Meski jembatan, jalan, dan gedung-gedung hancur dihajar rudal Israel, korban tewas dan luka-luka berjatuhan, orang Libanon tetap bisa guyon. Banyak lelucon beredar
Hidayatullah.com--Orang Libanon Selatan naik pamornya sejak berhasil mengalahkan Israel dalam perang bulan lalu. Meskipun ribuan rumah, jembatan, jalan, dan gedung-gedung hancur dihajar rudal Israel, dan korban tewas dan luka-luka berjatuhan, orang Libanon tetap bisa guyon. Banyak lelucon beredar. Salah satunya kami kutipkan untuk Anda di bawah ini.
Seorang petani tembakau di Libanon Selatan bernama Abu ‘Abid menelfon PM Israel Ehud Olmert.
“Mr. Olmert?!”
“Ya, saya sendiri.”
“Saya Abu ‘Abid dari Libanon Selatan. Dengan ini kami rakyat Libanon menyatakan perang dengan Israel!”
“Baik. Berapa orang pasukan infantri Anda?”
“Saya, anak saya, keponakan saya, ipar saya, sepupu saya, dan semua teman saya di warung kopi!”
“Oke. Pasukan saya jumlahnya 1 juta orang, terdiri dari pasukan khusus, intelijen, dan pasukan regular.”
“Nggak takut! Kita tetap perang!”
“Oke. Persenjataan apa saja yang Anda punya, Abu ‘Abid?”
“Kami punya sedan Mercedes tahun ’86, ditambah truk sayur ipar saya, dan masing-masing anggota pasukan bawa cangkul, garu, dan sekop. Oh iya, linggis juga ada!”
“Oke. Saya punya 300 rudal nuklir. 200 jet tempur. 25 kal perusak. 700 tank Merkava.”
“Nggak takut! Kita tetap perang!”
“Baiklah. Karena kamu pemberani saya akan menambah jumlah pasukan saya jadi 2 juta orang!”
“Mr. Olmert. Kita batalkan saja perang ini…”
“Kenapa? Takut ya..?”
“Bukan. Kami nggak mampu ngasih makan 2 juta tawanan perang.”
Telepon ditutup.* [dzik/hidayatulah.com]
Happy Eid
Posted by
Fakhrudin Aziz Sholichin
on Oct 23, 2006
/
Comments: (1)
Kami mengucapkan:
SELAMAT HARI RAYA IDUL FITHRI 1427 H
Ja'alanallahu wa iyyaakum minal 'aidin wal faizin
Mohon maaf lahir dan bathin
Semoga hari yang fithri ini
menjadi babak baru bagi kita untuk terus memacu prestasi hidup.
Semoga hidup yang hanya sekali ini menjadi sangat berarti bagi kita dan orang lain.
"Kalau kita tidak mampu menjadi bintang yang menerangi langit
Jadilah Lampu yang menerangi rumah"
Taqabbalallaahu minnaa wa minkum taqabbal yaa Kariim
Kullu Am wa Antum Bikhoir
SELAMAT HARI RAYA IDUL FITHRI 1427 H
Ja'alanallahu wa iyyaakum minal 'aidin wal faizin
Mohon maaf lahir dan bathin
Semoga hari yang fithri ini
menjadi babak baru bagi kita untuk terus memacu prestasi hidup.
Semoga hidup yang hanya sekali ini menjadi sangat berarti bagi kita dan orang lain.
"Kalau kita tidak mampu menjadi bintang yang menerangi langit
Jadilah Lampu yang menerangi rumah"
Taqabbalallaahu minnaa wa minkum taqabbal yaa Kariim
Kullu Am wa Antum Bikhoir
4 Kali Salah Suntik (Habis)
Posted by
Fakhrudin Aziz Sholichin
on Oct 18, 2006
/
Comments: (6)
Ini hari pertama di Rumah Sakit Ta'min Sihy. Ta'min Sihy bisa dibilang rumah sakit khusus buat warga yang memegang Kartu Askes. Namanya aja Ta'min Sihy (Asuransi Kesehatan). Tentu saja, apa yang barusan 'menimpa' diri saya, bukan kesalahan pihak rumah sakit. Status mahasiswa di Mesir aja masih calon. Udah untung dikasih infus ama suster.
Di sini, saya sempat menginap sehari semalam. Perawatan a la kadarnya pun cukup membantu saya berjuang menahan luka-luka ringan di kepala, lengan dan bagian dalam dada. Cairan infus yang masuk ke dalam tubuh melalui selang, membuat kondisi semakin membaik.
Siang harinya, seorang suster datang dengan membawa perlengkapan suntik. Alamak. Saya paling takut ama yang namanya suntik. Seumur hidup, saya hanya disuntik 2 kali; pas disunat dan sakit gigi.
Sempat saya tanya ke suster; "Apakah saya mau disuntik". "Aiwah (iya)", jawabnya sambil menganggukkan kepala. Duh gimana ya. Ya udah dech tawakkal aja. Katanya sich untuk keperluan laborat.
Ketika suster mengusap tangan dengan kapas basah, tanganku menegang. Mungkin saking takutnya melihat jarum itu.
"Jangan tegang dong", tegur sang suter. Gimana ngga tegang. Udah takut suntik, susternya agak senewen, tampilannya pun apa adanya hahaha.
Saya mencoba untuk tenang.
Jarum suntik itu pun masuk. Cussssss. "Duh kok sakit gini", kataku. Ketika sang Suster mencabut jarumnya, saya terheran, kok ngga ada darah sedikitpun yang diambil. Ketika saya tanyakan soal itu, dengan enteng dia bilang, "Sorry ya, tadi salah tusuk. Makanya darah ngga keluar". Naifnya, kesalahan itu terulang 4 kali. Baru pada tusukan kelima darah bisa diambil.
"Piye tho sus. Emangnya kelinci percobaan apa", gumamku. Terus terang itu membuat saya semakin trauma dengan barang yang bernama Jarum Suntik.
Pada Senin malamnya (11/10), sekitar pukul 23.00 Waktu Kairo, saya dibangunkan oleh seorang suster. Semua selang infus yang masih menempel di tangan dilepas. Saya tanya, "kenapa kok dicabutin semua". "Kamu mau dipindahin ke rumah sakit al-Faruq di kawasan Maadi", jawabnya sambil melempar senyum manisnya. "Kamu baik-baik ya biar cepet sembuh", pesennya sambil ngledek.
Sebelum keluar, saya sempat mendapatkan satu suntikan lagi. Katanya untuk penetral suhu tubuh. Maklum angin di luar sangat kenceng dan dingin.
Tepat pukul 23.45 Waktu Kairo, dengan tetap terbaring di atas tandu, saya dimasukkan ke dalam ambulance dan dibawa ke rumah sakit al-Faruq. Sepanjang perjalanan, saya ditemani oleh pegawai rumah sakit Ta'min Sihy. Kita ngobrol ringan tapi akrab. Nampaknya, sejak awal, dia menaruh kasihan melihat kondisi saya yang terbaring lemas.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 1,5 jam, kita sampai di rumah sakit al-Faruq.
Kaget. Itulah kesan pertama saya. Rumah sakitnya megah dan dokter-dokternya kelihatan sangat profesional. Paling tidak terlihat dari bangunan dan rungan-ruangannya. Dokter dan suster-nya kelihatan sangat profesional.
Sebelum menghuni, saya dirontgen total untuk mendeteksi apakah ada kerusakan bagian dalam. Kurang lebih 1/4 jam saya terbaring di bawah sinar rontgen. Hasilnya, tulang dada sedikit bengkak karena terbentur benda keras ketika kecelakaan. Alhamdulillah.
Setelah semua urusan selesai, saya di bawa ke kamar. Asri, bersih, dan wangi. Itulah gambaran 'kamar baruku'. Minimal, tidak sulit bagi saya untuk membedakan antara Ta'min Sihy dan al-Faruq. Maklum, Ta'min Sihy diperuntukkan buat kalangan ekonomi menengah ke bawah. Sedangkan al-Faruq, relatif untuk menengah ke atas.
Ini bukan berarti saya banyak duit. Saat itu, ada seorang dermawan (yang tidak mau disebut namanya), membantu perawatan saya mulai awal sampai akhir. Juga kawan saya yang harus menjalani operasi rahang. Semua biaya ditanggung oleh beliau. Bisa dibayangkan, seandainya kita bayar sendiri, berapa ribu pound uang yang harus kita siapkan. Belakangan saya baru tahu bahwa beliau termasuk 'pentolan' di rumah sakit itu.
Terima kasih Tuhan
Di sini, setiap 3 jam kesehatan kita dicheck. Sangat profesional memang. Gaya komunikasi para dokter dan susternya, pun menjadi terapi tersendiri. Suasananya begitu familiar. Maklum, di saat jauh dari keluarga, ssya selalu merasa hari-hari begitu hampa. Kehadiran dokter, suster juga sahabat-sahabat saya, bisa mengobati kehampaan itu.
Kawan-kawan yang menemani, selalu menghiburku untuk segera keluar dari rumah sakit. Katanya, kawan-kawan (yang seperjuangan dalam tragedi itu), sudah pada main bola. Alangkah bahagianya ketika mendengar berita itu. Itulah yang memberi semangat untuk sembuh.
Setelah 2 hari 2 malam menginap, saya diperbolehkan pulang. Kondisi saya memang relatif stabil meskipun untuk jalan dan bicara, dada masih terasa sakit.
Ketika check out dari rumah sakit, oleh seorang kawan yang menemani, saya dibawa ke rumahnya yang terletak di Darmalak (kawasan Kairo lama). Saya sudah mulai curiga ketika hari ke-8, permintaan saya untuk menemui kawan-kawan tidak dikabulkan. Alasannya banyak dech. Kesehatan lah, orangnya lagi ngga di rumah dan seterusnya.
Hari ke-10, seorang senior datang ke kamar menghampiri saya dengan sorot mata yang agak lain. Sabil menata posisi duduknya, ia memijit saya yang saat itu masih terbaring di kasur.
