Makna Esoterik Lailatul Qadr

Lailatul Qadr adalah suatu malam dalam makna simbolik atau anagogis. Lailatul Qadr merupakan suatu tanda (simbol) pencapaian prestasi spiritual seorang hamba dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Malam hari di sini tentu tidak secara eksak menunjuk pada fakta, tetapi lebih pada kekuatan simbol atau makna esoteriknya.

Lailah dalam bahasa Arab mempunyai beberapa makna. Ada makna literal berarti malam, lawan dari siang (nahar); ada makna alegoris seperti gelap atau kegelapan, kesunyian, kesepian, keheningan, kesyahduan, kerinduan, dan kedamaian; ada makna anagogis (spiritual) seperti kekhusyukan (khusyu'), kepasrahan (tawakkal), kedektan (taqarrub) kepada Ilahi.

Dalam syair-syair klasik Arab, ungkapan lailah lebih banyak digunakan makna alegoris (majaz) ketimbang makna literalnya, seperti ungkapan syair seorang pengantin baru: Ya lalila thul, ya shubh qif (wahai malam bertambah panjanglah dan wahai subuh berhentilah). Kata laila di dalam bait itu berarti kesyahduan, keindahan, kenikmatan, dan kehangatan sebagaimana dirasakan oleh para pengantin baru.

Dalam syair-syair sufistik orang bijak (hukama) juga lebih banyak menekankan makna anagogis kata lailah. Para sufi lebih banyak menghabiskan waktu malamnya untuk mendaki menuju Tuhan, mereka berterima kasih kepada lailah (malam) yang selalu menemani kesendirian mereka. Perhatikan ungkapan Imam Syafi': Man thalab al-ula syahir al-layali (barangsiapa yang mendambakan martabat utama banyaklah berjaga di waktu malam). Kata al-layali di sini berarti keakraban dan kerinduan antara hamba dan Tuhannya.

Dalam Al-Qur'an, di antara ke 93 kata lail tidak sedikit di antaranya menunjukkan makna alegoris dan anagogis di samping makna literalnya. Di antara ayat yang menekankan makna anagogis kata lailah adalah sebagai berikut:

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ ءَايَاتِنَا إِنَّه هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Q.S. al-Isra'/17:1)


وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا


Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu: mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji. (Q.S. al-Isra'/17:79)


كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ. وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ


Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam; Dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah). (Q.S. al-Dzariyat/51:17)


Kata lailah dalam ketiga ayat di atas mengisyaratkan malam sebagai rahasia untuk mencapai ketinggian dan martabat utama di sisi Allah Swt. Seolah-olah jarak spiritual antara hamba dengan Tuhan lebih pendek. Ini mengingatkan kita bahwa hampir semua prestasi puncak spiritual terjadi di malam hari. Ayat pertama (Q.S. al-'Alaq/96:1-5) di turunkan di malam hari, ayat-ayat tersebut sekaligus menandai pelantikan Muhammad Saw sebagai Nabi di malam hari. Tidak lama kemudian turun ayat dalam surah Al-Muddatstsir yang menandai pelantikan Nabi Muhammad sekaligus sebagai Rasul menurut kalangan ulama 'Ulumul Qur'an. Peristiwa Isra' dan Mi'raj, ketika seorang hamba mencapai puncak maksimum (sudrah al-muntaha) juga terjadi di malam hari. Yang tidak kalah pentingnya ialah lailah al-qadr khair min alf syahr (malam lailatul qadr lebih mulia dari ribuan tahun), bukannya siang hari Ramadlan (nahar al-qadr).

Makna Lailatul Qadr

Banyak versi para ulama tentang Lailatul Qadr. Ada yang mengatakan Lailatul Qadr terjadi hanya sekali saja yaitu ketika pertama turunnya. Selebihnya sampai sekarang hanya semacam ulang tahunnya yang juga tak kurang berkahnya. Versi lain Lailatul Qadr turun setiap tahun dalam bulan suci Ramadlan hingga akhir zaman, namun waktu pastinya dirahasiakan Allah Swt.

Yang pasti, Lailatul Qadr adalah suatu malam dalam makna simbolik atau anagogis. Lailatul Qadr merupakan suatu tanda (simbol) pencapaian prestasi spiritual seorang hamba dalam upaya mendekatkan diri kepada Tuhan. Banyaknya hadis yang menganjurkan untuk banyak beribadah di malam hari pada malam-malam ganjil sepuluh terakhir bulan Ramadlan mengisyaratkan adanya berkah dan nilai-nilai keutamaan di malam hari. Malam hari di sini tentu tidak secara eksak menunjuk kepada fakta, tetapi lebih kepada kekuatan simbol atau pada makna esoteriknya. Malam hari di Mekkah siang hari di belahan bumi lain. Indonesia misalnya berselisih 12 jam dengan Amerika serikat. Ketika umat Islam Indonesia melakukan berbagai mujahadah di malam hari Ramadlan, Amerika Serikat masih sibuk dengan urusan siangnya. Bagaimana misalnya dengan kota St Piter Berg, di wilayah Rusia, yang dalam musim tertentu malam harinya hanya satu jam?

Oleh karena itu, makna esoterik Lailatul Qadr lebih utama untuk diperkenalkan ketimbang fakta malamnya. Boleh jadi seorang hamba merasahan keheningan, kefakuman, dan kekhusyukan justru di di tengah siang bolong; sementara ada hamba Tuhan lainnya merasakan malam harinya penuh kesibukan rasional, sehingga jiwa dan batin mereka tidak kurang aktif di malam hari, misalnya para wartawan yang dikejar deadline, para penjaga malam yang harus mengawasi keamanan disekitar wilayahnya. Boleh jadi mereka siang hari adalah malam spiritualnya.

