Mensyiarkan Ramadhan

Sembari mencicipi kurma dan syai (teh) hangat ketika berbuka, salah seorang tamu yang baru saja datang dari Indonesia nanya ke saya, "Mas, apakah anda melihat ada perbedaan syiar Ramadhan di Indonesia dengan Mesir?". "Jelas dong Pak. Ini tahun ke-8 saya berpuasa di Negeri Seribu Menara. Kesan yang terasa dalam rentang waktu itu; saya lebih menikmati syiar Puasa Ramadhan di Mesir daripada Indonesia", timpal saya.

"Wah ini menarik untuk didiskusikan", tambahnya


Cuplikan dialog itu terjadi kemarin (28/9) ketika saya menghadiri jamuan buka bersama di Al-Rehab, salah satu kompleks perumahan mewah di bilangan New Cairo. Dialog tersebut begitu asyik dan familiar. Beliau banyak bercerita suasana Ramadhan di Jakarta akhir-akhir ini. Saya melihat tidak banyak yang berubah dengan suasana ketika saya kecil. Bunyi petasan, mainan kembang api sampai dengan 'klotek' (kentongan berseni di malam hari) untuk membangunkan sahur, masih dilestarikan masyarakat.

Namun, ada satu hal yang menjadi renungan saya bahwa syiar Ramadhan yang diekspresikan masyarakat kita (Indonesia), terkesan overacting dan sering menerjang sisi-sisi humanisme (sosial). Tadarrus sampai larut malam adalah aktifitas yang sangat terpuji untuk memanfaatkan momen emas di bulan ini. Harapannya, kita bisa menambah poin dan koin di hadapan Ilahi Rabbi. Kepentingan politis yang bersifat transenden-vertikal, memang bisa terpenuhi. Tapi, pernahkah kita berfikir bahwa sebagai muslim yang baik, harus ada keterpanggilan untuk memenuhi kesalehan sosial.Kalau tadarrus dengan loudspeaker itu di lakukan di desa-desa, mungkin masih mending karena mayoritas beragama Islam. Lain halnya dengan masayarakat perkotaan. Sangat mungkin di sana banyak anggota masyarakat non-muslim, yang butuh ketenangan istirahat di malam hari. Ini juga kewajiban yang harus kita tunaikan sebagai sesama anggota masyarakat. Bukankah tetangga kita –yang non muslim- juga punya hak menikmati mimpi malamnya yang begitu romantis. Jangan sampai tadarrus kita malah membuat malam pertama sepasang pengantin menjadi hambar.

Yang harus menjadi pemikiran bersama, bagaimana kita mensyiarkan Ramadhan dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai humanisme. Sehingga, masyarakat non muslim menjadi semakin simpati dengan kehadiran Islam.

Di Mesir, toleransi keberagamaan pun sangat tinggi. Suasananya syahdu dan tenang, tapi tidak mengurangi khidmat malam Ramadhan. Masjid-masjid tetap ramai, tapi masih dalam ‘jam kerja’ malam. Toko-toko dengan penerangan lampu yang sangat terang dengan dibalut kain khas dan menyediakan beraneka ragam menu, membuat nuansa malam menjadi hingar-bingar. Tapi, jalanan macet yang disebabkan oleh parkir mobil para jamaah yang melakukan solat tarawih, nampaknya harus dicarikan alternatif lain sebagai solusi. Sehingga tidak mengganggu pengguna jalan yang tidak sempat sholat taraweh karena harus mengadu nasib untuk mencari sesuap nasi buat anak dan istri.

Anyway...Semoga bulan puasa ini menjadi momen tepat buat kita untuk terus berdinamika mengibarkan Islam yang ramah dan rahmat. Sapalah saudara-saudara kita dengan penuh kearifan dan kedamaian. Mereka punya hak untuk kita dekap. Mereka merindukan kasih sayang kita. Mereka ingin kita tahu apa yang mereka impikan. Ya...masyarakat yang aman, damai dalam kasih sayang Tuhan.

2 comments:

Diyan said...

overacting... mungkin kata yang tepat yah mas :P di kota padang malah restaurant2 yang buka di siang hari di razia dan disita peralatan masaknya. Masakan yang begitu banyak disimpan dalam baskom dimasukkan ke dalam kantong plastik dan disita. Seharusnya nggak perlu seperti itu ya? overacting..

Fakhrudin Aziz Sholichin said...

Iya Mbak. Masyarakat kita lebih suka dengan akting-akting yang bersifat formal-lahiriyah. Saya sendiri kadang kurang yakin dengan pemahaman mereka terhadap nilai-nilai keislaman. Islam khan ramah dan santun. Kok aksi mereka cenderung anarkhis.