Catatan perjalanan menghadiri ICIS II di Jakarta (Bagian III)
Pesawat Emirates EK 346 yang kami tumpangi lepas landas menuju Jakarta via Malaysia pada pukul 03.10 Waktu Dubai. Dari awal, saya sudah berencana akan menghabiskan perjalanan selama 10 jam itu untuk tidur. Istirahat 3 jam di Dubai, saya manfaatkan untuk jalan-jalan sekitar Duty Free Shop yang terletak di lantai satu. Ngga beli sich, cuman lihat-lihat yang sawangable. Iya...setelah ¼ jam mengudara, saya terlelap dibalik selimut tebal yang disediakan pesawat. Begitu juga penumpang yang lain. Praktis, malam pun hening.
Saya terbangun ketika seorang pramugari menawarkan dinner. “Excuse me, fish or chicken?’, tanya pramugari itu dengan lembut. “Fish”, jawabku singkat. 1 box ikan, nasi basmati, salad, buah dan jus orange, kulahap abis tak tersisa. Ruangan ber-AC ditambah suhu udara yang dingin, membuat hidangan malam itu begitu nikmat. Apalagi diiringi old song yang kudengar lewat head-phone. Saya pun melanjutkan tidur. Lagi-lagi saya terbangun. Kali ini disebabkan goyangan pesawat yang terasa kencang karena cuaca yang kurang bersahabat di atas lautan Hindia. Tapi wajarlah. Ini yang membedakan jalur udara dengan tol Cikampek.
Setelah sebelumnya transit di Malaysia lebih kurang 1 jam, pesawat mendarat di Bandara Soekarno Hatta pukul 16.25 WIB. Beberapa saat sebelum mendarat, dari udara, saya tertegun melihat Pulau Seribu dan hijau Tanah Airku yang kutinggalkan hampir 7 tahun.
Pesawat pun mendarat.
Ketika keluar dari Aero Bridge, kami sudah dijemput oleh panitia dan selanjutnya beristirahat di ruangan VIP bersama rombongan lainnya. Saat itu kami berbarengan dengan rombongan President of Islamic Development Bank (IDB) Jeddah. Setelah urusan imigrasi dan bagasi lancar, kami memasuki bus yang disediakan oleh panitia menuju Hotel Borobudur, di mana konferensi akan diselenggarakan. Sepanjang perjalanan, saya melihat banyak sekali sepeda motor yang lalu-lalang melintas di jalan raya. Rasanya aneh memang bagi saya karena kadung terbiasa dengan pemandangan lalu lintas Mesir dimana sepeda motor jarang kita temukan. Warung-warung makan yang berjajar di sepanjang jalan, menjadi tontonan menarik tersendiri. Anyway, Indonesia dengan segala kelebihan dan kekurangannya, memberikan kesan yang spesial bagi saya yang telah lama merindukannnya.
Pukul 20.00 WIB, kami sampai di Hotel Borobudur. Setelah menyelesaikan registrasi dan check-in, kami segera masuk kamar untuk meletakkan barang bawaan kami dan kembali ke lobi. Karena pada waktu yang bersamaan, panitia mengagendakan dinner bersama Wapres Yusuf Kalla. Sepulang dari sana, saya segera rebahan di kasur menghabiskan malam pertama di Jakarta. Mungkin baru pertama, mata jetlag tidak mau dipejamkan. Kalau Jakarta pukul 23.00 WIB, berarti Kairo pukul 18.00 WK. Saya pun bangkit dan membuat kopi panas yang tersedia di mini bar. Ketika hendak merokok, tidak saya temukan asbak di kamar itu. “Jangan-jangan di sini ngga boleh ngerokok?”, gumamku. Eh...betul dugaan saya. Ketika telepon house keeping, ternyata kamar yang saya tempati di larang merokok. Tak apalah malam ini puasa dulu sambil menonton televisi. Tidak terasa jam menunjukkan pukul 03.30 WIB. "Wah gimana nich, besok khan musti ikut pembukaan". Kupaksakan mata untuk tidur. Sebelumnya, saya berondong sms ke Bapak, Kakak, dan Adik. Saya minta pukul 05.00 WIB mereka mbangunin saya. Sleeping away........