Hampir 10 menit ia memijit sambil canda-canda.
"Ziz, saya ingin menyampaikan sesuatu. Saya hanya minta kamu tabah dan sabar menghadapinya", begitulah kira-kira redaksinya. Saya mulai bisa menduga apa yang akan ia sampaikan. Mata saya sudah berkaca-kaca membayangkan seandainya dugaan itu benar.
"Si A dan SI B sudah mendahului kita", katanya pelan. Banyak hal yang ia sampaikan saat itu untuk menghibur saya. Tapi tidak saya hiraukan. Saya hanya sibuk menyeka air mata yang terus mengalir.
Begitulah kisah yang saya alami 3 bulan pertama di Kairo. Kisah ini mengawali perjuangan saya di Mesir. Dari kejadian ini, banyak hikmah yang saya ambil. Suka dan suka datang silih berganti menemani perjalanan hidup. Anyway, saya mencoba untuk selalu bisa tersenyum di saat duka menyapa.
Tuhan...terima kasih atas apa-apa yang telah Engkau berikan.
Di sini, saya sempat menginap sehari semalam. Perawatan a la kadarnya pun cukup membantu saya berjuang menahan luka-luka ringan di kepala, lengan dan bagian dalam dada. Cairan infus yang masuk ke dalam tubuh melalui selang, membuat kondisi semakin membaik.
Siang harinya, seorang suster datang dengan membawa perlengkapan suntik. Alamak. Saya paling takut ama yang namanya suntik. Seumur hidup, saya hanya disuntik 2 kali; pas disunat dan sakit gigi.
Sempat saya tanya ke suster; "Apakah saya mau disuntik". "Aiwah (iya)", jawabnya sambil menganggukkan kepala. Duh gimana ya. Ya udah dech tawakkal aja. Katanya sich untuk keperluan laborat.
Ketika suster mengusap tangan dengan kapas basah, tanganku menegang. Mungkin saking takutnya melihat jarum itu.
"Jangan tegang dong", tegur sang suter. Gimana ngga tegang. Udah takut suntik, susternya agak senewen, tampilannya pun apa adanya hahaha.
Saya mencoba untuk tenang.
Jarum suntik itu pun masuk. Cussssss. "Duh kok sakit gini", kataku. Ketika sang Suster mencabut jarumnya, saya terheran, kok ngga ada darah sedikitpun yang diambil. Ketika saya tanyakan soal itu, dengan enteng dia bilang, "Sorry ya, tadi salah tusuk. Makanya darah ngga keluar". Naifnya, kesalahan itu terulang 4 kali. Baru pada tusukan kelima darah bisa diambil.
"Piye tho sus. Emangnya kelinci percobaan apa", gumamku. Terus terang itu membuat saya semakin trauma dengan barang yang bernama Jarum Suntik.
Pada Senin malamnya (11/10), sekitar pukul 23.00 Waktu Kairo, saya dibangunkan oleh seorang suster. Semua selang infus yang masih menempel di tangan dilepas. Saya tanya, "kenapa kok dicabutin semua". "Kamu mau dipindahin ke rumah sakit al-Faruq di kawasan Maadi", jawabnya sambil melempar senyum manisnya. "Kamu baik-baik ya biar cepet sembuh", pesennya sambil ngledek.
Sebelum keluar, saya sempat mendapatkan satu suntikan lagi. Katanya untuk penetral suhu tubuh. Maklum angin di luar sangat kenceng dan dingin.
Tepat pukul 23.45 Waktu Kairo, dengan tetap terbaring di atas tandu, saya dimasukkan ke dalam ambulance dan dibawa ke rumah sakit al-Faruq. Sepanjang perjalanan, saya ditemani oleh pegawai rumah sakit Ta'min Sihy. Kita ngobrol ringan tapi akrab. Nampaknya, sejak awal, dia menaruh kasihan melihat kondisi saya yang terbaring lemas.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 1,5 jam, kita sampai di rumah sakit al-Faruq.
Kaget. Itulah kesan pertama saya. Rumah sakitnya megah dan dokter-dokternya kelihatan sangat profesional. Paling tidak terlihat dari bangunan dan rungan-ruangannya. Dokter dan suster-nya kelihatan sangat profesional.
Sebelum menghuni, saya dirontgen total untuk mendeteksi apakah ada kerusakan bagian dalam. Kurang lebih 1/4 jam saya terbaring di bawah sinar rontgen. Hasilnya, tulang dada sedikit bengkak karena terbentur benda keras ketika kecelakaan. Alhamdulillah.
Setelah semua urusan selesai, saya di bawa ke kamar. Asri, bersih, dan wangi. Itulah gambaran 'kamar baruku'. Minimal, tidak sulit bagi saya untuk membedakan antara Ta'min Sihy dan al-Faruq. Maklum, Ta'min Sihy diperuntukkan buat kalangan ekonomi menengah ke bawah. Sedangkan al-Faruq, relatif untuk menengah ke atas.
Ini bukan berarti saya banyak duit. Saat itu, ada seorang dermawan (yang tidak mau disebut namanya), membantu perawatan saya mulai awal sampai akhir. Juga kawan saya yang harus menjalani operasi rahang. Semua biaya ditanggung oleh beliau. Bisa dibayangkan, seandainya kita bayar sendiri, berapa ribu pound uang yang harus kita siapkan. Belakangan saya baru tahu bahwa beliau termasuk 'pentolan' di rumah sakit itu.
Terima kasih Tuhan
Di sini, setiap 3 jam kesehatan kita dicheck. Sangat profesional memang. Gaya komunikasi para dokter dan susternya, pun menjadi terapi tersendiri. Suasananya begitu familiar. Maklum, di saat jauh dari keluarga, ssya selalu merasa hari-hari begitu hampa. Kehadiran dokter, suster juga sahabat-sahabat saya, bisa mengobati kehampaan itu.
Kawan-kawan yang menemani, selalu menghiburku untuk segera keluar dari rumah sakit. Katanya, kawan-kawan (yang seperjuangan dalam tragedi itu), sudah pada main bola. Alangkah bahagianya ketika mendengar berita itu. Itulah yang memberi semangat untuk sembuh.
Setelah 2 hari 2 malam menginap, saya diperbolehkan pulang. Kondisi saya memang relatif stabil meskipun untuk jalan dan bicara, dada masih terasa sakit.
Ketika check out dari rumah sakit, oleh seorang kawan yang menemani, saya dibawa ke rumahnya yang terletak di Darmalak (kawasan Kairo lama). Saya sudah mulai curiga ketika hari ke-8, permintaan saya untuk menemui kawan-kawan tidak dikabulkan. Alasannya banyak dech. Kesehatan lah, orangnya lagi ngga di rumah dan seterusnya.
Hari ke-10, seorang senior datang ke kamar menghampiri saya dengan sorot mata yang agak lain. Sabil menata posisi duduknya, ia memijit saya yang saat itu masih terbaring di kasur.
Hampir 10 menit ia memijit sambil canda-canda.
"Ziz, saya ingin menyampaikan sesuatu. Saya hanya minta kamu tabah dan sabar menghadapinya", begitulah kira-kira redaksinya. Saya mulai bisa menduga apa yang akan ia sampaikan. Mata saya sudah berkaca-kaca membayangkan seandainya dugaan itu benar.
"Si A dan SI B sudah mendahului kita", katanya pelan. Banyak hal yang ia sampaikan saat itu untuk menghibur saya. Tapi tidak saya hiraukan. Saya hanya sibuk menyeka air mata yang terus mengalir.
Begitulah kisah yang saya alami 3 bulan pertama di Kairo. Kisah ini mengawali perjuangan saya di Mesir. Dari kejadian ini, banyak hikmah yang saya ambil. Suka dan suka datang silih berganti menemani perjalanan hidup. Anyway, saya mencoba untuk selalu bisa tersenyum di saat duka menyapa.
Tuhan...terima kasih atas apa-apa yang telah Engkau berikan.
Makna Esoterik Lailatul Qadr
Posted by
Fakhrudin Aziz Sholichin
on Oct 14, 2006
/
Comments: (4)
Lailatul Qadr adalah suatu malam dalam makna simbolik atau anagogis. Lailatul Qadr merupakan suatu tanda (simbol) pencapaian prestasi spiritual seorang hamba dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Malam hari di sini tentu tidak secara eksak menunjuk pada fakta, tetapi lebih pada kekuatan simbol atau makna esoteriknya.
Lailah dalam bahasa Arab mempunyai beberapa makna. Ada makna literal berarti malam, lawan dari siang (nahar); ada makna alegoris seperti gelap atau kegelapan, kesunyian, kesepian, keheningan, kesyahduan, kerinduan, dan kedamaian; ada makna anagogis (spiritual) seperti kekhusyukan (khusyu'), kepasrahan (tawakkal), kedektan (taqarrub) kepada Ilahi.
Dalam syair-syair klasik Arab, ungkapan lailah lebih banyak digunakan makna alegoris (majaz) ketimbang makna literalnya, seperti ungkapan syair seorang pengantin baru: Ya lalila thul, ya shubh qif (wahai malam bertambah panjanglah dan wahai subuh berhentilah). Kata laila di dalam bait itu berarti kesyahduan, keindahan, kenikmatan, dan kehangatan sebagaimana dirasakan oleh para pengantin baru.
Dalam syair-syair sufistik orang bijak (hukama) juga lebih banyak menekankan makna anagogis kata lailah. Para sufi lebih banyak menghabiskan waktu malamnya untuk mendaki menuju Tuhan, mereka berterima kasih kepada lailah (malam) yang selalu menemani kesendirian mereka. Perhatikan ungkapan Imam Syafi': Man thalab al-ula syahir al-layali (barangsiapa yang mendambakan martabat utama banyaklah berjaga di waktu malam). Kata al-layali di sini berarti keakraban dan kerinduan antara hamba dan Tuhannya.
