Saat Makan Siang Ketemu 'Kiyahi Penampakan'

Catatan Perjalanan Menghadiri ICIS II di Jakarta (Bagian IV)

“Ya Ustadz, Rois gai ahoo (Tuh Presiden dah datang)?”, kataku kepada Jamal. “Balasy Rois (bodo amat)!”, ketusnya. Sebagaimana aturan protokoler, ketika Presiden datang, maka semua hadirin berdiri. Tampak duduk di sebelah SBY, Abdullah Badawi (PM Malaysia), Pangeran Ghozi (Utusan Putra Mahkota Jordan), Maftuh Basyuni (Menag), Fauzi Bowo (Wagub DKI Jakarta) dan KH. Hasyim Muzadi (Ketua Umum PBNU). Acara dilanjutkan dengan nyanyian lagu Indonesia Raya dan semua hadirin dimohon berdiri. Jamal pun ikut berdiri meski harus diam seribu bahasa ketika peserta konferensi -yang mayoritas warga Indonesia- menyanyikan lagu karangan WR. Supratman itu.


Ketika SBY menuju panggung untuk menyampaikan pidato, Jamal pun berkomentar; “Eih dza ya Susilu!” (Mau ngapain lagi ini). Saya tertawa kecil melihatnya menggerutu. Nampaknya dia masih jengkel lantaran acara molor beberapa jam. Jamal yang saya kenal, orangnya disiplin dan kritis.

Setelah SBY berpidato, saya lihat Jamal manggut-manggut menyimak pidato dalam bahasa Inggris itu. “Eih ro’yak (Gimana pendapatmu)?”, tanyaku. “Kuwais ya Fakhriddin (bagus)”, jawabnya singkat dan sok cool sambil memelototin naskah pidato yang telah dibagikan panitia. Semoga dia puas dengan pidato itu. Itung-itung, kompensasi dia nunggu. Usai pidato, SBY dengan ditemani KH. Hasyim Muzadi, Rozy Munir (Sekjen ICIS), Fauzi Bowo, menabuh gong tanda ICIS II dibuka. Tepuk tangan riuh menggema di ruangan lux berkapasitas 2000 orang itu.

Setelah acara break, Jamal minta diantar ke kamar karena harus meladeni beberapa wartawan yang hendak mewawancarainya. Saya pun kembali ke Galaria Flores Room untuk mengikuti sesi pertama yang dipresentasikan oleh Pak Lah –Panggilan akrab Abdullah Badawi-. Hadir pada kesempatan tersebut, Megawati Soekarnoputri (mantan Presiden RI), yang konon datang ke tempat acara beberapa saat setelah SBY dan rombongan meninggalkan tempat. Kenapa?.... Sudahlah, saya tidak hendak ngubek-ubek urusan kaum elit ini. Terus terang, fenomena menarik ini menyisakan tanda tanya besar bagi saya.

Pukul 11.00 WIB, saya dan Jamal mulai ikut aktif dalam diskusi per-komisi. Kami masuk Working Group III (Economic, Social dan Educational Movement; Strategy for change). Pada sesi pertama, kami mengikuti presentasi yang disampaikan oleh Syafii Antonio. Pada sesi ini Jamal sempat walk-out dari ruangan karena merasa moderator tidak memberikan kesempatan bicara. Ujung-ujungnya, masalah ini beliau ungkapkan pada sebuah surat yang ditujukan kepada KBRI Mesir dan PBNU.

Ketika acara makan siang bersama Maftuch Basyuni, Menteri Agama, ada kisah menarik. Saat itu, saya duduk bersebelahan dengan Jamal. Tiba-tiba, ada seorang peserta ICIS -dari LSM bonafit di Indonesia- datang dan duduk di kursi sebelah saya yang kebetulan kosong. Setelah dengan pe-de memperkenalkan diri, dia tanya, “Eh Mas, loe dari mana?”. “Kairo. Kenapa Pak?”, tanyaku penasaran. “Mmm, loe di Kairo ngapain aja. Kerja?”, tanyanya ketus sambil memperlihatkan mimik yang ngga ngenakin. Saya sudah ngga semangat meladeni pertanyaan konyol itu. Maklum, mungkin dia sudah merasa jadi orang besar. “Saya mahasiswa program master di Mesir yang kebetulan diundang untuk hadir di ICIS”, jawabku ketus sambil menikmati sup ayam. “Oo mahasiswa tho. Sorry, kirain pegawai kedutaan”.

Dia pun semakin nerocos dan ngasih lips service yang ngga jelas jluntrungnya. Sayang, saya bukan tipe orang yang gampang terbuai dengan yang begituan. Setelah mengenalkan diri, “Nama saya KH.....”, dia pun menyodorkan kartu namanya. Tanpa saya baca, saya masukkan ke dalam saku jas. Ketika dia nanya nomor kontak di Kairo, saya bilang; “Maaf Pak, saya lupa nomornya. Tapi kalau Bapak ada perlu, bisa kirim ke email”. Saya pengin jual mahal dengan orang tipe yang beginian. “Boleh, mana emailnya”, tanyanya. “Nanti aja Pak saya kirim ke email Bapak”, jawabku. “Kartu nama ada?”, lanjut dia. “Maaf Pak sudah habis pas pembukaan tadi”. Hehehe. Padahal saya ngga bawa kartu nama. Saya hanya ngasih pelajaran, biar orang ngga congkak. Dari pembawaannya saja sudah sok-sokan. Kalau kita gampang dimainin, diri kita menjadi tidak berharga.

Setelah di kamar, saya cerita ama kawan-kawan yang kebetulan aktifis di beberapa LSM di Jakarta. Mereka pada ketawa dengarnya. “Wah Ziz, kalau gue yang digetuin, udah gue damprat. Orang Jakarta tahu siapa dia. Ngga usah sok-sokan getu dong”. Saya heran. Feeling saya nampaknya tepat. Belakangan, saya tahu siapa dia sebenarnya. Sumbernya terpercaya; Gus Mus. Rupanya, dia adalah kiyahi jadi-jadian dengan modal kartu nama dan sorban warna hijau. Bahkan, pada suatu hari dia pernah marah kepada seorang wartawan gara-gara si wartawan lupa menuliskan KH (Kiyahi Haji) di depan nama dia. “hihihihihi”, ketawaku dalam hati. Dasar kiyahi penampakan.

Sehari kemudian, saya ketemu dengan dia dalam jamuan makan malam bersama Soegiharto, Menteri BUMN. Ingin rasanya menghindar dari dia, tapi apa daya. (bersambung)

2 comments:

Diyan said...

hehehehe yang telat2 di Indoensia udah jadi tradisi :P presiden-nya aja telat, apalagi warganya :P

Btw, ngapain Gus Nus disana? diundang juga? hihihi ternyata sok yah? :P halaah.. cuekin aja pake jurus menghindar hehehe

Fakhrudin Aziz Sholichin said...

Tradisi ini yang harus diubah. Tapi perlu waktu karena sudah mendarahdaging sejak dulu.

Saat Dialog Publik di Kairo, Gus Mus sedang cerita kl di Indonesia ada berbagai macam kiyahi. Ya antara lain kiyahi jadi-jadian modal kartu nama itu.

Menghindar?, kayaknya jurus yang tepat. Makasih ya Mbak atas comment-nya