Pemaknaan satu kata dapat dilihat dari makna eksoterik dan makna esoteric. Makna eksoterik lebih merujuk kepada fakta sesuatu sedangkan makna esoterik lebih merujuk kepada apa yang di balik atau lebih dalam dari sekedar fakta itu.

Jika Lailatul Qadr ditekankan pada makna esoteriknya, misalnya lebih menekankan pada aspek waktu malamnya, maka kemungkinan hakekat, tujuan, atau hikmah lebih besar dari Lailatul Qadr tidak akan dicapai secara maksimum. Akan tetapi jika yang ditekankan adalah makna esoteriknya, misalnya keheningan, kesyahduan, kekhusyukan, dan kedekatan, maka kemungkinan Lailatul Qadr akan memberikan bekas dan kesan lebih lama di dalam diri seseorang.

Salah satu makna esoterik lailah adalah kelembutan, kepasrahan (femininity) dan kasih tulus (nurturing). Sedangkan siang (nahar) sering dimaknai kebalikannya sebagai ketegaran, kejantanan (masculinity), dan kekuatan (struggeling). Upaya mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah swt lebih efektif melalui pendekatan kepasrahan dan kelembutan (motion) ketimbang melalui pendekatan ketegaran dan intelek (ratio). Malam sering dilukiskan dengan emosi dan siang dilukiskan dengan rasio. Dari perspektif ini terdapat isyarat kuat bahwa Lailatul Qadr adalah malam yang memiliki keunggulan (the power of night).

Kualitas feminine lebih kuat daripada kekuatan masculine.

Allah Swt, sebagaimana dapat dilihat di dalam 99 namanya (al-asma' al-husna), lebih dominan menampilkan sifat-sifat feminin (the mother God) ketimbang sifat-sifat maskulin (the father God). Di antara 99 nama tersebut lebih dari 70 % mengisyaratkan sifat-sifat feminin. Istimewanya lagi, yang paling sering disebutkan berulang-ulang dan hampir mewarnai halaman demi halaman Al-Qur'an adalah nama-nama feminin-Nya, sementara nama-nama maskulin jarang ditemukan. Bandingkan misalnya kata al-Rahim (Yang Maha Penyayang) terulang sebanyak 114 kali, sementara al-Muntaqim (Yang maha Pendendam), dan al-Mutakabbir (Yang Maha Angkuh) hanya sekali terulang. Kita hanya menemukan satu-satunya redaksi basmalah dalam Al-Qur'an, yaitu: Bismillah al-Rahman al-Rahim (Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Kita tidak pernah menemukan misalnya bismillah al-Qawiy al-Jabbar (Dengan nama Allah Yang Maha Kuat lagi Maha Pemaksa), meskipun kata yang kedua juga merupakan nama dan sifat Allah Swt.

Dalam perspektif tasawuf, nama-nama indah Tuhan bukan hanya menunjukkan sifat-sifat Tuhan, tetapi juga menjadi titik masuk (entry point) untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada-Nya. Setiap orang dapat mengakses dan mengidentifikasikan diri dengan nama-nama tersebut. Seseorang yang pernah berlumuran dosa lalu sadar, dapat menghibur diri dan membangun rasa percaya diri dengan mengidentifikasi diri dengan nama al-Gafur (Maha Pengampun) dan al-Tawwab (Maha Penerima Taubat), sehingga yang bersangkutan tetap mempunyai harapan dan tidak perlu kehilangan semangat hidup.

Salah satu bentuk kemahapengasihan Tuhan ialah menganugrahkan Lailatul Qadr di dalam bulan Ramadlan (secara harfiyah: penghancur, penghangus). Setelah 11 bulan hambanya terasing di dalam kehidupan yang kering dan penuh dengan suasana pertarungan (power struggle), maka rahasia yang terkandung dalam lailatu Qadr diharapkan mengajak kita untuk kembali ke kampunghalaman rohani, yang basah, sejuk, lembut, dan damai. Lailatul Qadr ibarat oase di tengah padang pasir, memberikan kepuasan batin kepada kafilah yang sedang berjalan menuju Tuhannya. Lailatul Qadr adalah manifestasi dari rahmaniyah dan rahimiyah Tuhan yang tidak boleh disia-siakan.

Sumber :
http://www.psq.or.id/artikel_detail.asp?mnid=41&id=127
(Ditulis sendiri oleh Ustadz Nasaruddin Umar).

4 comments:

putri said...

makasih artikelnya... menambah wawasan ttg malam lailatul Qadr ini.

btw.. cerita bagian ke-2 kok belum dilanjutkan? ditunggu ya... :D

Fakhrudin Aziz Sholichin said...

Iya Mbak Putri terima kasih juga atas komennya. Boleh dong tukeran artikelnya.

Dalam waktu dekat dech Mbak dilanjutin bagian ke-2 nya. Soale masih sibuk ngadirin buka puasa :D.

Gimana nich persiapan lebarannya?. Mohon maaf lahir bathin sebelumnya

KhRIY said...

wah, bgs ini artikelnya...makasih dah sharing. makasih jg dah mampir2 lho hehe. lebaran mo ngapain nih? =D

Er Maya said...

tengkiu ya udah sharing tentang malam seribu bulan