Dalam Al-Qur'an, di antara ke 93 kata lail tidak sedikit di antaranya menunjukkan makna alegoris dan anagogis di samping makna literalnya. Di antara ayat yang menekankan makna anagogis kata lailah adalah sebagai berikut:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S. al-Isra'/17:1)
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. (Q.S. al-Isra'/17:79)
كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ. وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). (Q.S. al-Dzariyat/51:17)
Kata lailah dalam ketiga ayat di atas mengisyaratkan malam sebagai rahasia untuk mencapai ketinggian dan martabat utama di sisi Allah Swt. Seolah-olah jarak spiritual antara hamba dengan Tuhan lebih pendek. Ini mengingatkan kita bahwa hampir semua prestasi puncak spiritual terjadi di malam hari. Ayat pertama (Q.S. al-'Alaq/96:1-5) di turunkan di malam hari, ayat-ayat tersebut sekaligus menandai pelantikan Muhammad Saw sebagai Nabi di malam hari. Tidak lama kemudian turun ayat dalam surah Al-Muddatstsir yang menandai pelantikan Nabi Muhammad sekaligus sebagai Rasul menurut kalangan ulama 'Ulumul Qur'an. Peristiwa Isra' dan Mi'raj, ketika seorang hamba mencapai puncak maksimum (sudrah al-muntaha) juga terjadi di malam hari. Yang tidak kalah pentingnya ialah lailah al-qadr khair min alf syahr (malam lailatul qadr lebih mulia dari ribuan tahun), bukannya siang hari Ramadlan (nahar al-qadr).
Makna Lailatul Qadr
Banyak versi para ulama tentang Lailatul Qadr. Ada yang mengatakan Lailatul Qadr terjadi hanya sekali saja yaitu ketika pertama turunnya. Selebihnya sampai sekarang hanya semacam ulang tahunnya yang juga tak kurang berkahnya. Versi lain Lailatul Qadr turun setiap tahun dalam bulan suci Ramadlan hingga akhir zaman, namun waktu pastinya dirahasiakan Allah Swt.
Yang pasti, Lailatul Qadr adalah suatu malam dalam makna simbolik atau anagogis. Lailatul Qadr merupakan suatu tanda (simbol) pencapaian prestasi spiritual seorang hamba dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Banyaknya hadis yang menganjurkan untuk banyak beribadah di malam hari pada malam-malam ganjil sepuluh terakhir bulan Ramadlan mengisyaratkan adanya berkah dan nilai-nilai keutamaan di malam hari. Malam hari di sini tentu tidak secara eksak menunjuk kepada fakta, tetapi lebih kepada kekuatan simbol atau pada makna esoteriknya. Malam hari di Mekkah siang hari di belahan bumi lain. Indonesia misalnya berselisih 12 jam dengan Amerika serikat. Ketika umat Islam Indonesia melakukan berbagai mujahadah di malam hari Ramadlan, Amerika Serikat masih sibuk dengan urusan siangnya. Bagaimana misalnya dengan kota St Piter Berg, di wilayah Rusia, yang dalam musim tertentu malam harinya hanya satu jam?
Oleh karena itu, makna esoterik Lailatul Qadr lebih utama untuk diperkenalkan ketimbang fakta malamnya. Boleh jadi seorang hamba merasahan keheningan, kefakuman, dan kekhusyukan justru di di tengah siang bolong; sementara ada hamba Tuhan lainnya merasakan malam harinya penuh kesibukan rasional, sehingga jiwa dan batin mereka tidak kurang aktif di malam hari, misalnya para wartawan yang dikejar deadline, para penjaga malam yang harus mengawasi keamanan disekitar wilayahnya. Boleh jadi mereka siang hari adalah malam spiritualnya.
Pemaknaan satu kata dapat dilihat dari makna eksoterik dan makna esoteric. Makna eksoterik lebih merujuk kepada fakta sesuatu sedangkan makna esoterik lebih merujuk kepada apa yang di balik atau lebih dalam dari sekedar fakta itu.
Jika Lailatul Qadr ditekankan pada makna esoteriknya, misalnya lebih menekankan pada aspek waktu malamnya, maka kemungkinan hakekat, tujuan, atau hikmah lebih besar dari Lailatul Qadr tidak akan dicapai secara maksimum. Akan tetapi jika yang ditekankan adalah makna esoteriknya, misalnya keheningan, kesyahduan, kekhusyukan, dan kedekatan, maka kemungkinan Lailatul Qadr akan memberikan bekas dan kesan lebih lama di dalam diri seseorang.
Salah satu makna esoterik lailah adalah kelembutan, kepasrahan (femininity) dan kasih tulus (nurturing). Sedangkan siang (nahar) sering dimaknai kebalikannya sebagai ketegaran, kejantanan (masculinity), dan kekuatan (struggeling). Upaya mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah swt lebih efektif melalui pendekatan kepasrahan dan kelembutan (motion) ketimbang melalui pendekatan ketegaran dan intelek (ratio). Malam sering dilukiskan dengan emosi dan siang dilukiskan dengan rasio. Dari perspektif ini terdapat isyarat kuat bahwa Lailatul Qadr adalah malam yang memiliki keunggulan (the power of night).
Kualitas feminine lebih kuat daripada kekuatan masculine.
Allah Swt, sebagaimana dapat dilihat di dalam 99 namanya (al-asma' al-husna), lebih dominan menampilkan sifat-sifat feminin (the mother God) ketimbang sifat-sifat maskulin (the father God). Di antara 99 nama tersebut lebih dari 70 % mengisyaratkan sifat-sifat feminin. Istimewanya lagi, yang paling sering disebutkan berulang-ulang dan hampir mewarnai halaman demi halaman Al-Qur'an adalah nama-nama feminin-Nya, sementara nama-nama maskulin jarang ditemukan. Bandingkan misalnya kata al-Rahim (Yang Maha Penyayang) terulang sebanyak 114 kali, sementara al-Muntaqim (Yang maha Pendendam), dan al-Mutakabbir (Yang Maha Angkuh) hanya sekali terulang. Kita hanya menemukan satu-satunya redaksi basmalah dalam Al-Qur'an, yaitu: Bismillah al-Rahman al-Rahim (Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Kita tidak pernah menemukan misalnya bismillah al-Qawiy al-Jabbar (Dengan nama Allah Yang Maha Kuat lagi Maha Pemaksa), meskipun kata yang kedua juga merupakan nama dan sifat Allah Swt.
Dalam perspektif tasawuf, nama-nama indah Tuhan bukan hanya menunjukkan sifat-sifat Tuhan, tetapi juga menjadi titik masuk (entry point) untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada-Nya. Setiap orang dapat mengakses dan mengidentifikasikan diri dengan nama-nama tersebut. Seseorang yang pernah berlumuran dosa lalu sadar, dapat menghibur diri dan membangun rasa percaya diri dengan mengidentifikasi diri dengan nama al-Gafur (Maha Pengampun) dan al-Tawwab (Maha Penerima Taubat), sehingga yang bersangkutan tetap mempunyai harapan dan tidak perlu kehilangan semangat hidup.
Salah satu bentuk kemahapengasihan Tuhan ialah menganugrahkan Lailatul Qadr di dalam bulan Ramadlan (secara harfiyah: penghancur, penghangus). Setelah 11 bulan hambanya terasing di dalam kehidupan yang kering dan penuh dengan suasana pertarungan (power struggle), maka rahasia yang terkandung dalam lailatu Qadr diharapkan mengajak kita untuk kembali ke kampunghalaman rohani, yang basah, sejuk, lembut, dan damai. Lailatul Qadr ibarat oase di tengah padang pasir, memberikan kepuasan batin kepada kafilah yang sedang berjalan menuju Tuhannya. Lailatul Qadr adalah manifestasi dari rahmaniyah dan rahimiyah Tuhan yang tidak boleh disia-siakan.
Sumber :
http://www.psq.or.id/artikel_detail.asp?mnid=41&id=127
(Ditulis sendiri oleh Ustadz Nasaruddin Umar).
Lailah dalam bahasa Arab mempunyai beberapa makna. Ada makna literal berarti malam, lawan dari siang (nahar); ada makna alegoris seperti gelap atau kegelapan, kesunyian, kesepian, keheningan, kesyahduan, kerinduan, dan kedamaian; ada makna anagogis (spiritual) seperti kekhusyukan (khusyu'), kepasrahan (tawakkal), kedektan (taqarrub) kepada Ilahi.
Dalam syair-syair klasik Arab, ungkapan lailah lebih banyak digunakan makna alegoris (majaz) ketimbang makna literalnya, seperti ungkapan syair seorang pengantin baru: Ya lalila thul, ya shubh qif (wahai malam bertambah panjanglah dan wahai subuh berhentilah). Kata laila di dalam bait itu berarti kesyahduan, keindahan, kenikmatan, dan kehangatan sebagaimana dirasakan oleh para pengantin baru.
Dalam syair-syair sufistik orang bijak (hukama) juga lebih banyak menekankan makna anagogis kata lailah. Para sufi lebih banyak menghabiskan waktu malamnya untuk mendaki menuju Tuhan, mereka berterima kasih kepada lailah (malam) yang selalu menemani kesendirian mereka. Perhatikan ungkapan Imam Syafi': Man thalab al-ula syahir al-layali (barangsiapa yang mendambakan martabat utama banyaklah berjaga di waktu malam). Kata al-layali di sini berarti keakraban dan kerinduan antara hamba dan Tuhannya.
