keadilan dan kebenaran universal. Yang patut dihindari adalah mengatas-namakan Islam.
Saya tidak anti gerakan politik umat Islam. Walah komentar kok kepanjangan,,, ya udah sampai sini aja, nanti saya tulis tentang subyek ini di blog saya. maaf kebiasan memanjanggg hehehehe...
Post a Comment