Esoknya (20/6), setelah breakfast di Cafe Bogor, saya bersama Jamal al-Banna menuju Galaria Flores Room mengikuti pembukaan International Conference of Islamic Scholars (ICIS) oleh Presiden SBY. Pembukaan acara bertajuk Upholding Islam As Rahmatan Lil Alamin Toward Global Justice and Peace yang sedianya dimulai pukul 10.00 WIB, terpaksa molor 2 jam karena menunggu kedatangan Presiden. Di sela-sela itu, saya sempat berbincang ringan dengan Husein Umar (Ketua DDI) dan Habib Riziq (Ketua FPI) –yang kebetulan bersebelahan- tentang isu-isu global nasional. Dari sini saya berkesimpulan bahwa ada perbedaan mendasar di antara kita dalam memandang sebuah fenomena dari perspektif agama. Tak apalah, perbedaan adalah rahmat.
Kalau saya bisa asyik ngobrol dengan mereka sambil menunggu SBY, tidak demikian dengan Jamal al-Banna. Beliau bahkan berkali-kali ingin meninggalkan ruangan. Sampai dia bilang, “Inilah akibatnya kalau kita nurut pemerintah”. “Memangnya acara ngga bisa jalan tanpa Presiden?”, gerutunya. “Brutukuliyyat musykilah kabiroh fi zamanina hadza, ya Ibni”, tambahnya. (Protokoler menjadi masalah besar untuk sekarang ini). Maklum, Jamal adalah pemikir besar yang agak ‘sentimentil’ terhadap pemerintah. Setelah saya pahamkan, beliau pun memakluminya.
Saya jadi teringat dengan cerita seorang tokoh Indonesia peserta seminar “Political Islam dan Peace”, yang diselenggarakan Komitea 100, sebuah LSM besar di Finlandia. Saat itu, acara on-time dibuka sesuai dengan tentatif yang telah ditentukan tanpa menunggu Menteri Luar Negeri yang sedianya membuka acara. Begitu sang Menlu datang, tidak ada sambutan khusus, entah dengan berdiri atau iringan lagu kebangsaan. Tapi, Menlu tersebut tetap diberi kesempatan pidato. Dalam pidatonya, dia minta maaf atas keterlambatannya karena dalam perjalanan, dia harus berdesak-desakan dengan penumpang lain menaiki kereta listrik. Menyadari dirinya terlambat, hanya 10 menit dia berdiri di podium. Selanjutnya, diapun pamit meninggalkan ruangan menuju stasiun untuk kembali ke kantornya. Sungguh egaliter.
Begitu rombongan Presiden SBY memasuki ruangan, anda tahu apa komentar Jamal?. (Bersambung...)
6 comments:
Pengen baca isi percakapanmu dengan itu ketua FPI ;)
Oke dech Mbak..Kalau detil sich saya sudah ngga ingat. Tapi intinya, dia ngobrolin soal kemaksiatan dan isu-isu liberalisme yang membahayakan akidah umat.
Kalau ngomong yang ginian, saya nyadar banget kalau 'kita' ngga akan ketemu. Dengan bahasa yang lebih ekstrem, kita berbeda 'ideologi'.
Gimana Mbak?. Ada komen?.
penasaran sambungannya :D
Iya dech Diyan...ntar tunggu aja. Kata orang Mesir; 'Qoriiban bil aswaak' hehe.
Terima kasih Mas Agus atas masukannya. Insya Allah pesenan njenengan akan segera saya publish di blog ini
Biarpun bertahun di Mesir, namun jelas dari bicara saudara, jatidiri sebagai anak Indonesia tetap utuh.
Post a Comment