Dalam Al-Qur'an, di antara ke 93 kata lail tidak sedikit di antaranya menunjukkan makna alegoris dan anagogis di samping makna literalnya. Di antara ayat yang menekankan makna anagogis kata lailah adalah sebagai berikut:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S. al-Isra'/17:1)
وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا
Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. (Q.S. al-Isra'/17:79)
كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ. وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). (Q.S. al-Dzariyat/51:17)
Kata lailah dalam ketiga ayat di atas mengisyaratkan malam sebagai rahasia untuk mencapai ketinggian dan martabat utama di sisi Allah Swt. Seolah-olah jarak spiritual antara hamba dengan Tuhan lebih pendek. Ini mengingatkan kita bahwa hampir semua prestasi puncak spiritual terjadi di malam hari. Ayat pertama (Q.S. al-'Alaq/96:1-5) di turunkan di malam hari, ayat-ayat tersebut sekaligus menandai pelantikan Muhammad Saw sebagai Nabi di malam hari. Tidak lama kemudian turun ayat dalam surah Al-Muddatstsir yang menandai pelantikan Nabi Muhammad sekaligus sebagai Rasul menurut kalangan ulama 'Ulumul Qur'an. Peristiwa Isra' dan Mi'raj, ketika seorang hamba mencapai puncak maksimum (sudrah al-muntaha) juga terjadi di malam hari. Yang tidak kalah pentingnya ialah lailah al-qadr khair min alf syahr (malam lailatul qadr lebih mulia dari ribuan tahun), bukannya siang hari Ramadlan (nahar al-qadr).
Makna Lailatul Qadr
Banyak versi para ulama tentang Lailatul Qadr. Ada yang mengatakan Lailatul Qadr terjadi hanya sekali saja yaitu ketika pertama turunnya. Selebihnya sampai sekarang hanya semacam ulang tahunnya yang juga tak kurang berkahnya. Versi lain Lailatul Qadr turun setiap tahun dalam bulan suci Ramadlan hingga akhir zaman, namun waktu pastinya dirahasiakan Allah Swt.
Yang pasti, Lailatul Qadr adalah suatu malam dalam makna simbolik atau anagogis. Lailatul Qadr merupakan suatu tanda (simbol) pencapaian prestasi spiritual seorang hamba dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Banyaknya hadis yang menganjurkan untuk banyak beribadah di malam hari pada malam-malam ganjil sepuluh terakhir bulan Ramadlan mengisyaratkan adanya berkah dan nilai-nilai keutamaan di malam hari. Malam hari di sini tentu tidak secara eksak menunjuk kepada fakta, tetapi lebih kepada kekuatan simbol atau pada makna esoteriknya. Malam hari di Mekkah siang hari di belahan bumi lain. Indonesia misalnya berselisih 12 jam dengan Amerika serikat. Ketika umat Islam Indonesia melakukan berbagai mujahadah di malam hari Ramadlan, Amerika Serikat masih sibuk dengan urusan siangnya. Bagaimana misalnya dengan kota St Piter Berg, di wilayah Rusia, yang dalam musim tertentu malam harinya hanya satu jam?
Oleh karena itu, makna esoterik Lailatul Qadr lebih utama untuk diperkenalkan ketimbang fakta malamnya. Boleh jadi seorang hamba merasahan keheningan, kefakuman, dan kekhusyukan justru di di tengah siang bolong; sementara ada hamba Tuhan lainnya merasakan malam harinya penuh kesibukan rasional, sehingga jiwa dan batin mereka tidak kurang aktif di malam hari, misalnya para wartawan yang dikejar deadline, para penjaga malam yang harus mengawasi keamanan disekitar wilayahnya. Boleh jadi mereka siang hari adalah malam spiritualnya.
Pemaknaan satu kata dapat dilihat dari makna eksoterik dan makna esoteric. Makna eksoterik lebih merujuk kepada fakta sesuatu sedangkan makna esoterik lebih merujuk kepada apa yang di balik atau lebih dalam dari sekedar fakta itu.
Jika Lailatul Qadr ditekankan pada makna esoteriknya, misalnya lebih menekankan pada aspek waktu malamnya, maka kemungkinan hakekat, tujuan, atau hikmah lebih besar dari Lailatul Qadr tidak akan dicapai secara maksimum. Akan tetapi jika yang ditekankan adalah makna esoteriknya, misalnya keheningan, kesyahduan, kekhusyukan, dan kedekatan, maka kemungkinan Lailatul Qadr akan memberikan bekas dan kesan lebih lama di dalam diri seseorang.
Salah satu makna esoterik lailah adalah kelembutan, kepasrahan (femininity) dan kasih tulus (nurturing). Sedangkan siang (nahar) sering dimaknai kebalikannya sebagai ketegaran, kejantanan (masculinity), dan kekuatan (struggeling). Upaya mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah swt lebih efektif melalui pendekatan kepasrahan dan kelembutan (motion) ketimbang melalui pendekatan ketegaran dan intelek (ratio). Malam sering dilukiskan dengan emosi dan siang dilukiskan dengan rasio. Dari perspektif ini terdapat isyarat kuat bahwa Lailatul Qadr adalah malam yang memiliki keunggulan (the power of night).
Kualitas feminine lebih kuat daripada kekuatan masculine.
Allah Swt, sebagaimana dapat dilihat di dalam 99 namanya (al-asma' al-husna), lebih dominan menampilkan sifat-sifat feminin (the mother God) ketimbang sifat-sifat maskulin (the father God). Di antara 99 nama tersebut lebih dari 70 % mengisyaratkan sifat-sifat feminin. Istimewanya lagi, yang paling sering disebutkan berulang-ulang dan hampir mewarnai halaman demi halaman Al-Qur'an adalah nama-nama feminin-Nya, sementara nama-nama maskulin jarang ditemukan. Bandingkan misalnya kata al-Rahim (Yang Maha Penyayang) terulang sebanyak 114 kali, sementara al-Muntaqim (Yang maha Pendendam), dan al-Mutakabbir (Yang Maha Angkuh) hanya sekali terulang. Kita hanya menemukan satu-satunya redaksi basmalah dalam Al-Qur'an, yaitu: Bismillah al-Rahman al-Rahim (Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Kita tidak pernah menemukan misalnya bismillah al-Qawiy al-Jabbar (Dengan nama Allah Yang Maha Kuat lagi Maha Pemaksa), meskipun kata yang kedua juga merupakan nama dan sifat Allah Swt.
Dalam perspektif tasawuf, nama-nama indah Tuhan bukan hanya menunjukkan sifat-sifat Tuhan, tetapi juga menjadi titik masuk (entry point) untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada-Nya. Setiap orang dapat mengakses dan mengidentifikasikan diri dengan nama-nama tersebut. Seseorang yang pernah berlumuran dosa lalu sadar, dapat menghibur diri dan membangun rasa percaya diri dengan mengidentifikasi diri dengan nama al-Gafur (Maha Pengampun) dan al-Tawwab (Maha Penerima Taubat), sehingga yang bersangkutan tetap mempunyai harapan dan tidak perlu kehilangan semangat hidup.
Salah satu bentuk kemahapengasihan Tuhan ialah menganugrahkan Lailatul Qadr di dalam bulan Ramadlan (secara harfiyah: penghancur, penghangus). Setelah 11 bulan hambanya terasing di dalam kehidupan yang kering dan penuh dengan suasana pertarungan (power struggle), maka rahasia yang terkandung dalam lailatu Qadr diharapkan mengajak kita untuk kembali ke kampunghalaman rohani, yang basah, sejuk, lembut, dan damai. Lailatul Qadr ibarat oase di tengah padang pasir, memberikan kepuasan batin kepada kafilah yang sedang berjalan menuju Tuhannya. Lailatul Qadr adalah manifestasi dari rahmaniyah dan rahimiyah Tuhan yang tidak boleh disia-siakan.
Sumber :
http://www.psq.or.id/artikel_detail.asp?mnid=41&id=127
(Ditulis sendiri oleh Ustadz Nasaruddin Umar).
10 Oktober 7 Tahun yang Lalu (Bagian I)
Posted by
Fakhrudin Aziz Sholichin
on Oct 10, 2006
/
Comments: (7)
Seumur hidup, mungkin saya tidak akan melupakan tanggal dan bulan itu. Bukan karena keramat tentunya. Hari itu saya merasa berada di titik zero ketika Allah SWT memberikan cobaan yang begitu berat. Iya, saya mengalami kecelakaan lalu-lintas di kawasan Abdurrasul, Kairo, yang mengakibatkan 2 temanku meninggal dunia.
Kejadian ini sekaligus mengawali kisahku menimba ilmu di Negeri Seribu Menara yang sekarang sudah memasuki tahun ke-8. Luka di bagian lengan kanan dan kepalaku serta baju kotak-kotak warna cokelat yang sudah kumuseumkan, menjadi saksi tragedi itu....
Sore itu, saya diajak Fulan (alm.) mencari makan siang. Karena tutup, kita balik pulang. Dalam perjalanan, saya sempat mengutarakan keinginan membeli meja belajar. Maklum, sebagai calon mahasiswa yang baru 2 bulan di Kairo, saya bermaksud membeli meja untuk keperluan studi. Dia pun mengiyakan dan menawari untuk menyewa mobil. Setelah saya diskusikan dengan kawan-kawan yang lain, kita pun sepakat untuk menyewa mobil dan segera menuju ke pasar Attabah.
Setelah meja didapat, kita segera pulang dan mengembalikan mobil karena waktu sewanya sudah habis. Karena ada hal tertinggal yang hendak dibeli, kita memutuskan untuk memperpanjang sewa. Sepanjang perjalanan, tidak ada firasat apapun yang kita rasakan. Secara tekhnis, mobil dalam keadaan baik tanpa gangguan. Canda tawa menyelimuti detik-detik akhir yang menegangkan itu.
Saat itu kita tengah melewati kawasan Masakin Utsman dan belok ke arah Abdurrasul untuk menuju Rabeah Square.
Karena jalur menuju Rabeah macet, kita mengambil jalan pintas yang aksesnya lebih mudah. Begitu mobil belok ke kanan, datang mobil lain dari arah yang sama dan sempat menyenggol bodi belakang. Dagggg !!!!. Karena bodi kecil, mobil pun oleng dan membentur trotoar. Pyarrrrr !!!. kaca depan pecah dan mengenai kepala saya.
