Pagi itu (1/6), pukul 05.30 Waktu Kairo, saya terbangun oleh bunyi ring tone tanda SMS masuk ke inbox HP. Tadinya saya agak malas -untuk sekedar membuka mata yang masih mengatup rapat- membaca sms itu. Maklum, semalaman saya begadang. Dan, rasanya baru beberapa menit merebahkan badan. Setelah melihat si pengirim, ternyata beliau adalah partner istimewa saya yang selama ini menjadi 'teman diskusi' yang baik. Beliau salah seorang pejabat tinggi di sebuah instansi pemerintah di Jakarta yang sedang gayeng mendiskusikan isu-isu kegamaan di Tanah Air.
Sontak, kantuk pun hilang. Terlebih lagi ketika membaca isi smsnya. Redaksinya kurang lebih begini, "Aziz, siang ini ada waktu ngga. Keadaan sedang genting. Saya butuh chatting dengan Aziz. Terima kasih sebelumnya". "Hah, ada apa ya?". Sayapun mereply dan mengiyakan ajakan chattingnya. Setelah sholat subuh dan rapi-rapi, saya bergegas ke warnet. Setelah log in, saya melihat YMnya sudah menguning.
"Apa kabar bu", saya memulai pembicaraan pagi itu. Kalimat demi kalimat yang tersusun dalam beberapa baris, menghiasi layar monitor kami. Saat itu, Saya masih terus berusaha menangkap maksud SMS itu. "Di al-Azhar, Aziz belajar apaan sich", tanyanya. Saya sangat maklum dengan pertanyaan itu. Karena sebelum diskusi, nampaknya beliau betul-betul ingin meyakinkan dirinya bahwa beliau tidak salah orang.
"Ziz, putra Ibu sudah lulus dan sekarang hendak melanjutkan jenjang SLTP. Ibu bingung, si Dedek musti dikemanain?. Meski tidak pernah belajar agama, Ibu pengin anak-anak ngerti agama?. Sekolah agama di Jakarta seabrek, tapi belum ada yang sreg di hati Ibu?. Melihat fenomena global di Tanah Air akhir-akhir ini, Ibu selalu was-was dengan si Dedek. Jangan sampai ikut-ikutan jadi teroris hehehe", tanyanya dengan nada setengah serius.
Saya pun mengernyitkan dahi dan menghela napas. Pernahkan anda membayangkan akan mendapatkan pertanyaan seperti itu. Jawabannya tentu saja variatif; bisa iya, bisa tidak.
Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia. Saya yakin, mereka yang hati nuraninya peka, mungkin merasakan hal aneh dengan pertanyaan itu. Bagaimana tidak. Di saat pemerintah kerepotan mensensus jumlah pesantren dan madrasah di Indonesia, ternyata masih ada seorang warga yang kebingungan mencari lembaga pendidikan yang pas dengan anaknya. Apa yang salah dengan lembaga pendidikan kita?. Saya yakin, masih banyak warga lain yang mempunyai keluhan sama. Ini fakta yang patut kita renungkan. Sayapun terpaku sesaat sambil melototin monitor.
Singkatnya, si Ibu bercerita panjang tentang kegundahan yang beliau alami saat ini. Beliau melihat banyak lembaga pendidikan berlabel Islam yang kualitasnya patut didiskusikan kembali oleh para akademisi. Beliau mencontohkan sebuah pesantren di Jawa Barat. Label Islam sangat mendominasi di sana. Tapi apa yang terjadi?. Para santrinya menjadi over-dosis, ekstrem dan sangat radikal. Mereka tidak bisa mengaplikasikan nilai-nilai keislaman secara baik di masyarakat. Bukan keteduhan dan kedamaian yang Ia tebarkan, tapi semangat permusuhan dengan sesama muslim.
Bahkan, kesan yang beliau tangkap, banyak pelanggaran-pelanggaran normatif yang 'dilegalkan'. Ironisnya, hal itu dibungkus atas nama "Penerapan Syariat Islam". Tanpa maksud menggeneralisir fenomena ini, hal itu bisa menyebabkan trauma yang mendalam bagi masyarakat, utamanya yang awam dengan agama. Sehingga secara langsung akan berimplikasi kepada image lembaga pendidikan agama lainnya.
Sebagian dari kita, seringkali mudah keblinger dengan hal-hal yang berbau agama. Mereka menganggap bahwa itu (baca: agama) adalah segala-galanya. Iya, saya setuju. Tapi pertanyaannya; ajaran agama yang bagaimana?. Kita ogah-ogahan bertanya kepada diri sendiri. Kita seringkali terlalu jauh berjalan dari rel yang semestinya kita lewati. Dengan tanpa menghilangkan daya kritis, saya berani mengatakan bahwa tidak ada yang salah dengan agama kita. Pemahaman kita terhadap agama itulah yang harus direnungkan. Ketika merampungkan bacaan-bacaan tertentu, membuat kita gelap mata dan merasa paling sholeh dan benar. Sikap toleran (tasamuh) yang diajarkan oleh Rasululullah SAW, tidak pernah diindahkan.
Makanya, ungkapan "More pious Less Tolerant (semakin 'sholeh' seseorang, semakin hilang toleransinya)", tidaklah berlebihan. Bahkan, bagi saya, ungkapan ini sangat cocok untuk merefleksikan fenomena keagamaan di Tanah Air, juga dimana saat ini saya berada; Kairo.
Watak dan karakter seperti inilah, yang saya yakini -perlahan-lahan- akan merusak citra bangsa dan membahayakan masa depan generasi kita. Tidak mustahil, masa depan Indonesia, bahkan dunia, akan dipenuhi oleh generasi-generasi radikal yang tidak bisa menampilkan Islam yang ramah. Dan pada saatnya, Indonesia mungkin diwarnai oleh para 'murabbi' yang banyak 'menjajakan' ayat dan hadits sambil menjanjikan surga berikut bidadari-bidadarinya bagi orang-orang yang mau menjalankan misinya. Meningkatnya peledakan bom, mengindikasikan bahwa gerakan kaum-kaum radikal sudah merajelala dan harus segera dihentikan karena mengancam integritas bangsa. Terlepas, apakah keadaan ini sengaja dihembuskan oleh agen-agen Barat atau tidak, yang jelas ini tanggungjawab kita bersama.
Kita harus berani merunut akar-akar radikalisme yang ada. Faktor-faktor yang menyuburkan tumbuhnya radikalisme harus dimusnahkan. Hal ini, bisa kita mulai dengan pengawasan secara ketat terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam, misalnya madrasah, pondok pesantren, Islamic Center dan sebagainya. Jangan pernah beranggapan bahwa kita hendak mengobok-obok Islam. Kita hanya ingin menyelamatkan generasi muslim dari doktrin-doktrin radikalisme. Dan yang perlu diingat, kita harus sadar bahwa pembelaan terhadap Islam harus dimaknai secara proporsional.
Oleh karenanya, kita harus back to basic memahami teks-teks yang ada (ajaran Islam) secara benar untuk membuat blue print Indonesia ke depan. Kita tidak hendak mendirikan negara islam, tapi kita bercita-cita menjadikan ajaran Islam yang demokratis dan rahmatan lil alamin, menjadi ruh dalam dinamika nasional. Kita berharap Indonesia akan diisi oleh generasi-generasi handal yang kuat fikir dan dzikir. Semoga.
0 comments:
Post a Comment