Itulah saat akhir saya sadar. Entah berapa menit kemudian, saya sadar terbaring di trotoar, dilingkari police line berwarna kuning. Sempat siuman, saya langsung bangkit ditengah kerumunan masa, polisi dan ambulan.
Begitu saya dapati mobil remuk terjungkal di rel kereta, perlahan-lahan saya mulai mengingat apa yang baru terjadi. Ketika melihat 3 orang kawan saya tergolek tak sadarkan diri, rasanya kaki sudah tidak kuat menyanggah tubuh. Brak!!!, saya tersungkur jatuh di trotoar beraspal itu. Ya Allah...tolong hamba-Mu ini. Saya menangis dalam sedih. Sedih karena harus menerima ujian ini disaat jauh dari keluarga.
Tak lama kemudian, kami dibawa ambulance. Alangkah kagetnya ketika saya dalam keadaan sadar, dibaringkan dalam satu ambulance dengan kawan saya yang mengaami luka parah. Iiih..saya melihat mukanya membiru dan darah segar mengucur dari hidung dan telinganya.
Begitu sampai di rumah sakit Ta’min Sihy, kami langsung di bawa ke Unit Gawat Darurat. Setelah mendapatkan suntikan infus, badanku terasa agak mending. Di sinilah pertama kali saya dipisahkan dengan kawan-kawan karena harus mendapatkan perawatan intensif. Dengan bantuan telepon genggam milik salah seorang polisi, saya menghubungi kawan dan memintanya segera ke rumah sakit.
Hampir satu jam saya dibiarkan tanpa perawatan. Saya dimasukkan ke ruangan tua yang agak kumuh. Di saat itu, saya mengerang kesakitan karena hentakan benda keras di bagian dada. Jangankan menangis, untuk sekedar menarik-mengeluarkan nafas saja sakit.
Dalam tangis itu, saya memohon, “Ya Allah, kalau Engkau hendak menjemputku saat ini, tabahkanlah keluargaku.
Ampunilah dosa-dosaku”, rintihku dalam sepi. Tak terasa mata terpejam entah berapa lama. Tiba-tiba, saya terbangun ketika seorang suster mendorong kasur roda ke suatu kamar.
Esoknya....
Saya terbangun linglung pukul 06.00 Waktu Kairo. Ini hari pertama di rumah sakit. Selang infus masih terpasang di badan, tapi haus dan lapar tak tertahankan. Salah seorang pasien nampaknya kasihan melihat tubuhku tergolek tanpa seorang teman. Dia pun menawari sebotol air putih dan kue. Ketika saya ditanya, “takhdzul fithor wala lisha (sudah sarapan belum)?”. Saya menggeleng. Belakangan saya baru tahu bahwa saya memang tidak mendapatkan jatah makan sebagaimana pasien-pasien yang lain. Kenapa? (Bersambung..)
Kejadian ini sekaligus mengawali kisahku menimba ilmu di Negeri Seribu Menara yang sekarang sudah memasuki tahun ke-8. Luka di bagian lengan kanan dan kepalaku serta baju kotak-kotak warna cokelat yang sudah kumuseumkan, menjadi saksi tragedi itu....
Sore itu, saya diajak Fulan (alm.) mencari makan siang. Karena tutup, kita balik pulang. Dalam perjalanan, saya sempat mengutarakan keinginan membeli meja belajar. Maklum, sebagai calon mahasiswa yang baru 2 bulan di Kairo, saya bermaksud membeli meja untuk keperluan studi. Dia pun mengiyakan dan menawari untuk menyewa mobil. Setelah saya diskusikan dengan kawan-kawan yang lain, kita pun sepakat untuk menyewa mobil dan segera menuju ke pasar Attabah.
Setelah meja didapat, kita segera pulang dan mengembalikan mobil karena waktu sewanya sudah habis. Karena ada hal tertinggal yang hendak dibeli, kita memutuskan untuk memperpanjang sewa. Sepanjang perjalanan, tidak ada firasat apapun yang kita rasakan. Secara tekhnis, mobil dalam keadaan baik tanpa gangguan. Canda tawa menyelimuti detik-detik akhir yang menegangkan itu.
Saat itu kita tengah melewati kawasan Masakin Utsman dan belok ke arah Abdurrasul untuk menuju Rabeah Square.
Karena jalur menuju Rabeah macet, kita mengambil jalan pintas yang aksesnya lebih mudah. Begitu mobil belok ke kanan, datang mobil lain dari arah yang sama dan sempat menyenggol bodi belakang. Dagggg !!!!. Karena bodi kecil, mobil pun oleng dan membentur trotoar. Pyarrrrr !!!. kaca depan pecah dan mengenai kepala saya.
Itulah saat akhir saya sadar. Entah berapa menit kemudian, saya sadar terbaring di trotoar, dilingkari police line berwarna kuning. Sempat siuman, saya langsung bangkit ditengah kerumunan masa, polisi dan ambulan.
Begitu saya dapati mobil remuk terjungkal di rel kereta, perlahan-lahan saya mulai mengingat apa yang baru terjadi. Ketika melihat 3 orang kawan saya tergolek tak sadarkan diri, rasanya kaki sudah tidak kuat menyanggah tubuh. Brak!!!, saya tersungkur jatuh di trotoar beraspal itu. Ya Allah...tolong hamba-Mu ini. Saya menangis dalam sedih. Sedih karena harus menerima ujian ini disaat jauh dari keluarga.
Tak lama kemudian, kami dibawa ambulance. Alangkah kagetnya ketika saya dalam keadaan sadar, dibaringkan dalam satu ambulance dengan kawan saya yang mengaami luka parah. Iiih..saya melihat mukanya membiru dan darah segar mengucur dari hidung dan telinganya.
Begitu sampai di rumah sakit Ta’min Sihy, kami langsung di bawa ke Unit Gawat Darurat. Setelah mendapatkan suntikan infus, badanku terasa agak mending. Di sinilah pertama kali saya dipisahkan dengan kawan-kawan karena harus mendapatkan perawatan intensif. Dengan bantuan telepon genggam milik salah seorang polisi, saya menghubungi kawan dan memintanya segera ke rumah sakit.
Hampir satu jam saya dibiarkan tanpa perawatan. Saya dimasukkan ke ruangan tua yang agak kumuh. Di saat itu, saya mengerang kesakitan karena hentakan benda keras di bagian dada. Jangankan menangis, untuk sekedar menarik-mengeluarkan nafas saja sakit.
Dalam tangis itu, saya memohon, “Ya Allah, kalau Engkau hendak menjemputku saat ini, tabahkanlah keluargaku.
Ampunilah dosa-dosaku”, rintihku dalam sepi. Tak terasa mata terpejam entah berapa lama. Tiba-tiba, saya terbangun ketika seorang suster mendorong kasur roda ke suatu kamar.
Esoknya....
Saya terbangun linglung pukul 06.00 Waktu Kairo. Ini hari pertama di rumah sakit. Selang infus masih terpasang di badan, tapi haus dan lapar tak tertahankan. Salah seorang pasien nampaknya kasihan melihat tubuhku tergolek tanpa seorang teman. Dia pun menawari sebotol air putih dan kue. Ketika saya ditanya, “takhdzul fithor wala lisha (sudah sarapan belum)?”. Saya menggeleng. Belakangan saya baru tahu bahwa saya memang tidak mendapatkan jatah makan sebagaimana pasien-pasien yang lain. Kenapa? (Bersambung..)
Persimpangan (The Rain)
Posted by
Fakhrudin Aziz Sholichin
on Oct 9, 2006
/
Comments: (2)
Kini tiba saatnya untuk merenungkan
Apa ini yang memang kita inginkan
Saatnya untuk mencari di segenap penjuru hati
Apa kita mau menerima yang kita punya
Apa adanya
Sanggupkah kita saling meredam
Ataukah hanya saling bertahan
Sanggupkah kita saling memaafkan
Ataukah hanya saling menyalahkan
Akhirnya kita temukan pahitnya persimpangan
Dan harus tetapkan arah tujuan
Terpenjara oleh ego yang semakin tinggi menjulang
Saat harga diri seolah segalanya
Mahal harganya
Apa ini yang memang kita inginkan
Saatnya untuk mencari di segenap penjuru hati
Apa kita mau menerima yang kita punya
Apa adanya
Sanggupkah kita saling meredam
Ataukah hanya saling bertahan
Sanggupkah kita saling memaafkan
Ataukah hanya saling menyalahkan
Akhirnya kita temukan pahitnya persimpangan
Dan harus tetapkan arah tujuan
Terpenjara oleh ego yang semakin tinggi menjulang
Saat harga diri seolah segalanya
Mahal harganya
Mencicipi Sup Buntut sebelum Check Out
Posted by
Fakhrudin Aziz Sholichin
on Oct 8, 2006
/
Comments: (0)
Catatan Perjalanan Menghadiri ICIS II di Jakarta (Habis)
Pas acara dinner ini, praktis tidak ada dialog. Kita saling membisu, tenggelam oleh suguhan Kiyahi Kanjeng dan alunan biola Idris Sardi. Malam ini, saya lebih asyik ngobrol dengan kawan-kawan delegasi dari NU Luar Negeri. Banyak kisah yang kita dapatkan. Kawan-kawan dari Eropa, Afrika, Timur-Tengah dan sebagainya, menceritakan bagaimana suka-duka 'ngopeni' NU di Luar Negeri. Ini memberikan pengalaman baru bagi kami.
Esoknya, agenda dilanjutkan dengan kunjungan ke Institut Pertanian Bogor (IPB). Saya dan Jamal sengaja tidak ikut karena sudah kadung janji dengan beberapa media yang hendak mewawancarainya. Maklum saja, saya punya tugas ganda; bawain tas, gandeng, bukain lift, membangunkan dari tidur, ikut membantu rekan mengatur jadwal wawancara dengan berbagai media (dari tanggal 21-23 Juni siang), sampai dengan urusan tekhnis yang kecil-kecil. Kesibukan ini begitu mengasyikkan.
Praktis, selepas Dzuhur, semua wawancara terselesaikan.
Kami pun segera mengemasi barang untuk persiapan check out. Sambil nunggu reimburse,
seorang kawan mentraktir sup buntut di salah satu cafe di lobi hotel Borobudur, yang konon -kata Bondan Winarno- memiliki aroma rasa yang tak terkalahkan. Luar biasa!. Bagi saya, bukan cuma aroma rasanya saja, tapi gratisnya yang lebih luar biasa hehe.
Tepat pukul 16.00 WIB, kami check out dan berpamitan dengan segenap panitia. Dengan mobil yang sudah disediakan, kami segera menuju Bandara Soekarno Hatta. Di sini, saya berpisah dengan Jamal. Saya turun di terminal domestik karena harus melanjutkan 'misi' melepas kangen bersama keluarga, sedangkan beliau langsung menuju terminal Internasional karena 2 jam lagi pesawat take off.
Setelah menempuh penerbangan selama 1 jam, pukul 21.00 WIB saya sampai di Semarang dan bertemu dengan keluarga. Sudah dech. Pokoknya semua rasa kangen dan air mata, tumplek blek jadi satu.
Pas acara dinner ini, praktis tidak ada dialog. Kita saling membisu, tenggelam oleh suguhan Kiyahi Kanjeng dan alunan biola Idris Sardi. Malam ini, saya lebih asyik ngobrol dengan kawan-kawan delegasi dari NU Luar Negeri. Banyak kisah yang kita dapatkan. Kawan-kawan dari Eropa, Afrika, Timur-Tengah dan sebagainya, menceritakan bagaimana suka-duka 'ngopeni' NU di Luar Negeri. Ini memberikan pengalaman baru bagi kami.
Esoknya, agenda dilanjutkan dengan kunjungan ke Institut Pertanian Bogor (IPB). Saya dan Jamal sengaja tidak ikut karena sudah kadung janji dengan beberapa media yang hendak mewawancarainya. Maklum saja, saya punya tugas ganda; bawain tas, gandeng, bukain lift, membangunkan dari tidur, ikut membantu rekan mengatur jadwal wawancara dengan berbagai media (dari tanggal 21-23 Juni siang), sampai dengan urusan tekhnis yang kecil-kecil. Kesibukan ini begitu mengasyikkan.
Praktis, selepas Dzuhur, semua wawancara terselesaikan.
Kami pun segera mengemasi barang untuk persiapan check out. Sambil nunggu reimburse,
seorang kawan mentraktir sup buntut di salah satu cafe di lobi hotel Borobudur, yang konon -kata Bondan Winarno- memiliki aroma rasa yang tak terkalahkan. Luar biasa!. Bagi saya, bukan cuma aroma rasanya saja, tapi gratisnya yang lebih luar biasa hehe.
Tepat pukul 16.00 WIB, kami check out dan berpamitan dengan segenap panitia. Dengan mobil yang sudah disediakan, kami segera menuju Bandara Soekarno Hatta. Di sini, saya berpisah dengan Jamal. Saya turun di terminal domestik karena harus melanjutkan 'misi' melepas kangen bersama keluarga, sedangkan beliau langsung menuju terminal Internasional karena 2 jam lagi pesawat take off.
Setelah menempuh penerbangan selama 1 jam, pukul 21.00 WIB saya sampai di Semarang dan bertemu dengan keluarga. Sudah dech. Pokoknya semua rasa kangen dan air mata, tumplek blek jadi satu.
Saat Makan Siang Ketemu 'Kiyahi Penampakan'
Posted by
Fakhrudin Aziz Sholichin
on Oct 5, 2006
/
Comments: (2)
Catatan Perjalanan Menghadiri ICIS II di Jakarta (Bagian IV)
“Ya Ustadz, Rois gai ahoo (Tuh Presiden dah datang)?”, kataku kepada Jamal. “Balasy Rois (bodo amat)!”, ketusnya. Sebagaimana aturan protokoler, ketika Presiden datang, maka semua hadirin berdiri. Tampak duduk di sebelah SBY, Abdullah Badawi (PM Malaysia), Pangeran Ghozi (Utusan Putra Mahkota Jordan), Maftuh Basyuni (Menag), Fauzi Bowo (Wagub DKI Jakarta) dan KH. Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU). Acara dilanjutkan dengan nyanyian lagu Indonesia Raya dan semua hadirin dimohon berdiri. Jamal pun ikut berdiri meski harus diam seribu bahasa ketika peserta konferensi -yang mayoritas warga Indonesia- menyanyikan lagu karangan WR. Supratman itu.
Ketika SBY menuju panggung untuk menyampaikan pidato, Jamal pun berkomentar; “Eih dza ya Susilu!” (Mau ngapain lagi ini). Saya tertawa kecil melihatnya menggerutu. Nampaknya dia masih jengkel lantaran acara molor beberapa jam. Jamal yang saya kenal, orangnya disiplin dan kritis.
Setelah SBY berpidato, saya lihat Jamal manggut-manggut menyimak pidato dalam bahasa Inggris itu. “Eih ro’yak (Gimana pendapatmu)?”, tanyaku. “Kuwais ya Fakhriddin (bagus)”, jawabnya singkat dan sok cool sambil memelototin naskah pidato yang telah dibagikan panitia. Semoga dia puas dengan pidato itu. Itung-itung, kompensasi dia nunggu. Usai pidato, SBY dengan ditemani KH. Hasyim Muzadi, Rozy Munir (Sekjen ICIS), Fauzi Bowo, menabuh gong tanda ICIS II dibuka. Tepuk tangan riuh menggema di ruangan lux berkapasitas 2000 orang itu.
Setelah acara break, Jamal minta diantar ke kamar karena harus meladeni beberapa wartawan yang hendak mewawancarainya. Saya pun kembali ke Galaria Flores Room untuk mengikuti sesi pertama yang dipresentasikan oleh Pak Lah –Panggilan akrab Abdullah Badawi-. Hadir pada kesempatan tersebut, Megawati Soekarnoputri (mantan Presiden RI), yang konon datang ke tempat acara beberapa saat setelah SBY dan rombongan meninggalkan tempat. Kenapa?.... Sudahlah, saya tidak hendak ngubek-ubek urusan kaum elit ini. Terus terang, fenomena menarik ini menyisakan tanda tanya besar bagi saya.
Pukul 11.00 WIB, saya dan Jamal mulai ikut aktif dalam diskusi per-komisi. Kami masuk Working Group III (Economic, Social dan Educational Movement; Strategy for change). Pada sesi pertama, kami mengikuti presentasi yang disampaikan oleh Syafii Antonio. Pada sesi ini Jamal sempat walk-out dari ruangan karena merasa moderator tidak memberikan kesempatan bicara. Ujung-ujungnya, masalah ini beliau ungkapkan pada sebuah surat yang ditujukan kepada KBRI Mesir dan PBNU.
Ketika acara makan siang bersama Maftuch Basyuni, Menteri Agama, ada kisah menarik. Saat itu, saya duduk bersebelahan dengan Jamal. Tiba-tiba, ada seorang peserta ICIS -dari LSM bonafit di Indonesia- datang dan duduk di kursi sebelah saya yang kebetulan kosong. Setelah dengan pe-de memperkenalkan diri, dia tanya, “Eh Mas, loe dari mana?”. “Kairo. Kenapa Pak?”, tanyaku penasaran. “Mmm, loe di Kairo ngapain aja. Kerja?”, tanyanya ketus sambil memperlihatkan mimik yang ngga ngenakin. Saya sudah ngga semangat meladeni pertanyaan konyol itu. Maklum, mungkin dia sudah merasa jadi orang besar. “Saya mahasiswa program master di Mesir yang kebetulan diundang untuk hadir di ICIS”, jawabku ketus sambil menikmati sup ayam. “Oo mahasiswa tho. Sorry, kirain pegawai kedutaan”.
Dia pun semakin nerocos dan ngasih lips service yang ngga jelas jluntrungnya. Sayang, saya bukan tipe orang yang gampang terbuai dengan yang begituan. Setelah mengenalkan diri, “Nama saya KH.....”, dia pun menyodorkan kartu namanya. Tanpa saya baca, saya masukkan ke dalam saku jas. Ketika dia nanya nomor kontak di Kairo, saya bilang; “Maaf Pak, saya lupa nomornya. Tapi kalau Bapak ada perlu, bisa kirim ke email”. Saya pengin jual mahal dengan orang tipe yang beginian. “Boleh, mana emailnya”, tanyanya. “Nanti aja Pak saya kirim ke email Bapak”, jawabku. “Kartu nama ada?”, lanjut dia. “Maaf Pak sudah habis pas pembukaan tadi”. Hehehe. Padahal saya ngga bawa kartu nama. Saya hanya ngasih pelajaran, biar orang ngga congkak. Dari pembawaannya saja sudah sok-sokan. Kalau kita gampang dimainin, diri kita menjadi tidak berharga.
Setelah di kamar, saya cerita ama kawan-kawan yang kebetulan aktifis di beberapa LSM di Jakarta. Mereka pada ketawa dengarnya. “Wah Ziz, kalau gue yang digetuin, udah gue damprat. Orang Jakarta tahu siapa dia. Ngga usah sok-sokan getu dong”. Saya heran. Feeling saya nampaknya tepat. Belakangan, saya tahu siapa dia sebenarnya. Sumbernya terpercaya; Gus Mus. Rupanya, dia adalah kiyahi jadi-jadian dengan modal kartu nama dan sorban warna hijau. Bahkan, pada suatu hari dia pernah marah kepada seorang wartawan gara-gara si wartawan lupa menuliskan KH (Kiyahi Haji) di depan nama dia. “hihihihihi”, ketawaku dalam hati. Dasar kiyahi penampakan.
Sehari kemudian, saya ketemu dengan dia dalam jamuan makan malam bersama Soegiharto, Menteri BUMN. Ingin rasanya menghindar dari dia, tapi apa daya. (bersambung)
“Ya Ustadz, Rois gai ahoo (Tuh Presiden dah datang)?”, kataku kepada Jamal. “Balasy Rois (bodo amat)!”, ketusnya. Sebagaimana aturan protokoler, ketika Presiden datang, maka semua hadirin berdiri. Tampak duduk di sebelah SBY, Abdullah Badawi (PM Malaysia), Pangeran Ghozi (Utusan Putra Mahkota Jordan), Maftuh Basyuni (Menag), Fauzi Bowo (Wagub DKI Jakarta) dan KH. Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU). Acara dilanjutkan dengan nyanyian lagu Indonesia Raya dan semua hadirin dimohon berdiri. Jamal pun ikut berdiri meski harus diam seribu bahasa ketika peserta konferensi -yang mayoritas warga Indonesia- menyanyikan lagu karangan WR. Supratman itu.
Ketika SBY menuju panggung untuk menyampaikan pidato, Jamal pun berkomentar; “Eih dza ya Susilu!” (Mau ngapain lagi ini). Saya tertawa kecil melihatnya menggerutu. Nampaknya dia masih jengkel lantaran acara molor beberapa jam. Jamal yang saya kenal, orangnya disiplin dan kritis.
Setelah SBY berpidato, saya lihat Jamal manggut-manggut menyimak pidato dalam bahasa Inggris itu. “Eih ro’yak (Gimana pendapatmu)?”, tanyaku. “Kuwais ya Fakhriddin (bagus)”, jawabnya singkat dan sok cool sambil memelototin naskah pidato yang telah dibagikan panitia. Semoga dia puas dengan pidato itu. Itung-itung, kompensasi dia nunggu. Usai pidato, SBY dengan ditemani KH. Hasyim Muzadi, Rozy Munir (Sekjen ICIS), Fauzi Bowo, menabuh gong tanda ICIS II dibuka. Tepuk tangan riuh menggema di ruangan lux berkapasitas 2000 orang itu.
Setelah acara break, Jamal minta diantar ke kamar karena harus meladeni beberapa wartawan yang hendak mewawancarainya. Saya pun kembali ke Galaria Flores Room untuk mengikuti sesi pertama yang dipresentasikan oleh Pak Lah –Panggilan akrab Abdullah Badawi-. Hadir pada kesempatan tersebut, Megawati Soekarnoputri (mantan Presiden RI), yang konon datang ke tempat acara beberapa saat setelah SBY dan rombongan meninggalkan tempat. Kenapa?.... Sudahlah, saya tidak hendak ngubek-ubek urusan kaum elit ini. Terus terang, fenomena menarik ini menyisakan tanda tanya besar bagi saya.
Pukul 11.00 WIB, saya dan Jamal mulai ikut aktif dalam diskusi per-komisi. Kami masuk Working Group III (Economic, Social dan Educational Movement; Strategy for change). Pada sesi pertama, kami mengikuti presentasi yang disampaikan oleh Syafii Antonio. Pada sesi ini Jamal sempat walk-out dari ruangan karena merasa moderator tidak memberikan kesempatan bicara. Ujung-ujungnya, masalah ini beliau ungkapkan pada sebuah surat yang ditujukan kepada KBRI Mesir dan PBNU.
Ketika acara makan siang bersama Maftuch Basyuni, Menteri Agama, ada kisah menarik. Saat itu, saya duduk bersebelahan dengan Jamal. Tiba-tiba, ada seorang peserta ICIS -dari LSM bonafit di Indonesia- datang dan duduk di kursi sebelah saya yang kebetulan kosong. Setelah dengan pe-de memperkenalkan diri, dia tanya, “Eh Mas, loe dari mana?”. “Kairo. Kenapa Pak?”, tanyaku penasaran. “Mmm, loe di Kairo ngapain aja. Kerja?”, tanyanya ketus sambil memperlihatkan mimik yang ngga ngenakin. Saya sudah ngga semangat meladeni pertanyaan konyol itu. Maklum, mungkin dia sudah merasa jadi orang besar. “Saya mahasiswa program master di Mesir yang kebetulan diundang untuk hadir di ICIS”, jawabku ketus sambil menikmati sup ayam. “Oo mahasiswa tho. Sorry, kirain pegawai kedutaan”.
Dia pun semakin nerocos dan ngasih lips service yang ngga jelas jluntrungnya. Sayang, saya bukan tipe orang yang gampang terbuai dengan yang begituan. Setelah mengenalkan diri, “Nama saya KH.....”, dia pun menyodorkan kartu namanya. Tanpa saya baca, saya masukkan ke dalam saku jas. Ketika dia nanya nomor kontak di Kairo, saya bilang; “Maaf Pak, saya lupa nomornya. Tapi kalau Bapak ada perlu, bisa kirim ke email”. Saya pengin jual mahal dengan orang tipe yang beginian. “Boleh, mana emailnya”, tanyanya. “Nanti aja Pak saya kirim ke email Bapak”, jawabku. “Kartu nama ada?”, lanjut dia. “Maaf Pak sudah habis pas pembukaan tadi”. Hehehe. Padahal saya ngga bawa kartu nama. Saya hanya ngasih pelajaran, biar orang ngga congkak. Dari pembawaannya saja sudah sok-sokan. Kalau kita gampang dimainin, diri kita menjadi tidak berharga.
Setelah di kamar, saya cerita ama kawan-kawan yang kebetulan aktifis di beberapa LSM di Jakarta. Mereka pada ketawa dengarnya. “Wah Ziz, kalau gue yang digetuin, udah gue damprat. Orang Jakarta tahu siapa dia. Ngga usah sok-sokan getu dong”. Saya heran. Feeling saya nampaknya tepat. Belakangan, saya tahu siapa dia sebenarnya. Sumbernya terpercaya; Gus Mus. Rupanya, dia adalah kiyahi jadi-jadian dengan modal kartu nama dan sorban warna hijau. Bahkan, pada suatu hari dia pernah marah kepada seorang wartawan gara-gara si wartawan lupa menuliskan KH (Kiyahi Haji) di depan nama dia. “hihihihihi”, ketawaku dalam hati. Dasar kiyahi penampakan.
Sehari kemudian, saya ketemu dengan dia dalam jamuan makan malam bersama Soegiharto, Menteri BUMN. Ingin rasanya menghindar dari dia, tapi apa daya. (bersambung)
Jetlag di Malam Pertama
Posted by
Fakhrudin Aziz Sholichin
on Oct 1, 2006
/
Comments: (6)
Catatan perjalanan menghadiri ICIS II di Jakarta (Bagian III)
Pesawat Emirates EK 346 yang kami tumpangi lepas landas menuju Jakarta via Malaysia pada pukul 03.10 Waktu Dubai. Dari awal, saya sudah berencana akan menghabiskan perjalanan selama 10 jam itu untuk tidur. Istirahat 3 jam di Dubai, saya manfaatkan untuk jalan-jalan sekitar Duty Free Shop yang terletak di lantai satu. Ngga beli sich, cuman lihat-lihat yang sawangable. Iya...setelah ¼ jam mengudara, saya terlelap dibalik selimut tebal yang disediakan pesawat. Begitu juga penumpang yang lain. Praktis, malam pun hening.
Saya terbangun ketika seorang pramugari menawarkan dinner. “Excuse me, fish or chicken?’, tanya pramugari itu dengan lembut. “Fish”, jawabku singkat. 1 box ikan, nasi basmati, salad, buah dan jus orange, kulahap abis tak tersisa. Ruangan ber-AC ditambah suhu udara yang dingin, membuat hidangan malam itu begitu nikmat. Apalagi diiringi old song yang kudengar lewat head-phone. Saya pun melanjutkan tidur. Lagi-lagi saya terbangun. Kali ini disebabkan goyangan pesawat yang terasa kencang karena cuaca yang kurang bersahabat di atas lautan Hindia. Tapi wajarlah. Ini yang membedakan jalur udara dengan tol Cikampek.
Setelah sebelumnya transit di Malaysia lebih kurang 1 jam, pesawat mendarat di Bandara Soekarno Hatta pukul 16.25 WIB. Beberapa saat sebelum mendarat, dari udara, saya tertegun melihat Pulau Seribu dan hijau Tanah Airku yang kutinggalkan hampir 7 tahun.
Pesawat pun mendarat.
Ketika keluar dari Aero Bridge, kami sudah dijemput oleh panitia dan selanjutnya beristirahat di ruangan VIP bersama rombongan lainnya. Saat itu kami berbarengan dengan rombongan President of Islamic Development Bank (IDB) Jeddah. Setelah urusan imigrasi dan bagasi lancar, kami memasuki bus yang disediakan oleh panitia menuju Hotel Borobudur, di mana konferensi akan diselenggarakan. Sepanjang perjalanan, saya melihat banyak sekali sepeda motor yang lalu-lalang melintas di jalan raya. Rasanya aneh memang bagi saya karena kadung terbiasa dengan pemandangan lalu lintas Mesir dimana sepeda motor jarang kita temukan. Warung-warung makan yang berjajar di sepanjang jalan, menjadi tontonan menarik tersendiri. Anyway, Indonesia dengan segala kelebihan dan kekurangannya, memberikan kesan yang spesial bagi saya yang telah lama merindukannnya.
Pukul 20.00 WIB, kami sampai di Hotel Borobudur. Setelah menyelesaikan registrasi dan check-in, kami segera masuk kamar untuk meletakkan barang bawaan kami dan kembali ke lobi. Karena pada waktu yang bersamaan, panitia mengagendakan dinner bersama Wapres Yusuf Kalla. Sepulang dari sana, saya segera rebahan di kasur menghabiskan malam pertama di Jakarta. Mungkin baru pertama, mata jetlag tidak mau dipejamkan. Kalau Jakarta pukul 23.00 WIB, berarti Kairo pukul 18.00 WK. Saya pun bangkit dan membuat kopi panas yang tersedia di mini bar. Ketika hendak merokok, tidak saya temukan asbak di kamar itu. “Jangan-jangan di sini ngga boleh ngerokok?”, gumamku. Eh...betul dugaan saya. Ketika telepon house keeping, ternyata kamar yang saya tempati di larang merokok. Tak apalah malam ini puasa dulu sambil menonton televisi. Tidak terasa jam menunjukkan pukul 03.30 WIB. "Wah gimana nich, besok khan musti ikut pembukaan". Kupaksakan mata untuk tidur. Sebelumnya, saya berondong sms ke Bapak, Kakak, dan Adik. Saya minta pukul 05.00 WIB mereka mbangunin saya. Sleeping away........
Esoknya (20/6), setelah breakfast di Cafe Bogor, saya bersama Jamal al-Banna menuju Galaria Flores Room mengikuti pembukaan International Conference of Islamic Scholars (ICIS) oleh Presiden SBY. Pembukaan acara bertajuk Upholding Islam As Rahmatan Lil Alamin Toward Global Justice and Peace yang sedianya dimulai pukul 10.00 WIB, terpaksa molor 2 jam karena menunggu kedatangan Presiden. Di sela-sela itu, saya sempat berbincang ringan dengan Husein Umar (Ketua DDI) dan Habib Riziq (Ketua FPI) –yang kebetulan bersebelahan- tentang isu-isu global nasional. Dari sini saya berkesimpulan bahwa ada perbedaan mendasar di antara kita dalam memandang sebuah fenomena dari perspektif agama. Tak apalah, perbedaan adalah rahmat.
Kalau saya bisa asyik ngobrol dengan mereka sambil menunggu SBY, tidak demikian dengan Jamal al-Banna. Beliau bahkan berkali-kali ingin meninggalkan ruangan. Sampai dia bilang, “Inilah akibatnya kalau kita nurut pemerintah”. “Memangnya acara ngga bisa jalan tanpa Presiden?”, gerutunya. “Brutukuliyyat musykilah kabiroh fi zamanina hadza, ya Ibni”, tambahnya. (Protokoler menjadi masalah besar untuk sekarang ini). Maklum, Jamal adalah pemikir besar yang agak ‘sentimentil’ terhadap pemerintah. Setelah saya pahamkan, beliau pun memakluminya.
Saya jadi teringat dengan cerita seorang tokoh Indonesia peserta seminar “Political Islam dan Peace”, yang diselenggarakan Komitea 100, sebuah LSM besar di Finlandia. Saat itu, acara on-time dibuka sesuai dengan tentatif yang telah ditentukan tanpa menunggu Menteri Luar Negeri yang sedianya membuka acara. Begitu sang Menlu datang, tidak ada sambutan khusus, entah dengan berdiri atau iringan lagu kebangsaan. Tapi, Menlu tersebut tetap diberi kesempatan pidato. Dalam pidatonya, dia minta maaf atas keterlambatannya karena dalam perjalanan, dia harus berdesak-desakan dengan penumpang lain menaiki kereta listrik. Menyadari dirinya terlambat, hanya 10 menit dia berdiri di podium. Selanjutnya, diapun pamit meninggalkan ruangan menuju stasiun untuk kembali ke kantornya. Sungguh egaliter.
Begitu rombongan Presiden SBY memasuki ruangan, anda tahu apa komentar Jamal?. (Bersambung...)
Pesawat Emirates EK 346 yang kami tumpangi lepas landas menuju Jakarta via Malaysia pada pukul 03.10 Waktu Dubai. Dari awal, saya sudah berencana akan menghabiskan perjalanan selama 10 jam itu untuk tidur. Istirahat 3 jam di Dubai, saya manfaatkan untuk jalan-jalan sekitar Duty Free Shop yang terletak di lantai satu. Ngga beli sich, cuman lihat-lihat yang sawangable. Iya...setelah ¼ jam mengudara, saya terlelap dibalik selimut tebal yang disediakan pesawat. Begitu juga penumpang yang lain. Praktis, malam pun hening.
Saya terbangun ketika seorang pramugari menawarkan dinner. “Excuse me, fish or chicken?’, tanya pramugari itu dengan lembut. “Fish”, jawabku singkat. 1 box ikan, nasi basmati, salad, buah dan jus orange, kulahap abis tak tersisa. Ruangan ber-AC ditambah suhu udara yang dingin, membuat hidangan malam itu begitu nikmat. Apalagi diiringi old song yang kudengar lewat head-phone. Saya pun melanjutkan tidur. Lagi-lagi saya terbangun. Kali ini disebabkan goyangan pesawat yang terasa kencang karena cuaca yang kurang bersahabat di atas lautan Hindia. Tapi wajarlah. Ini yang membedakan jalur udara dengan tol Cikampek.
Setelah sebelumnya transit di Malaysia lebih kurang 1 jam, pesawat mendarat di Bandara Soekarno Hatta pukul 16.25 WIB. Beberapa saat sebelum mendarat, dari udara, saya tertegun melihat Pulau Seribu dan hijau Tanah Airku yang kutinggalkan hampir 7 tahun.
Pesawat pun mendarat.
Ketika keluar dari Aero Bridge, kami sudah dijemput oleh panitia dan selanjutnya beristirahat di ruangan VIP bersama rombongan lainnya. Saat itu kami berbarengan dengan rombongan President of Islamic Development Bank (IDB) Jeddah. Setelah urusan imigrasi dan bagasi lancar, kami memasuki bus yang disediakan oleh panitia menuju Hotel Borobudur, di mana konferensi akan diselenggarakan. Sepanjang perjalanan, saya melihat banyak sekali sepeda motor yang lalu-lalang melintas di jalan raya. Rasanya aneh memang bagi saya karena kadung terbiasa dengan pemandangan lalu lintas Mesir dimana sepeda motor jarang kita temukan. Warung-warung makan yang berjajar di sepanjang jalan, menjadi tontonan menarik tersendiri. Anyway, Indonesia dengan segala kelebihan dan kekurangannya, memberikan kesan yang spesial bagi saya yang telah lama merindukannnya.
Pukul 20.00 WIB, kami sampai di Hotel Borobudur. Setelah menyelesaikan registrasi dan check-in, kami segera masuk kamar untuk meletakkan barang bawaan kami dan kembali ke lobi. Karena pada waktu yang bersamaan, panitia mengagendakan dinner bersama Wapres Yusuf Kalla. Sepulang dari sana, saya segera rebahan di kasur menghabiskan malam pertama di Jakarta. Mungkin baru pertama, mata jetlag tidak mau dipejamkan. Kalau Jakarta pukul 23.00 WIB, berarti Kairo pukul 18.00 WK. Saya pun bangkit dan membuat kopi panas yang tersedia di mini bar. Ketika hendak merokok, tidak saya temukan asbak di kamar itu. “Jangan-jangan di sini ngga boleh ngerokok?”, gumamku. Eh...betul dugaan saya. Ketika telepon house keeping, ternyata kamar yang saya tempati di larang merokok. Tak apalah malam ini puasa dulu sambil menonton televisi. Tidak terasa jam menunjukkan pukul 03.30 WIB. "Wah gimana nich, besok khan musti ikut pembukaan". Kupaksakan mata untuk tidur. Sebelumnya, saya berondong sms ke Bapak, Kakak, dan Adik. Saya minta pukul 05.00 WIB mereka mbangunin saya. Sleeping away........
Esoknya (20/6), setelah breakfast di Cafe Bogor, saya bersama Jamal al-Banna menuju Galaria Flores Room mengikuti pembukaan International Conference of Islamic Scholars (ICIS) oleh Presiden SBY. Pembukaan acara bertajuk Upholding Islam As Rahmatan Lil Alamin Toward Global Justice and Peace yang sedianya dimulai pukul 10.00 WIB, terpaksa molor 2 jam karena menunggu kedatangan Presiden. Di sela-sela itu, saya sempat berbincang ringan dengan Husein Umar (Ketua DDI) dan Habib Riziq (Ketua FPI) –yang kebetulan bersebelahan- tentang isu-isu global nasional. Dari sini saya berkesimpulan bahwa ada perbedaan mendasar di antara kita dalam memandang sebuah fenomena dari perspektif agama. Tak apalah, perbedaan adalah rahmat.
Kalau saya bisa asyik ngobrol dengan mereka sambil menunggu SBY, tidak demikian dengan Jamal al-Banna. Beliau bahkan berkali-kali ingin meninggalkan ruangan. Sampai dia bilang, “Inilah akibatnya kalau kita nurut pemerintah”. “Memangnya acara ngga bisa jalan tanpa Presiden?”, gerutunya. “Brutukuliyyat musykilah kabiroh fi zamanina hadza, ya Ibni”, tambahnya. (Protokoler menjadi masalah besar untuk sekarang ini). Maklum, Jamal adalah pemikir besar yang agak ‘sentimentil’ terhadap pemerintah. Setelah saya pahamkan, beliau pun memakluminya.
Saya jadi teringat dengan cerita seorang tokoh Indonesia peserta seminar “Political Islam dan Peace”, yang diselenggarakan Komitea 100, sebuah LSM besar di Finlandia. Saat itu, acara on-time dibuka sesuai dengan tentatif yang telah ditentukan tanpa menunggu Menteri Luar Negeri yang sedianya membuka acara. Begitu sang Menlu datang, tidak ada sambutan khusus, entah dengan berdiri atau iringan lagu kebangsaan. Tapi, Menlu tersebut tetap diberi kesempatan pidato. Dalam pidatonya, dia minta maaf atas keterlambatannya karena dalam perjalanan, dia harus berdesak-desakan dengan penumpang lain menaiki kereta listrik. Menyadari dirinya terlambat, hanya 10 menit dia berdiri di podium. Selanjutnya, diapun pamit meninggalkan ruangan menuju stasiun untuk kembali ke kantornya. Sungguh egaliter.
Begitu rombongan Presiden SBY memasuki ruangan, anda tahu apa komentar Jamal?. (Bersambung...)